tirto.id - Moesa Soeria Kartalegawa adalah mantan Bupati Garut (1929-1944). Setelah Perang Dunia selesai, terjadi vacuum of power di Indonesia. Setelah Republik Indonesia berdiri, NICA Belanda kembali ke Indonesia.
“Dia tidak suka dengan perjuangan kemerdekaan. Dia ingin kembali ke zaman feodal, tatkala kaum menak [priyayi] punya kedudukan istimewa dan seorang regent (bupati) dilayani oleh rakyat selaku abdi setia,” tulis Rosihan Anwar di Pikiran Rakyat (12/12/2008).
Banyak kalangan bimbang, apakah mau mendukung Belanda lagi atau republik. Republik belum kuat, sementara Belanda di Indonesia makin menguat. Segala cara dilakukan untuk melemahkan posisi Republik di Jawa Barat. Setidaknya, Soeria Kartalegawa didekati Letnan Kolonel Soerio Sentoso yang berdinas lagi di ketentaraan Hindia Belanda.
Menurut George McTurnan Kahin dalam Nationalism and Revolution in Indonesia (1999), Soerio Sentoso-lah yang memberi usul pembentukan Partai Rakyat Pasundan (PRP), yang akhirnya didirikan pada 18 November 1946 di Bandung. Partai ini melakukan gebrakan besar pada 4 April 1947 di Bandung: Soeria Kartalegawa menyatakan proklamasi Negara Pasundan.
Dalam proklamasi itu, Hubertus Johannes van Mook hadir. Sepinya dukungan membuat Negara Pasundan versi PRP itu tak bertahan lama dan menjadi sekadar wacana. Pendukung republik di sekitar Bandung saat itu masih banyak. Sulit membangun negara baru ketika itu.
Mantan Bupati Bandung RAA Muharam Wiranatakusumah V adalah penentang rencana pendirian Negara Pasundan tersebut. Menurut Ida Sarifah dalam Usaha-usaha Belanda dalam Mendukung Pendirian Negara Pasundan Pada Masa Perang Kemerdekaan 1945-1950 (1995), Wiranatakusumah V selaku pejabat Republik pun memberi keterangan pada Presiden Soekarno.
“Menolak sekeras-kerasnya adanya Negara Pasundan berdiri tetap mati-matian di bawah Pemerintah Republik Indonesia,” kata Wiranatakusumah V dalam telegramnya kepada Soekarno. Nama anggota keluarga Wiranatakusumah V juga dicatut, ditulis sebagai pejabat di Negara Pasundan tersebut.
Tak hanya itu, menurut catatan Rosihan Anwar, Barisan Pasundan pimpinan Mr. Koestomo di Bogor, pada 23 Mei 1947 itu juga menduduki gedung-gedung Republik di kota Bogor. Bendera merah putih diturunkan dan diganti bendera hijau Pasundan. Untuk tindakan tersebut, Soeria Kartalegawa merasa dapat dukungan dari Komandan militer di Bogor Kolonel Thompson dan Residen Bogor Statius Muller (lebih lengkap tentang peranan Kartalegawa, baca: Mang Karta dan Kegagalan Negara Pasundan Jilid Pertama).
Serangan Belanda lalu mengubah keadaan. Demi menduduki daerah-daerah bernilai ekonomis bagi Belanda, pada 21 Juli 1947 Letnan Jenderal Spoor mengerahkan pasukannya untuk melakukan serangan militer ke daerah Republik. Alhasil, daerah-daerah perkebunan di sekitar Jawa Barat seperti Bandung pun berhasil disikat dan jadi wilayah pendudukan Belanda.
Di tahun 1948, setelah perundingan Renville yang mengharuskan segala unsur Republik—termasuk militernya yang bernama Divisi Siliwangi—keluar dari Jawa Barat, barulah negara boneka dukungan van Mook bisa bernapas lega. Menurut Ajib Rosidi dalam Ensiklopedia Sunda, Alam, Manusia, dan Budaya (1988), berkat ada kompromi dengan sisa pendukung Republik di Bandung dan sekitarnya, Negara Pasundan atau Negara Djawa Barat pun mulus berdiri.
Yang mengherankan, wali negaranya adalah RAA Wiranatakusumah V, yang sebelumnya menolak Negara Pasundan versi Kartalegawa. Wiranatakusumah V dilantik di hari berdirinya Negara Pasundan 24 April 1948.
“Pencalonan Wiranatakusumah tidak pernah diperhitungkan, karena itulah setelah nama Wiranatakusumah disebut sebagai calon wali negara, pihak Belanda agar terkejut, tulis KML Tobing dalam Perjuangan Politik Bangsa Indonesia Renville (1986). Pihak Belanda sebetulnya menginginkan Hilman Djajadiningrat yang jadi pejabat Recomba di Jawa Barat. Dalam pemilihan Hilman memperoleh 44 suara, sedang Wiranatakusumah 54 suara.
Wiranatakusumah V yang menjadi wali negara Pasundan tidak merasa jabatannya berarti pengkhianatan kepada Republik.
“Sesungguhnya dalam prinsip saya tidak setuju dengan perceraian Jawa Barat dengan Republik, oleh karena semenjak permulaan saya bersifat Republik, saya bersedia menerima pengangkatan itu, Saya percaya bahwa pemerintah Republik tidak akan memajukan keberatan-keberatan,” kata Wiranatakusumah seperti dikutip Agus Mulyana, dalam Negara Pasundan 1947-1950; Gejolak Menak Sunda Menuju Integrasi Nasional (1996).
Meski berada di daerah pendudukan Belanda, bagi Wiranatakusumah V setidaknya negara boneka itu dikuasai orang-orang pro-republik sepertinya.
Kabinet Negara Pasundan memang dipimpin orang-orang pro-Republik. Pemimpin kabinet pertama alias perdana menteri dari Negara Pasundan pertama adalah R. Adil Puradiredja. Setelahnya, perdana menteri diisi oleh Jumhana Wiriaatmaja yang juga pro-Republik. Perdana Menteri terakhir adalah Oetaryo Anwar Cokroaminoto. Anwar tak kalah Republiken juga. dia putra dari Pahlawan Nasional HOS Cokroaminoto.
Negara ini tidak berumur lama. Setelah kesepakatan RI-Belanda dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) yang menentukan bahwa wilayah RI adalah bekas Hindia Belanda, nasib negara kecil baru ini makin suram. Sebuah kudeta kacau dari Raymond Westerling, eks pasukan khusus Belanda, membuat Negara Pasundan menjadi kambing hitam. Apalagi Westerling pernah menyatakan bahwa Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) sebagai Angkatan Perang Negara Pasundan.
“Di antara negara-negara yang lebih kuat, Pasundan dan Kalimantan Barat tercemar selama-lamanya oleh adanya dalih keterlibatan para pemimpin mereka dalam kudeta anti-RI,” tulis Audrey R. Kahin dalam Pergolakan Daerah pada Awal Kemerdekaan (1989).
Di mata kebanyakan orang-orang Republiken, Negara Pasundan dan para pemimpinnya punya citra yang cukup buruk. Negara Pasundan, menurut mereka, hanyalah alat Belanda. Pengembalian Kedaulatan 27 Desember 1949 menjadi bom waktu yang meledak menghancurkan Republik. I
Pada 30 Januari 1950, Wiranatakusumah V pun mengundurkan diri sebagai Walinegara Pasundan. Menurut buku Sejarah Nasional Indonesia Zaman Jepang dan Zaman Republik (2008), Sewaka yang sebelumnya adalah Gubernur Republik diangkat menjadi Komisaris RIS untuk Negara Pasundan. Pada 8 Maret 1950, terjadi demonstrasi yang menuntut pembubaran Negara Pasundan. Riwayatnya tamat setelah 11 Maret tahun itu.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Maulida Sri Handayani