tirto.id - Pada 11 Agustus 2020, kandidat capres dari Partai Demokrat Joe Biden menunjuk Kamala Harris (55) untuk mendampinginya sebagai cawapres di kontestasi pilpres Amerika Serikat bulan November mendatang. Jika kelak terpilih nantinya, Harris akan mencetak sejarah sebagai perempuan kulit hitam pertama sekaligus perempuan Asia-Amerika pertama yang menjabat sebagai wapres. Harris mengawali kariernya sebagai Jaksa Penuntut Umum (JPU) di wilayah San Francisco, sebelum terpilih menjadi Jaksa Agung di negara bagian California dan kemudian melenggang menuju senat. Ia sempat bertarung dalam bursa capres Demokrat, namun terpaksa mundur karena keterbatasan dana kampanye.
Antek Polisi?
Tak lama setelah Biden mengumumkan Harris sebagai cawapresnya, sejumlah kritik dilayangkan oleh kelompok kiri dan progresif Demokrat. Rekam jejak Harris yang keras sebagai jaksa dinilai kurang tepat untuk mewakili bangsa yang tengah bergairah memprotes ketidakadilan oleh aparat penegak hukum, terlebih terhadap komunitas orang kulit hitam dan berwarna. Akibatnya, gelar “polisi” kerap disematkan pada Harris, terutama setelah ia ikut terjun memperebutkan kursi kandidat capres Demokrat sejak awal 2019. Menariknya, sebelum seruan “Kamala Harris is a cop” ramai dikicaukan, Harris tampak sesumbar mengaku sebagai top cop atau “polisi terbaik” ketika memberi sambutan pada Democratic National Convention tahun 2016, beberapa bulan sebelum ia terpilih sebagai senator.
Briahna Joy Gray , mantan staf kampanye Bernie Sanders, berkicau bahwa penunjukkan Harris sebagai cawapres adalah penghinaan bagi kubu Demokrat. Selain itu, think tank Gravel Institute, mengungkapkan, “Joe Biden telah memilih seorang polisi.” Democratic Socialists of America cabang Los Angeles melihat Harris sebagai polisi, dan menekankan bahwa organisasi mereka akan selalu berpijak pada pendirian untuk menghapuskan polisi. Sebagai jaksa, Harris memang pernah menorehkan jejak-jejak kontroversial yang membuatnya kurang disukai oleh kalangan Demokrat progresif.
Sebelum dikenal sebagai Jaksa Penuntut Umum (JPU) di wilayah San Francisco selama 2 periode (2004-2011), Harris bekerja di kantor jaksa wilayah Alameda County untuk memproses kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak, pembunuhan, dan perampokan. Selang beberapa tahun, ia pindah ke kantor jaksa wilayah San Francisco dan dipasrahi tanggung jawab mengurus tuntutan kasus-kasus kriminal, serta kemudian membawahi divisi keluarga dan anak.
Tahun 2003, Harris mencalonkan diri sebagai JPU San Francisco. Ia bertarung melawan mantan atasannya, JPU progresif Terence Hallinan, yang dikenal berani melawan polisi dan mempunyai angka putusan bersalah (conviction rate) rendah di daerahnya. Menurut investigasi The Intercept, Harris menyudutkan Hallinan dengan tuduhan terlalu lembek dalam penegakan hukum. Berbekal iklan kampanye bernada tough-on-crime,Harris berjanji akan menjadi jaksa yang smart dalam menindak kejahatan. Ia pun berhasil melengserkan Hallinan berkat donasi dari para elite sosialita, termasuk dukungan suara dari asosiasi polisi yang pada waktu itu bermusuhan dengan Hallinan karena kantor jaksa pernah menuntut sejumlah anggota serta petinggi kepolisian atas tindakan pelanggaran.
Dalam kurun waktu tiga tahun sejak Harris diangkat sebagai JPU, angka putusan bersalah di San Francisco mengalami peningkatan, lebih dari 200 anggota geng ditahan, dan 40 % lebih banyak pelaku kejahatan luar biasa dikirim ke penjara negara bagian. Contoh lain dari ketegasan hukum Harris terwujud dalam program anti-bolos sekolah sejak 2008, yang bertujuan menuntut orangtua apabila anak mereka absen dari sekolah.
Menjelang akhir jabatan periode kedua Harris, tepatnya tahun 2010, kredibilitas Harris sebagai jaksa dipertanyakan. Hal ini bermula dari skandal seorang teknisi lab kepolisian yang diduga mengambil barang bukti kokain untuk konsumsi pribadi. Pelanggaran ini berpotensi mengakibatkan analisis dan testimoni darinya jadi tidak bisa diandalkan dalam ratusan kasus dakwaan narkoba. Namun, Harris, termasuk jaksa-jaksa yang bekerja bersamanya, tidak menyampaikan informasi tersebut kepada pengacara pembela. San Francisco Gate mengkritik kantor jaksa Harris telah menyalahi hak-hak publik untuk mendapatkan pengadilan yang adil dengan menyembunyikan keterangan krusial.
Namun demikian, di balik langkah-langkahnya yang terlihat keras dengan dukungan solid polisi, Harris perlahan juga mendorong sejumlah langkah hukum reformis. Hal ini diawali dengan kandasnya kemesraan Harris dengan kepolisian ketika ia tidak bersedia menjatuhkan hukuman mati kepada anggota geng yang membunuh aparat polisi Isaac Espinoza tahun 2004.
Selain itu, terdapat program dari Harris yang sukses dijadikan percontohan nasional, yakni “Back on Track”. Sejak tahun 2005, program ini memberikan kesempatan bagi dewasa muda usia 18-30 tahun yang pertama kali melakukan penyalahgunaan obat-obatan, untuk menyelesaikan pendidikan SMA sekaligus mendapatkan pekerjaan sebagai pengganti hukuman penjara.
Niki Solis, seorang pembela umum yang beroposisi dengan jaksa di pengadilan, menulis artikel berjudul “Public defender: I worked with Kamala Harris. She was the most progressive DA in California.” untuk membela sepak terjang Harris sebagai JPU San Francisco. Sebagai orang yang pernah bekerja dengan Harris, meski berseberangan pihak, Solis menyaksikan tingkat pidana untuk penjualan mariyuana di San Francisco diturunkan menjadi lebih ringan. Solis menegaskan pula bagaimana Harris turut mendirikan Coalition to End the Exploitation of Kids dan mengerahkan gugus tugas untuk memberantas perdagangan manusia yang melibatkan anak-anak perempuan.
Jaksa Agung Harris
Setelah terpilih sebagai perempuan pertama yang menjadi Jaksa Agung di negara bagian California (2011-2017), Harris masih menunjukkan sejumlah sikap yang cenderung kontradiktif dengan prinsip reformasi hukum progresif. Profesor hukum di University of San Francisco, Lara Bazelon, bahkan berpendapat di The New York Times bahwa Harris bukanlah “jaksa progresif” sebagaimana yang dipercaya selama ini.
Bazelon terutama menyorot prosedur administrasi Kejaksaan Agung California yang kaku di bawah kendali Harris, sehingga tahanan-tahanan tak bersalah menjadi korban, seperti salah satunya George Gage. Tahun 1999, ia didakwa 70 tahun kurungan atas tuduhan pelecehan seksual terhadap anak tirinya, yang ternyata tidak terbukti. Ketika kasusnya diangkat ke pengadilan banding tahun 2015, jaksa-jaksa di kantor Harris tetap membela dakwaannya dengan alasan teknis, yakni karena sebelumnya Gage tidak mengangkat isu legal tersebut di pengadilan rendah. Selain Gage, ada juga Daniel Larsen. Ia dinyatakan bersalah atas kepemilikan benda tajam sehingga harus menjalani total dakwaan penjara selama 28 tahun. Setelah 10 tahun lebih berada di penjara, ia terbukti tak bersalah. Akan tetapi, Kejaksaan Agung mempersulit pembebasannya lantaran Larsen terlambat mengajukan klaim. Akibatnya, ia harus menunggu beberapa tahun lagi sampai akhirnya bebas.
Iklim hukum regresif semakin kentara ketika pada 2014 Harris memutuskan untuk mendukung hukuman mati di tingkat negara bagian California, yang ditentangnya sendiri satu dekade sebelumnya. Selain itu, Harris menolak perintah Mahkamah Agung AS sejak tahun 2011 untuk mengurangi kepadatan di penjara-penjara California dengan melepaskan sekurangnya dari 5.000 tahanan pelaku pelanggaran ringan. Di pengadilan, para pengacara Harris berpendapat bahwa penjara akan kehilangan sumber tenaga kerja apabila para tahanan tersebut dilepaskan lebih dini. Dilansir dariLA Times, kebanyakan tahanan California dipekerjakan sebagai staf jaga, tukang bersih-bersih, dan asisten dapur dengan upah 8-37 sen per jam (sampai tahun 2014, upah minimum di California adalah 8 dolar AS per jam).
Upaya Harris untuk mengusut kasus kebrutalan polisi pun dinilai kurang maksimal. Sebagai Jaksa Agung, sebenarnya Harris sudah sering menunjukkan dukungannya terhadap sejumlah RUU, namun ia tidak mengambil posisi dalam RUU yang bisa memberikan lampu hijau bagi Departemen Kehakiman California untuk menjalankan investigasi mandiri terhadap penembakan fatal oleh aparat kepolisian, sehingga kasus tersebut tetap dipasrahkan pada yuridiksi masing-masing JPU. The Washington Post menambahkan, Harris tampak menjaga jarak dengan kasus-kasus penembakan oleh polisi, seperti insiden kematian pria kulit hitam Mario Woods (2015) dan Ezell Ford (2014). Diamnya Harris juga terlihat pada kasus kematian seorang pria Hispanik, Manuel Diaz, di tangan polisi Anaheim tahun 2012. Pada semua kasus tersebut, kantor-kantor JPU wilayah tidak melayangkan tuntutan kepada para polisi. Harris pun tetap tidak mengerahkan investigasi independen untuk mengusutnya.
Di sisi lain, Harris cukup terbuka dalam memanfaatkan teknologi untuk mengawasi aktivitas polisi. Ia mewajibkan para pegawainya di Departemen Kehakiman untuk menggunakan kamera badan (body camera), meskipun akhirnya Harris mengembalikan aturan tersebut kepada kebijakan kantor polisi wilayah masing-masing untuk menerapkannya pada aparat. Selain itu, dikutip dari laman resmi Kejaksaan Agung California, Harris meluncurkan program Commission on Peace Officer Standards and Training (“POST”) atau pelatihan keadilan prosedural dan bias rasial untuk polisi pada 2015. Transparansi sistem hukum juga diwujudkan oleh Harris melalui platform daring OpenJustice, database interaktif berisi statistik kriminalitas di negara bagian California, yang salah satunya memberikan akses masyarakat tentang data kematian warga sipil di tangan polisi.
Harris juga menunjukkan sikap pro-LGBTQ sejak lama. Setelah terpilih sebagai JPU San Francisco, ia bergegas mendirikan program anti-kebencian untuk menginvestigasi dan menuntut tindakan kekerasan anti-LGBTQ. Ketika menjadi Jaksa Agung, ia menolak Proposition 8 yang melarang perkawinan sesama jenis. Peranan Harris berakhir manis: pernikahan sesama jenis di California legal pada 2013.
Isu lingkungan turut menjadi perhatian Harris. Sebagai JPU San Francisco, pada 2005 ia meluncurkan satgas keadilan lingkungan untuk mengatasi kasus kejahatan lingkungan yang merugikan masyarakat miskin di perkotaan. Sebagai Jaksa Agung, Harris ikut berperan dalam penyelidikan dan pengajuan tuntutan hukum terhadap perusahaan pipa minyak Plains All-American Pipeline terkait tumpahan minyak mereka di Santa Barbara County pada 2015 yang merusak habitat alam sekitar.
Salah satu pencapaian besar Harris sebagai Jaksa Agung adalah keberhasilannya mencairkan dana settlement sebesar 20 miliar dolar AS dari bank-bank besar Amerika untuk meringankan beban warga California yang dihantam krisis perumahan 2012. Meskipun kesepakatan yang diperolehnya masih jauh dari sempurna, kegigihannya dalam negosiasi kesepakatan tersebut menuai pujian dari beberapa tokoh Demokrat. Sejak itu ia juga berteman dengan Beau Biden, Jaksa Agung Delaware, putra pertama Joe Biden yang meninggal lima tahun silam karena sakit. Kelak, kenangan persahabatan di antara keduanya inilah yang menjadi salah satu pertimbangan Joe Biden memilih Harris sebagai cawapres.
Harris, Wajah Multikultural Amerika?
Menilik rekam jejak Harris sebagai jaksa, sulit untuk tidak menyebutnya sebagai penegak hukum yang keras. Duo Biden-Harris dalam pilpres 2020 ini pun cukup menggambarkan status quo Partai Demokrat yang masih ingin bermain aman di spektrum moderat. Terlepas dari itu, kehadiran Harris dalam kancah politik nasional dapat dimaknai sebagai simbol progresif kebangkitan politik perempuan dari kelompok ras marjinal, sekaligus representasi dari masyarakat imigran dan multirasial yang semakin mewarnai keberagaman demografi sosial Amerika setelah pertengahan abad ke-20. Kedua orangtua Harris datang ke Amerika pada awal 1960-an untuk menempuh pendidikan tinggi. Bapaknya, Donald Harris, datang dari Jamaica dan kini menyandang status profesor emeritus di bidang ekonomi di Stanford. Ibu Harris, Shyamala Gopalan, peneliti berdarah Tamil dari India, mendedikasikan hidupnya untuk riset kanker payudara di berbagai lembaga kajian berbasis kampus Amerika.
Harris dicalonkan di tengah memanasnya pertentangan rasial di Amerika. Beberapa bulan terakhir, pecah protes menolak rasisme dan kebrutalan aparat kepolisian terutama terhadap komunitas orang kulit hitam. Problematika rasial tidak ditanggapi serius oleh Presiden Trump yang kerap disorot karena ucapan atau kicauannya brrbau rasis, serta retorik dan kebijakannya yang mengarah pada visi proteksionisme (PDF) orang kulit putih.
Di sisi lain, pemilih kulit hitam menjadi penentu kemenangan Biden dalam pemilu awal Demokrat di South Carolina. Perempuan kulit hitam sudah lama dikenal sebagai loyalis Demokrat, terbukti dari tingginya angka partisipasi mereka dalam pilpres maupun pemilu sela (mid-term election) yang bahkan melebihi persentase pemilih nasional. Namun demikian, ruang politik mereka masih sempit. Sampai hari ini, belum ada satu pun gubernur perempuan kulit hitam. Sepanjang sejarahnya selama dua abad lebih, Kongres AS pun tercatat hanya menaungi total 47 perempuan kulit hitam, yakni dua senator, Carol Braun (1993-1999) dan Harris (sejak 2017), serta 45 anggota kongres yang pertama kali diwakilkan tahun 1968 oleh Shirley Chisholm dari New York.
Harris menjadi pilihan aman bagi kubu Demokrat untuk mendulang suara dari kalangan muda dan kulit berwarna. Seperti disampaikan oleh Time, Biden melihat Harris sebagai politikus yang mampu memenuhi tiga kepentingan sekaligus, yakni membantunya memenangkan pilpres, mendampinginya mengelola negara selama krisis nasional, serta meneruskan obor kepemimpinan kepada generasi baru Demokrat. Bukan tidak mungkin pula penempatan Kamala sebagai cawapres kelak membuka peluang baginya menuju kursi presiden 2024.
=========
Sekar Kinasih menyelesaikan studi Kajian Asia-Pasifik di Australian National University dan Sastra Jepang di Universitas Gadjah Mada. Mempelajari kebudayaan, gender, dan politik dari perspektif sejarah.
Editor: Windu Jusuf