Menuju konten utama

Teruo Nakamura, Serdadu Jepang Terakhir di Indonesia

Hampir 30 tahun setelah korpsnya kalah perang, ia masih menghayati perannya sebagai serdadu Jepang.

Teruo Nakamura, Serdadu Jepang Terakhir di Indonesia
Teruo Nakamura (kanan) saat bertemu istrinya. FOTO/Istimewa

tirto.id - Attun Palalin berusia 22 tahun 6 bulan ketika Tentara Kekaisaran Jepang di Taiwan membuka penerimaan serdadu baru, April 1942. Kala itu Taiwan merupakan daerah koloni dari Kekaisaran Jepang sebelum berkuasanya Kuomintang (Partai Nasionalis Tiongkok) pimpinan Chiang Kai Shek di sana.

Menurut William Webb dalam No Surrender!: Seven Japanese WWII Soldiers Who Refused to Surrender After War (2014), Attun berasal dari suku Ami, pribumi Taiwan yang terbiasa hidup berburu. Mereka “memiliki kemampuan bertahan hidup sebelum pelatihan.”

Attun kemudian masuk Relawan Takasago, lalu dilatih perang non-konvensional dan cara-kerja intelijen oleh perwira-perwira Nakano Gakko. Letnan Yanagawa yang melatih Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (PETA) dulunya pernah belajar pula di sekolah intelijen Nakano itu. Selain Yanagawa, Letnan Hiro Onada—yang puluhan tahun bersembunyi di Filipina—juga pernah belajar di sana.

Setelah bergabung dengan korps militer Jepang, nama Attun dijepangkan menjadi Teruo Nakamura.

Menurut Yoshikuni Igarashi dalam Homecomings: The Belated Return of Japan's Lost Soldiers (2016), Teruo pada November 1943 sudah jadi sukarelawan Tentara Kekaisaran Jepang yang ditempatkan di pasukan cadangan Resimen Infanteri Pertama Taiwan. “Setelah mengikuti latihan sampai April tahun berikutnya, dia diberangkatkan ke Pasifik Selatan, tiba di Pulau Halmahera melalui Manila pada 14 Juni 1944.”

Kesatuan tempat Teruo terdiri dari 4 kompi. Dari 485 anggota, 373 di antaranya orang Taiwan. Pada 12 Juli 1944, dia dan yang lainnya mendarat di Morotai, ditempatkan di Resimen Infanteri 211 yang sedang mempertahankan pulau itu. pada September 1944, Morotai diserbu sekutu. Meski militer Jepang sudah mengerahkan pasukannya yang ada di Halmahera untuk mempertahankan Morotai, akhirnya pulau ini jatuh juga ke tangan Sekutu. Belakangan, Morotai dibangun sebagai pangkalan militer Amerika.

Menurut Yoshikuni Igrashi, sisa serdadu-serdadu Jepang di sekitar Morotai berusaha mengganggu pengerjaan pangkalan tersebut. Awal 1945, komandan Jepang di sekitar Morotai memberi perintah untuk terus bertahan dalam melawan tentara Amerika. “Serdadu-serdadu Jepang berjalan ke dalam hutan mencari makanan segera dipecah dalam kelompok-kelompok kecil, sepuluh pejalan kaki, termasuk (Teruo) Nakamura.”

Teruo Nakamura dan kawan-kawannya itu pun tak mendengar kabar soal sudah menyerahnya negara mereka pada 14 Agustus 1945. Bahkan, setelah cabutnya tentara Sekutu dari Morotai serta pulangnya ribuan serdadu-serdadu Jepang ke kampung halaman mereka—baik Jepang, Korea maupun Taiwan—mereka terus bergerilya. Enam dari sembilan orang dalam kelompok Nakamura itu orang Taiwan, termasuk dirinya.

Baca juga:

“Nakamura meninggalkan kelompoknya di awal 1950an dan tetap di Pulau seorang diri ketika sisa anggota akan kembali ke masyarakat pada 1956,” tulis Yoshikuni Igrashi. Ketika bertemu orang lokal, dia bertanya soal ada tidaknya serdadu Sekutu di sana. Tiga orang lokal yang ditemuinya itu menjawab bahwa tak ada lagi serdadu Sekutu.

“Sekarang Indonesia sudah merdeka,” tambah seorang penduduk.

Dia lalu menyandera dua dari tiga penduduk lokal. Yang satu disuruhnya pulang mengambil bendera dan gambar presiden yang berkuasa. Orang yang pulang itu kemudian kembali, tapi bersama seorang anggota Angkatan Udara Republik Indonesia di Morotai. Demikian yang dicatat mingguan Tempo (04/01/1975). Kawan-kawan Nakamura pun memilih menyerah, tapi Nakamura tidak.

“Aku bersama dengan delapan orang kawan sampai selesainya perang,” aku Nakamura pada sebuah konferensi pers di Jakarta pada 30 Desember 1974, seperti dikutip buku Homecomings: The Belated Return of Japan's Lost Soldiers. Sayangnya, Nakamura tak akur dengan kawan-kawannya itu. “Mereka mengancam akan 'membunuh saya'. Aku begitu takut lalu aku melarikan diri. Aku tinggal sendirian sejak itu. Itu semua kesalahan mereka, dan saya tidak ingin melihat mereka."

Baca juga: Korban-Korban Kempeitai Zaman Jepang

Menurut Konsul Jepang, seperti dilansir Tempo (04/01/1975), Nakamura berpegang teguh pada perintah atasannya dulu. Selain itu, Nakamura percaya bahwa “cepat atau lambat Angkatan Darat Jepang pasti akan datang, sekalipun seratus tahun mendatang.” Namun ternyata, tentara kekaisaran tempatnya dulu mengabdi itu tak pernah datang. Kesatuan itu sudah dikebiri selama puluhan tahun oleh Amerika.

Akhirnya, seperti dilaporkan Tempo, yang datang menjemput Nakamura adalah pihak militer Indonesia saat dia bertahan di Pegunungan Golaka. Ia dijemput setelah adanya laporan dari penduduk soal adanya orang asing di hutan. Para penjemput pun tahu bagaimana kondisi psikologis Nakamura. Tim dari AURI pimpinan Letnan Supardi AS itu sampai menyanyikan lagu "Kimigayo," lagu kebangsaan Jepang pada 18 Desember 1974, setelah mereka mengamati Nakamura sibuk membabat hutan dalam kondisi telanjang.

Alunan lagu "Kimigayo" membuat Nakamura berdiri tegap, meski sedang tak berpakaian. Selesai lagu, berlanjut lagu "Miyo Tookohina." Lagu-lagu itu dengan fasih dinyanyikan oleh Najoan dan Gayus, para penjemput. Setelah lagu usai dinyanyikan, seseorang berteriak, “angkat tangan!”

Ketika Nakamura hendak membalik badan, beberapa orang AURI di bawah pimpinan Sersan Hanz Anthony menyergapnya. Pedang yang ada di tangannya berhasil dilepaskan. Hanz dulunya ikut hadir ketika dulu kawan-kawan Nakamura menyerah.

Infografik teruo nakamura

Setelah disergap AURI, Nakamura diperiksa oleh dokter militer Letnan Kolonel Yuzirman. Hasilnya, Nakamura sehat. Tekanan darahnya juga normal. Hanya mulutnya saja yang bermasalah. Rupanya, selama dalam persembunyiannya, Nakamura memakan kacang-kacangan, tebu, dan keladi yang ditanamnya di dalam hutan. Tak lupa dia memakan babi, yang memang banyak berkeliaran di sekitar tempat persembunyiannya.

Nakamura akhirnya pulang ke Taiwan dan bertemu lagi dengan Li Lianying, istrinya yang sudah kawin lagi dengan Huang Jinmu selama bertahun-tahun. Li Lianying dan Nakamura rupanya sudah punya anak, Li Hong, yang punya nama Jepang Hiroshi Nakamura.

Tak lama setelah Nakamura pulang, Li Lianyang pun bercerai dengan Huang Jinmu. Huang setuju Li Lianying kembali pada Attun Palalin alias Teruo Nakamura, “dalam kondisi dia akan menerima sejumlah uang, tanah, rumah dan kerbau sawah,” tulis Yoshikuni Igarashi.

Li Lianyang dan Nakamura memulai lagi rumah tangga mereka yang terputus selama 30 tahun itu pada 6 Maret 1975, empat tahun sebelum Nakamura tutup usia pada usia hampir 60 tahun di tahun 1979.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Maulida Sri Handayani