Menuju konten utama

Sejarah Latar Belakang Pemberontakan APRA, Tokoh, dan Dampaknya

Pemberontakan APRA adalah salah satu peristiwa penting dalam sejarah Indonesia setelah merdeka. Simak latar belakang APRA dan kronologinya di sini.

Sejarah Latar Belakang Pemberontakan APRA, Tokoh, dan Dampaknya
Ilustrasi Pemberontakan. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Mengetahui latar belakang APRA akan membantu kita memahami sejarah Indonesia secara menyeluruh. Kita juga akan memahami penyebab sekaligus tujuan pemberontakan APRA yang terjadi setelah kemerdekaan Indonesia.

Seperti yang diketahui, Indonesia terus mengalami banyak peristiwa penting setelah Proklamasi Kemerdekaan dikumandangkan. Salah satunya adalah pemberontakan APRA yang terjadi pada 23 Januari 1950 di Bandung.

APRA adalah singkatan dari Angkatan Perang Ratu Adil, sebuah kelompok militer pimpinan Raymond Westerling yang notabene adalah mantan Kapten Koninklijk Nederlands Indisch Leger (KNIL). Nama kelompok ini diambil dari kepercayaan dalam masyarakat Jawa mengenai sosok Ratu Adil.

Sosok ini diramalkan oleh Jayabaya akan datang di tengah masa kekacauan untuk membawa keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat. Westerling pun menggunakan istilah ini untuk menarik simpati dan dukungan dari masyarakat, terutama kalangan pribumi yang masih mempercayai mitos Ratu Adil.

Dengan memakai nama Ratu Adil, Westerling mencoba membangun citra bahwa gerakannya adalah demi membela keadilan dan memperjuangkan hak rakyat, meskipun pada kenyataannya gerakan ini lebih fokus pada kepentingan politik dan militer yang bertujuan mempertahankan sistem federal dan keberadaan tentara-tentara eks-KNIL.

Latar Belakang Pemberontakan APRA

Ilustrasi tentara KNIL

Ilustrasi tentara KNIL. tirto.id/Rangga

Latar belakang APRA berkaitan erat dengan situasi politik yang tidak stabil setelah pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda pada Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949. Salah satu hasil KMB adalah penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat (RIS).

Selain itu, dibentuk pula Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) yang menggabungkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger (KNIL). Akan tetapi, bentuk negara federal ini mendapatkan penolakan dari mayoritas rakyat Indonesia yang lebih menginginkan bentuk negara kesatuan.

Dari sinilah timbul ketegangan yang menjadi cikal bakal penyebab pemberontakan APRA. Muncul pula kekhawatiran dari pihak-pihak pro-Belanda, terutama prajurit KNIL yang dipaksa melebur dengan TNI. Salah satu yang merasa tidak puas dengan KMB dan demobilisasi KNIL adalah Raymond Westerling.

Westerling khawatir bahwa hak dan posisi mantan tentara KNIL, khususnya yang berasal dari kelompok non-pribumi dan pribumi pro-Belanda, akan terpinggirkan. Itulah sebabnya ia kemudian mendirikan APRA karena ingin mempertahankan negara federal.

Dikutip dari laman Universitas Islam An Nur Lampung, tujuan pemberontakan APRA adalah mengganggu penyerahan kedaulatan kepada Indonesia sekaligus menyingkirkan Presiden Soekarno.

Dengan tersingkirnya Presiden Soekarno dan tokoh-tokoh nasionalis lainnya, maka akan lebih mudah membentuk pemerintahan boneka di bawah kekuasaan Belanda. Selain itu, Westerling yang enggan bersatu dengan TNI juga menuntut pengakuan terhadap keberadaan tentara federal di negara-negara bagian RIS.

Kronologi Pemberontakan APRA

Pasukan Angkatan Perang Ratu Adil

Pasukan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA). FOTO/Istimewa

Dengan latar belakang APRA yang tidak puas dengan KMB dan ingin mempertahankan federalisme, maka pada 5 Januari 1950, Westerling mengirimkan surat ultimatum kepada pemerintah RIS.

Westerling menuntut pemerintah untuk mengakui dan menghargai negara bagian, termasuk Negara Pasundan. Ultimatum itu juga berisi tuntutan agar pemerintah mengakui APRA sebagai tentara Pasundan.

Westerling memberikan waktu 7 hari, apabila pemerintah menolak, maka ia mengancam akan memulai perang besar. Ultimatum ini tentunya ditanggapi negatif oleh pihak Indonesia. Bahkan, pada 10 Januari 1950, Mohammad Hatta mengeluarkan perintah penangkapan Westerling.

Sementara itu, Westerling mencari dukungan dan bekerja sama dengan Sultan Hamid II, salah satu pejabat menteri di Kabinet RIS. Sultan Hamid II ternyata pro federalisme dan menentang bentuk negara kesatuan yang diperjuangkan Presiden Soekarno.

Puncak dari pemberontakan APRA terjadi pada 23 Januari 1950. Dikutip dari buku Api Sejarah Jilid Kedua karya Ahmad Mansur Suryanegara, sekitar 800 prajurit APRA yang juga terdiri dari serdadu KNIL menyerbu kota Bandung.

APRA membunuh para TNI yang ditemuinya di jalan. Padahal, saat itu TNI sendiri sedang tidak siap karena mematuhi aturan KMB terkait peletakan senjata. Hal ini berakibat gugurnya 79 anggota TNI, salah satunya adalah Letnan Kolonel Lembong.

Berhasil menyerang Bandung, APRA hendak melanjutkan kudetanya ke Jakarta dan berniat membunuh tokoh-tokoh penting di pemerintahan RIS, termasuk Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Sekjen Kementerian Pertahanan A. Boediardjo, dan Kolonel T.B. Simatoepang.

Namun, rencana APRA berhasil digagalkan oleh TNI yang kemudian meringkus prajurit APRA pada 24 Januari 1950. Westerling yang tidak ikut dalam gerakan sebelumnya, rupanya masih berniat untuk melancarkan kudeta lagi.

Rencana itu ternyata bocor dan Westerling akhirnya ditangkap oleh polisi Belanda pada 25 Januari 1950 dan dibawa ke Belanda untuk diadili di sana. Sementara catatan sejarah lain mengungkapkan bahwa Westerling sebenarnya kabur dari Indonesia.

Tak hanya Westerling, Sultan Hamid II pun akhirnya ikut ditangkap oleh pemerintah Indonesia pada 5 April 1950 karena telah bekerja sama dengan Westerling dalam upaya kudeta.

Dampak Pemberontakan APRA

Ilustrasi Tentara

Ilustrasi Tentara. FOTO/iStockphoto

Setelah memahami latar belakang APRA dan kronologi pemberontakannya, kita juga perlu mengetahui apa saja dampak yang ditimbulkan oleh peristiwa ini. Selain timbulnya banyak korban jiwa, setidaknya ada dua dampak besar dari pemberontakan APRA di Indonesia:

1. Ketegangan Antara Indonesia dan Belanda Meningkat

Pemerintah Indonesia tentunya langsung menuduh Belanda terlibat langsung dalam pemberontakan APRA. Apalagi ada banyak bukti dukungan logistik dan senjata yang diberikan oleh Belanda kepada APRA.

Akan tetapi, Belanda mengaku tidak tahu apa pun terkait APRA. Belanda juga menolak jika Westerling diadili di Indonesia. Sebagai warga negara Belanda, Westerling diminta diadili di negara asalnya sesuai hukum yang ada di Belanda.

2. Mempercepat Pembubaran RIS

Adanya kudeta APRA justru mempercepat pembubaran RIS. Pemberontakan APRA dianggap sebagai contoh nyata dari bahaya jika tetap mempertahankan sistem federalisme.

Selain itu, RIS dengan negara-negara bagiannya dianggap lebih rentan pada perpecahan dan mudah dikendalikan oleh Belanda. Maka, pada 17 Agustus 1950, RIS resmi dibubarkan dan Indonesia kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Tokoh dalam Peristiwa Pemberontakan APRA

Raymond Westerling

raymond westerling. foto/www.wikipedia.com

Latar belakang APRA dan peristiwa kudetanya tentunya tak lepas dari sosok Raymond Westerling. Ia adalah mantan perwira KNIL (Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger) yang juga dikenal sebagai pendiri APRA. Setelah upaya kudetanya gagal, Raymond Westerling dibawa ke Belanda dan diadili sekaligus mendapat hukuman di sana.

Selain Westerling yang merupakan orang Belanda, APRA rupanya juga mendapatkan dukungan dari orang Indonesia. Salah satunya adalah Sultan Hamid II dari Pontianak yang dikenal sebagai perancang Lambang Negara Indonesia.

Sultan Hamid II juga masuk dalam kabinet RIS sebagai Menteri Negara Zonder Portofolio. Namun, Sultan Hamid II diketahui berhaluan federal dan menentang negara kesatuan. Ia pun dianggap telah bersekongkol dengan Raymond Westerling dalam pemberontakan APRA dan ditangkap pada 5 April 1950.

Dalam Buku Ajar Sejarah Nasional Indonesia VI karya Syarifuddin, sebenarnya ada beberapa tokoh lain dari Indonesia yang diduga terlibat dengan peristiwa pemberontakan APRA.

Mereka adalah Anwar Tjokroaminoto yang merupakan Perdana Menteri Negara Pasundan, Komisaris Besar Polisi R. Jusuf, Komisaris Besar Polisi Djanakum, dan Male Wiranatakusumah. Mereka dicurigai terlibat dengan rencana Westerling dan akhirnya ikut ditangkap.

Demikian penjelasan tentang latar belakang APRA, kronologi, dan dampaknya. Pemberontakan ini merupakan bentuk perlawanan terhadap upaya penyatuan Indonesia dalam bentuk negara kesatuan. Peristiwa ini pun menjadi pengingat bahwa perjuangan mempertahankan kemerdekaan tidaklah mudah karena Indonesia harus melawan banyak pihak yang ingin memecah belah bangsa.

Baca juga artikel terkait SEJARAH atau tulisan lainnya dari Erika Erilia

tirto.id - Edusains
Kontributor: Erika Erilia
Penulis: Erika Erilia
Editor: Erika Erilia & Yulaika Ramadhani