Menuju konten utama
23 Januari 1950

Pasukan Westerling Garang di Bandung, Loyo di Jakarta

Si tangan hitam.
Gerombolan pengacau
di kota kembang.

Pasukan Westerling Garang di Bandung, Loyo di Jakarta
Ilustrasi Raymond Westerling. tirto.id/Gery

tirto.id - Awal 1949, Westerling bukan lagi kapten pasukan khusus Belanda, melainkan sudah bersalin mata pencaharian sebagai pengusaha angkutan perkebunan. Bisnisnya cukup lancar. Tak ada aparat atau gerombolan liar yang berani mencegat truknya.

Jika ada yang mendekat, supir cukup bilang, “ini kendaraan Westerling.” Maka habis perkara. Menurut Dominique Venner dalam Westerling de Eenling (1983: 35) dan Challenge To Terror (1952: 147) yang ditulis Westerling sendiri, trayek truk angkutan Westerling itu adalah Jakarta-Bandung.

Pada Februari, bekas bos besar Westerling di ketentaraan Belanda, Letnan Jenderal Simon Hendrik Spoor, mengajak Westerling berpetualang lagi. Spoor yang bersilang jalan dengan politisi sipil Belanda, terbersit pikiran untuk memulai “jalan sendiri”: sebuah rencana kudeta di Indonesia. Di mana Westerling akan menjadi motornya. Tak lupa, Westerling diberi uang muka untuk membeli senjata dari pasar gelap.

Westerling tampak begitu bersemangat dengan rencana itu. Meski belum sampai seminggu Spoor justru membatalkannya pada Maret 1949. Westerling bukannya patah arang dengan sikap Spoor yang ternyata “panas-panas taik ayam” itu. Sekitar dua bulan setelahnya, Spoor meninggal pada 25 Maret 1949.

Persiapan Pemberontakan

Westerling boleh saja tak dapat uang lagi dari Spoor, tapi pengusaha-pengusaha yang anti-republik memberi sokongan duit kepadanya. Beberapa pengusaha berdarah Eropa dan Tionghoa dari perusahaan dagang, angkutan, dan perkebunan di sekitar Bandung dan Jakarta memberikan sumbangan kepada gerakan terselubung Westerling itu.

Menurut laporan kepolisian No.Pol.278/A.R./PAM/DKN/50 tanggal 21 Februari 1950 (ANRI, Kementerian Perdana Menteri RI Yogyakarta, Nomor 129), salah seorang pengusaha perkebunan keturunan Inggris bernama Tom menyebut Westerling sebagai “orang besar.” Para pengusaha itu berharap Westerling membuat keadaan politik di Indonesia menguntungkan mereka.

“Sumber keuangan untuk membelanjai aksi pengacauan ini ialah The Big Five (Lindeteves, Javastaal, Gio Wehry, Borsumij, dan BPM) dan Landbouwsyndicaat,” tulis laporan tersebut. Untuk angkutan dalam pergerakan pasukan, truk-truk juga disiapkan.

Gerakan bersenjata tentu tak hanya butuh uang, tapi juga pasukan. Terutama pasukan tempur. Berkat reputasinya sebagai mantan komandan pasukan khusus, Westerling tak kesulitan merekrut serdadu bawahan di Tentara Kerajaan di Hindia Belanda (KNIL).

Dominique Venner (1983) mencatat, beberapa letnan kolonel Belanda di sekitar Bandung semula bersedia membantu. Seorang bintara perbekalan bahkan sudah rela “memejamkan mata” jika ada gerombolan Westerling datang untuk ambil senjata dari gudang yang dijaganya (hlm. 349).

Tak hanya dari KNIL, dari bekas intel Belanda (NEFIS), kepolisian, dan bekas pejuang republik Indonesia pun Westerling punya pendukung. Dari bekas pejuang terdapat bekas preman Senen dan juga mantan KNIL bernama Rapar, yang punya anak buah di sekitar Cikampek. Untuk menarik anggota, Westerling dan pengikutnya membentuk apa yang dikenal sebagai Angkatan Perang Ratu Adil (APRA).

Dari kepolisian, ada Komisaris Asbeck Brusse; seorang inspektur bernama Frans Najoan, yang tampaknya dari bagian intelijen; juga seorang inspektur polisi Indo bernama van Kleef. Dari kalangan pejabat, ada Sultan Hamid II dari Pontianak, yang pada 1950 menjabat sebagai Menteri Negara Tanpa Portofolio di kabinet Republik Indonesia Serikat (RIS) dan dikenal sebagai salah satu perancang lambang negara RI Garuda Pancasila. Selain itu, mantan Bupati Bandung dan koleganya juga terkait dengan Westerling.