tirto.id - “Pagupon omahe dara, melu nipon tambah sengsoro,” oceh Tjak Doerasim. Dalam bahasa Indonesia: Pagupon kandang merpati, ikut Nippon alias Jepang makin sengsara.
Tjak Doerasim mengatakannya ketika militer Jepang berkuasa di Indonesia. Sebagai bintang ludruk, omongannya tentu bisa mengganggu stabilitas keamanan zaman itu. “Lantaran kidungannya itu Tjak Doerasim ditangkap dan disiksa habis-habisan oleh Kempetai,” tulis Dukut Imam Widodo dalam Soerabaia Tempo Doeloe (2002).
Menurut Frank Palmos dalam Surabaya 1945, aktor Ludruk yang disegani ini telah mengkritik Jepang karena memperlakukan rakyat Surabaya seperti 'merpati di sangkar. Menurut Fandy Hutari dalam bukunya Sandiwara dan Perang: Propaganda di Panggung Sandiwara Modern Zaman Jepang (2015), “Tjak Doerasim meninggal akibat mendapat siksaan dari Kempeitai (polisi militer Jepang yang terkenal sadis).”
Menurut catatan J.B. Sudarmanto dalam Politik Bermartabat: Biografi I.J. Kasimo (2011), Kasimo pernah melihat ada seorang tahanan Digulis yang diikat tubuhnya dalam kondisi telanjang bulat. Dia disuruh duduk di dekat sumur yang lebar dan dalam. Perlahan, dia didorong ke dalam sumur itu. Setelah menggelepar dan hampir mati barulah dia diangkat dari sumur.
Main pukul tentu juga hal biasa bagi Kempeitai. Menggantung tubuh si orang yang disiksa dengan posisi kaki di atas tak jarang dilakukan untuk mengorek informasi, tentu saja dengan tambahan siksaan lainnya.
Di zaman pendudukan Jepang, Kempeitai sangat ditakuti. Mereka kerap membikin mampus orang yang dianggap membahayakan Nippon dalam memenangkan Perang Asia Timur Raya juga menjadi tugas mereka. Kempeitai adalah unit militer yang bertindak sebagai polisi rahasia sekaligus dianggap sebagai polisi militer.
“Kempeitai melakukan sensor terhadap media massa, mengawasi kelompok yang dicurigai subversif, membasmi jaringan mata-mata dan melakukan pengawasan rahasia terhadap kantor pos, stasiun kereta api, hotel, sekolah, tempat ibadah dan tempat-tempat umum lainnya,” catat David Jenkins dalam Soeharto di Bawah Militerisme Jepang (2010).
Menurut Hugh Cortazzi dalam The Japanese Achievement (1990), pada 1937 Kempeitai memiliki 315 perwira dan 6000 prajurit. Mereka dikenal sebagai Disipliner Sipil. Pihak Sekutu memperkirakan pada akhir Perang Dunia II, setidaknya ada 7.500 anggota Kempeitai.
Polisi militer macam ini beraksi di front Asia Pasifik. Tjak Doerasim bukan satu-satunya korban ganasnya Kempeitai. Pesohor dunia sastra penting Indonesia di masa revolusi, Chairil Anwar, juga pernah merasakan hebatnya siksa Kempeitai di masa-masa saudara tua berkuasa terkait puisinya yang berjudul “Siap Sedia” (1943).
“Kawan, kawan. Mari mengayun pedang ke dunia terang,” tulis Chairil seperti dikutip H.B. Jassin dalam Kesusastraan Indonesia di Masa Jepang (1969). Ketika itu Chairil baru 20 tahun. Tubuhnya ceking pula. Bayangkan. Dengan tulang-tulang yang hanya dibalut kulit dan sedikit dagingnya, Chairil digebuki Kempeitai.
Menurut Eneste Pamusuk dalam Mengenal Chairil Anwar (1995), Chairil Anwar ditahan sekitar bulan Juli 1943. Karena penahanan itu jugalah Chairil tidak bisa tampil sebagai pembicara pada Forum Angkatan Muda di Kantor Pusat Kebudayaan.
Tokoh angkatan 1945 sohor lainnya tentu Sayuti Melik. Penjara sudah dirasakannya sejak remaja di zaman kolonial. Bolak-balik dia masuk penjara. Mantan istri pertamanya pun juga seperti dirinya, orang yang sering keluar masuk penjara kolonial Hindia Belanda. Di zaman pendudukan Jepang, Sayuti juga masuk lagi. Kempeitai mencurigainya melakukan gerakan bawah tanah. Setelahnya, istri pertamanya S.K. Trimurti pun kena “garuk” Kempeitai juga.
“Ia disiksa dengan pukulan pentungan sehingga pingsan. Bukan main penderitaannya,” tulis Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil "Petite Histoire" Indonesia, Volume 3, mengenai dua pasangan yang terlibat pergerakan nasional itu. Belakangan mereka dibebaskan berkat campur tangan Soekarno. Anda tentu mengenal Sayuti Melik setidaknya sebagai pengetik teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan istrinya S.K. Trimurti sebagai salah satu menteri di kabinet awal republik.
Amir Syarifudin adalah salah satu yang keluar dari tahanan Kempeitai dalam kondisi hidup. Sebetulnya, Amir pernah akan dimampuskan, namun militer Jepang mengurungkan niatnya setelah dibujuk Sukarno. Ketika Amir diangkat sebagai menteri penerangan, dirinya masih meringkuk di tahanan Kempeitai di Malang. Ali Sastroamidjojo mengingat bagaimana Amir keluar dari tahanan Kempeitai itu.
“Waktu ia turun dari kereta api kelihatan masih kurus badannya. Bekas-bekas siksaan Kempeitai masih nampak pula. Rambut di kepalanya kelihatan pendek sekali, baru tumbuh kembali,” tulis Ali dalam memoarnya Tonggak-tonggak Perjalananku (1974).
Selain yang dialami orang-orang di atas, masih banyak lagi korban Kempeitai maupun unit militer Jepang lainnya. Tak sedikit dari mereka yang dibunuh, misalnya dalam pembantaian yang dilakukan di Mandor, Kalimantan Barat. Keluarga Sultan Pontianak juga dihabisi juga di Kalimantan Barat. Di Kalimantan, Angkatan Laut Jepang juga membantai orang-orang terpelajar seperti para dokter.
Terbatasnya jumlah Kempeitai di daerah pendudukan seperti Jawa, menurut David Jenkins dalam bukunya Soeharto di Bawah Militerisme Jepang, membuat banyak pemuda Indonesia dilatih untuk menjadi opsir Kempeiho. Mereka adalah para pemuda pilihan: pernah bersekolah dan punya kemampuan bahasa Jepang. Mereka kerap dijadikan penerjemah untuk mengorek informasi dari tahanan Kempeitai. Tak jarang, Kempeiho juga terlibat dalam penyiksaan yang sadis.
Menurut penulusuran Jenkins, salah satu dari mantan Kempeiho yang belakangan jadi Mayor Jenderal Corps Polisi Militer Indonesia adalah Sukotjo Tjokroatmodjo. Dia belakangan muak dengan tugasnya. “Tiba-tiba saya merasa muak terhadap apa yang dilakukan bekas Kempeiho. Siksaan yang mereka lakukan menjijikan,” katanya. “Mereka bersemangat… Memang begitu.”
Selain Sukotjo, mantan Kempeiho lain yang kesohor adalah Pahlawan Revolusi Suwondo Parman. Dalam buku biografinya Letnan Jenderal S. Parman (1918-1965) disebut, meski S. Parman masuk menjadi Kempeiho dengan niat belajar dari Kempeitai, keluarganya tidak setuju.
Menurut sang penulis biografi, Parman pernah dikirim ke Tokyo selama hampir setahun untuk belajar pada sekolah milik Kempeitai dan ia terus mendapat ranking teratas.
Namun informasi ini diragukan oleh pihak Perpustakaan Arsip Militer Institut Nasional untuk kajian pertahanan Tokyo. David Jenkins menyimpulkan, “tak ada siswa asing yang belajar di sekolah itu.“ Menurut Jenkins, pengakuan penulis biografi itu sebetulnya bisa mencemarkan nama S. Parman sendiri karena digambarkan berlebihan.
Bagaimanapun, Jepang menduduki Indonesia dengan kekejaman. Banyak orang disiksa dan dibunuh. Hanya saja, bersikap kooperatif terhadap fasis Jepang sebagai apapun, termasuk terlibat dalam penyiksaan terhadap saudara sebangsanya, tidak dianggap jahat dalam pandangan orang Indonesia masa kini.
Jepang dianggap sebagai Saudara Tua yang menjadi guru militer bagi penguasa-penguasa Orde Baru. Maka, siksaan ala Kempeitai pun akhirnya diabaikan dan tak banyak diingat.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Maulida Sri Handayani