Menuju konten utama

Setelah Keok PD II, Kini Militer Jepang & Jerman Mulai Panas

Setelah puluhan tahun jadi negara pasif, kedua negara ini mulai perlu merespons kondisi politik-militer kawasan yang memanas.

Setelah Keok PD II, Kini Militer Jepang & Jerman Mulai Panas
Seorang pria berjalan melewati sebuah televisi yang memperlihatkan pemimpin Korea Utara dalam sebuah laporan berita tentang peluncuran rudal Korea Utara di Tokyo, Jepang, Selasa (29/8). ANTARA FOTO/REUTERS/Kim Kyung-Hoon.

tirto.id - “Aku terbangun karena bunyi sirene dan sebuah pengumuman bahwa Korea Utara meluncurkan rudal yang mungkin bisa menyerang kota-kota di Hokkaido.”

Demikian kutipan akun @jtnarsico untuk video unggahannya di Twitter yang menggambarkan suasana Kota Hokkaido pada Selasa (28/8/2017) pagi usai Korea Utara menembakkan rudal yang terbang di atas Jepang dan mendarat di perairan di wilayah utara Hokkaido sekitar pukul 06.00 waktu setempat.

Pejabat Jepang dan Korea Selatan segera mengkonfirmasi kabar tersebut. Sekretaris Kabinet Jepang Yoshihide Suga mengatakan rudal itu jatuh ke laut 1.180 km (735 mil) di sebelah timur Tanjung Erimo di Hokkaido. Sistem peringatan nasional pemerintah Jepang menyebarkan imbauan melalui program radio dan TV, memperingatkan warga tentang kemungkinan rudal tersebut. Layanan kereta cepat untuk sementara dihentikan dan larangan keluar dikeluarkan pengeras suara di kota-kota di Hokkaido.

Publik masih ingat pada 2009 Korea Utara sempat menembakkan sebuah roket yang membawa satelit komunikasi ke orbit di atas Jepang, tapi Amerika Serikat, Jepang, dan Korea Selatan menganggap bahwa peluncuran tersebut merupakan uji coba rudal balistik. Kasus penembakan proyektil pada akhir bulan Agustus ini menandai manuver Korut yang pertama, sebab sebelumnya puluhan uji coba rudal balistik di bawah komando Kim Jong-Un tak pernah mendarat di teritori Jepang.

"Tindakan sembrono Korea Utara belum pernah terjadi sebelumnya. Ini ancaman serius dan berat bagi negara kita," kata Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe kepada Japan Today, yang juga mengaku telah berkomunikasi dengan Presiden AS Donald Trump melalui sambungan telepon untuk memastikan komitmen AS dalam membela Tokyo baik secara politis maupun militeris.

Jepang tak reaksioner atas kasus ini. Militernya tidak berusaha menembak jatuh rudal Korut. Abe, seperti biasa, mengecam dan mengontak aliansi militernya, dan kegiatan mayoritas warga Jepang berjalan normal kembali seakan tak terjadi apa-apa.

Jepang telah konsisten dalam menjalankan sikap pasifis sejak setengah abad yang lalu. Keputusan ini bisa ditelusuri mulai dari akhir Perang Dunia II tahun 1945. Jepang menyatakan kekalahannya usai Hiroshima dan Nagasaki dibom atom oleh sekutu. AS kemudian menjalankan pendudukan atas Jepang mulai 15 Agustus 1945 hingga 28 April 1952 sembari mulai melakukan proses demiliterisasi.

Baca juga: Mengapa Sekutu Memilih Hiroshima & Nagasaki untuk Dibom?

Petinggi Negeri Matahari Terbit menyadari betul bahwa perang tak menghasilkan apa-apa kecuali derita dan trauma. Dalam konstitusi pasca-perang Jepang, ditambahkanlah janji anti-perang dalam Pasal 9 yang bunyinya:

  • Berpihak pada perdamaian internasional berdasarkan keadilan dan ketertiban, orang-orang Jepang selamanya meninggalkan perang sebagai hak kedaulatan bangsa dan ancaman atau penggunaan kekuatan sebagai cara untuk menyelesaikan perselisihan internasional.
  • Untuk mencapai tujuan paragraf sebelumnya, angkatan darat, laut, dan udara, serta potensi perang lainnya, tidak akan pernah dipertahankan. Hak untuk berperang dengan negara tidak akan dikenali.
Pasal ini dilaporkan lahir tanpa ada campur tangan Sekutu, melainkan dibuat oleh Perdana Menteri Jepang saat itu, Kijuro Shidehara. Tujuannya adalah agar Jepang tak tumbuh jadi negara dengan agresivitas militer yang tinggi sehingga membahayakan kestabilan dalam negeri dan kawasan. Meski demikian, Perang Korea di awal 1950-an membuat keamanan Jepang makin rawan, sehingga di era ini pula Jepang mulai menjalin hubungan kerja sama militer dengan AS.

Hasil dari kerja sama tersebut antara lain terbentuknya National Police Reserve sebanyak 75.000 yang dilengkapi dengan senjata infanteri ringan. Pasukan AS juga ditempatkan di Jepang untuk menghadapi agresi militer dari luar (kebanyakan di Perfektur Okinawa) sementara pasukan Jepang difokuskan utnuk menangani ancaman internal termasuk bencana alam.

Pada tahun 1954, sesuai dengan perintah Perdana Menteri, Jepang memulai kembali prioses remiliterisasi dengan mendirikan Angkatan Darat (JGSDF), Angkatan Maritim (JMSDF), dan Angkatan Udara (JASDF). Kebijakan pengembangan ketiga elemen ini rajin mendapat tantangan dari rakyat Jepang yang masih trauma akan perang.

Baca juga: Teruo Nakamura, Serdadu Jepang Terakhir di Indonesia

Setelah lebih dari 70 tahun eksis, angkatan militer Jepang telah tumbuh dari yang awalnya berkekuatan tak seberapa hingga sekarang punya anggaran terbesar ke-8 di dunia (per Februari 2016). JSDF kini menjelma sebagai salah satu angkatan bersenjata dengan teknologi paling maju di dunia. Meski demikian, JSDF tak dikirim untuk pertempuran skala global. Mereka kadang ditugaskan untuk misi kemanusiaan non-tempur, termasuk membangun kembali Irak pasca-perang.

Dalam catatan New York Times, Shinzo Abe juga punya andil untuk pelan-pelan membangun angkatan militer Jepang. Meski banyak warga Jepang yang mengkritiknya dengan keras, peristiwa peluncuran rudal Korut makin membantu upayanya. Hal ini ditunjukkan dalam survei kantor Perdana Menteri Jepang yang menyatakan jumlah orang yang tertarik masuk angkatan bersenjata Jepang naik dari 55 persen pada akhir 1980-an menjadi 71 persen di tahun 2015.

Memasuki paruh kedua tahun 2017, makin banyak warga Jepang yang mengekspresikan dukungan bagi pemerintah untuk menguatkan angkatan militernya. Mereka takut akan kekuatan Cina di selatan dan manuver Korut yang makin mengkhawatirkan di utara. Mereka melihat pentingnya bantuan militer AS, tapi Jepang juga harus punya persiapan yang memadai untuk membela diri.

Mereka menggugat kembali sikap pasifis Jepang: apakah tepat untuk diberlakukan selamanya atau tergantung situasi di kawasan?

Infografik Demiliterisasi AdidayaPasca-PD II

Mau Dibawa ke Mana Militer Jerman?

Jika Jepang kalah di Pasifik, Jerman kalah di Eropa. Demiliterisasi negara yang kini dipimpin oleh Kanselir Angela Merkel itu dimulai dengan melucuti segala peralatan tempur yang dipanggul Wehrmacht alias angkatan bersenjata Nazi dan paramiliternya, membongkar semua aspek dalam industri Jerman yang bisa dipakai untuk tujuan militer, dan melarang produksi perangkat keras untuk tujuan militer.

Proses remiliterisasi Jerman berlangsung lambat. Diawali dengan pendirian Bunderwehr atau angkatan militer bersatu pada tahun 1955 ketika Jerman bergabung dengan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Meski demikian, berangkat dari trauma perang rakyat Jerman yang ingin hidup tenang usai Perang Dunia II, konstitusi negara itu menyatakan militer Jerman tetap bersifat defensif, bukan ofensif.

Pada perkembangannya Bunderwehrdipecah lagi menjadi Heer (Angkatan Darat), Marinir (Angkatan Laut), Luftwaffe (Angkatan Udara), Streitkräftebasis (Pasukan Dukungan Bersama), Zentraler Sanitätsdienst (Layanan Medis Bersama), dan Kommando Cyber-und Informationsraum (Komando Siber dan Informasi). Jumlah anggotanya dulu tergolong besar, tapi atas nama penghematan, personel militer Jerman berkurang dari 250.000 orang (2010) hingga kini tinggal 178,334 (per Februari 2017).

Pada awalnya Bunderwehr bekerja sama dengan NATO untuk mencegah serangan dari anggota Pakta Warsawa. Lambat laun tugas mereka bertambah, namun masih dalam platform pelayanan pada rakyat sipil Jerman yang dikenal amat kritis dengan dunia militer negaranya. Penerjunan pasukan Jerman untuk tugas skala global memang ada usai reunifikasi Jerman barat dan timur, namun jumlahnya masih sedikit. Pada prinsipnya, pengelolaan angkatan bersenjata Jerman dibuat seminimal dan sedefensif mungkin.

Baca juga:Pusaran Skandal Neo Nazi di Tubuh Militer Jerman

Kondisi ini memunculkan pertanyaan sindiran: apakah tentara Jerman benar-benar siap jika diterjunkan ke dalam pertempuran sungguhan?

Apalagi tentara Jerman punya hak khusus yang bisa dibilang sangat unik sebab tak ditemukan di negara-negara lain: hak untuk menolak perintah melakukan apa pun yang mereka anggap “sebenarnya salah” seperti membunuh seorang tahanan atau mengebom rumah sakit. Pada 2007 pengadilan federal memperluas hak itu. Mereka memutuskan bahwa tentara Jerman juga dapat menolak segala hal yang bisa menyebabkan sebuah perang yang tak perlu terjadi (meski hanya penyebab tak langsung).

Padahal, perkembangan politik Eropa kian dinamis dalam beberapa tahun belakangan. Vladimir Putin aktif “mengacaukan” stabilitas kawasan di timur negaranya hingga ke Timur Tengah. Perang sipil di negara-negara Arab dan Afrika memunculkan gelombang migrasi baru ke Eropa. Donald Trump juga mempertanyakan komitmen AS di NATO.

Jerman dihadapkan kondisi yang hampir mirip seperti Jepang: mau dibawa kemana angkatan militernya?

Baca juga artikel terkait PERANG DUNIA II atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Politik
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Maulida Sri Handayani