Menuju konten utama

Masjid Liberal Pertama dan Imam Wanita di Jerman

Masjid Ruschd-Goethe menjadi masjid liberal pertama yang dibangun di Berlin, Jerman. Di sana, kesetaraan jadi dasar ajarannya. Kecuali orang berniqab dan berburka, semua orang boleh masuk ke sana.

Masjid Liberal Pertama dan Imam Wanita di Jerman
Seyran Ates. FOTO/Vorwaerts.de

tirto.id - Seyran Ates adalah seorang imigran dari Turki. Ia pertama kali tiba di Jerman pada usia enam tahun. Ates kemudian berkarier sebagai aktivis pembela hak perempuan dan pengacara sejak 1997. Fokusnya membela perempuan dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga dan pernikahan paksa.

Cita-cita itu muncul dari pengalamannya sendiri ketika kecil. Sebagai anak imigran dari keluarga muslim, ia harus melayani abang dan orangtuanya di rumah. Tak boleh keluar rumah tanpa izin mereka, seperti perlakuan yang diterima banyak anak perempuan muslim dari Timur Tengah. Ates juga dipukuli dan dimarahi bila melanggar aturan, menyebabkan ia jadi salah satu anak yang susah bersosialisasi karena tak paham bahasa Jerman.

Kisah itu diceritakannya di biografinya, berjudul Große Reise ins Feuer - Die Geschichte einer deutschen Türkin—Perjalanan Besar ke dalam Gejolak – Kisah Seorang Turki-Jerman.

Perempuan kelahiran 1963 ini kemudian membuat sejarah Jumat lalu, 16 Juni 2017. Ia membangun sebuah masjid liberal pertama yang pernah ada. Lokasinya di lantai tiga gedung Gereja Protestan Sankt-Johannes-Kirche di kawasan Moabit, Berlin. Peresmiannya dikawal ketat oleh polisi.

Masjid itu kemudian dinamai Masjid Ibn Ruschd Goethe, diambil dari dokter, filsuf, dan ilmuwan Arab-Islam Ibn Rusyd (1126-1198) dan sastrawan Johann Wolfgang von Goethe (1749-1832).

Islam yang dipraktikkan di masjid liberal adalah Islam dengan pendekatan historis-kritis. Kajian-kajiannya akan disesuaikan dengan perkembangan zaman. Di sana, kesetaraan menjadi dasar ajarannya. Pengurus masjid membuka pintu untuk semua kalangan, entah Sunni atau Syiah, bahkan homoseksual, salah satu golongan yang tidak diterima kebanyakan pemuka Islam. Laki-laki dan perempuan juga punya posisi sama di sana.

Hanya ada satu pengecualian. Meski masjid ini mendaku sebagai masjid liberal, orang yang mengenakan penutup kepala seperti burka atau niqab dilarang masuk ke sana. “Kelihatannya orang dengan niqab atau burka tidak akan senang datang ke sini,” kata Seyran Ates seperti dikutip Der Speigel. Ates beralasan niqab atau burka tidak banyak hubungannya dengan agama, melainkan pernyataan politis.

Dalam bukunya Selam, Frau Imamin (Salam, Bu Imam), yang terbit di hari peresmian masjid itu, Ates menyampaikan kritiknya atas radikalisme Islam di Jerman. Menurut Ates, Islam yang diterapkan mayoritas Muslim di Jerman mirip dengan ajaran Pemerintah Turki. Kebanyakan imam di sana, menurut Ates, tidak memahami makna kebebasan agama dan kesetaraan hak antara pria dan perempuan, apalagi hak atas orientasi seksual.

“Islam bentuk ini adalah Islam dari masa lalu,” kata Seyran.

infografik masjid liberal

Salah satu tujuan Ates mendirikan masjid ini adalah untuk melawan gerakan-gerakan Islam ekstremis yang merusak nama Islam secara global. Niat Ates membangun masjid liberal itu untuk membangun hubungan baik antara muslim dan dunia Barat, tempat Islam dipandang sebelah mata dan sebagian besar penganutnya didiskriminasi. Ates juga ingin menyediakan tempat bagi para Muslim liberal yang tidak punya tempat di Jerman.

Menurut Ates, pasca-teror bom di Manchester, Muslim di seluruh dunia harusnya melakukan ha lebih besar untuk melawan ekstremisme yang mengatasnamakan Islam. Menurutnya, Islam harus mampu memperbarui diri dan merepresentasikan mayoritas muslim yang selama ini diam untuk mempromosikan kedamaian.

Namun, masjid dengan pemahaman itu masih terlalu sedikit di Eropa. "Yang ada hanya masjid dengan pemahaman konservatif, yang sama sekali tidak mengijinkan kritik," ungkap Ates. “Saat ini, setiap orang Islam harus berani menghadapi pertanyaan: Apa yang telah kamu lakukan untuk menghadapi ekstremisme? Apa yang kamu lakukan menghadapi fakta bahwa agamamu disalahgunakan dan didiskreditkan?”

Imam Wanita

Pembangunan masjid ini sebenarnya adalah cita-cita lama Ates. “Saya sendiri menunggu lama, [dan berharap] agar kelak ada nada masjid liberal, dipimpin Imam yang lebih mengerti Islam daripada saya. Tapi karena terlalu lama menunggu, seperti kisah 'Menunggu Godot', akhirnya saya memutuskan untuk mewujudkannya sendiri,” ungkap Ates.

Demi melancarkan mimpi itu, kini Ates sedang menjalani pendidikan sebagai Imam. Tak seperti mayoritas Islam, yang memacak posisi imam atau pemimpin sebagai kuasanya pria, dalam Islam liberal posisi itu bisa diisi oleh perempuan.

Tak hanya imam wanita, pembukaan Masjid Ruschd-Goethe juga dibuka Ani Zonneveld, aktivis Malaysia yang tinggal di Los Angeles, yang menjadi muazin pertama yang azan di sana.

Baca juga artikel terkait LIBERALISME atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Aulia Adam
Penulis: Aulia Adam
Editor: Maulida Sri Handayani