tirto.id - Penyanyi opera yang grogi dan kacau itu pernah menerima lemparan sepatu penonton yang kesal. Raymond Paul Pierre Westerling, begitu nama sang penyanyi, harus sabar menerima sepatu yang melayang tiba-tiba itu. Ia tak mungkin membalas, apalagi menembak si pelempar.
Jika sepatu itu melayang saat ia masih berpangkat kapten, entah nasib apa yang akan menimpa si pelempar. Sebab ia adalah kapten yang sekaligus pembunuh berdarah dingin.
Namanya tertulis di buku pelajaran sejarah SD, SMP juga SMA. Orang-orang Indonesia tak lupa pada angka 40.000 jiwa yang dipercaya sebagai jumlah korban yang dibantainya di Sulawesi Selatan.
Dengan restu Letnan Jenderal Simon Hendrik Spoor, Panglima Tentara Belanda di Indonesia, Kapten Westerling berangkat ke Makassar. Menurut Natsir Said dalam SOB 11 Desember 1946 sebagai Hari Korban 40.000 Sulawesi Selatan (1985), Westerling bersama 125 serdadu Baret Hijau--sebuah pasukan komando elite dalam tentara Belanda di Indonesia. Mereka terlatih untuk segala jenis perang.
Westerling saat itu sangat disegani bawahan dan sekaligus sangat diandalkan atasan macam Spoor. Sebagai alumni pasukan komando Perang Eropa, Spoor memang sangat berharap kepada Westerling untuk bisa melemahkan, jika perlu menumpas, kekuatan Republiken di sekitar Makassar. Hal itu diperlukan karena van Mook hendak menegakkan negara boneka Indonesia Timur.
Sesampainhya di Makassar, Westerling tak hanya beraksi dengan 125 pasukan elite Belanda yang dilatihnya, dia juga dibantu tentara Belanda lain yang ada di sekitar Makassar. Dalam rentetan aksi yang dijuduli Kampanye Pasifikasi tersebut, Westerling menjadi komandan operasi. Dan ia memperoleh license to kill, surat izin membunuh dari Spoor, khusus untuk mengatasi pejuang-pejuang Republik.
“Mereka itu ekstremis dan pengikut Sukarno kaki tangan Jepang,” kata Westerling seperti ditulis Salim Said dalam Dari Gestapu ke Reformasi (2015).
Aksi dimulai sejak 11 Desember 1946. Desa Borong dan Batua adalah sasaran mereka. Desa Borong jadi tanggung jawab Sersan Mayor H. Dolkens dan Desa Batua menjadi tanggung jawab Sersan Mayor J. Wolff.
Didampingi Sersan Mayor Uittenbogaard, Westerling menunggu di Batua. Desa-desa itu dikepung. Setiap yang hendak melarikan diri boleh dibunuh. Setelah terkepung, pagi harinya, mereka dikumpulkan ke tanah lapang. Westerling menyimpan daftar nama yang disiapkan Sersan Vermuelen.
Setelah mengumpulkan orang-orang yang dituduhnya ekstrimis, Westerling akan segera mengeksekusinya di lapangan yang dipenuhi warga desa. Bagi Westerling, metode ini adalah pengadilan lapangan alias standrecht. Teror pun tercipta. Bahkan autobiografinya yang dirilis pada 1952 juga berjudul Challange to Terror.
Selain Batua dan Borong, ia juga beraksi di desa-desa sekitar Makassar seperti Kalukuang, Tanjung Bunga, Jongaya, dan Polongbangkeng. Tempat yang disebut terakhir memang menjadi pusat gerilya Republik. Menurut intel Belanda, terdapat ratusan milisi bersenjata di sana.
Setelah Makassar dianggap beres, daerah lain yang jauh di utara kota Makassar pun menjadi sasaran selanjutnya. Bahkan hingga ke daerah Polewali Mandar. Pasukannya tersebar dan Westerling hadir di beberapa desa.
Dalam beberapa eksekusi, Westerling tak segan mengotori tangannya. Sebagai komandan, dia bisa saja ongkang-ongkang kaki dan membiarkan anak buahnya memberondongkan senapan mesin ringan ke arah target eksekusi. Namun Westerling menikmati eksekusi brutal itu dengan sesekali ikut beraksi dengan pistol colt 38.
Suatu kali, Westerling unjuk kebolehan. Dia suruh sasaran pelurunya berlari. Dari jarak sekitar 30 meter, pistolnya dia arahkan ke target. Dor! Korban pun tewas. Setelahnya terbayang salah satu lirik lagu Iwan Fals: “Westerling pun tersenyum.”
Di belakang senyum Westerling, muncul perdebatan soal jumlah korban kekejamannya. Hasil penyelidikan pemerintah Belanda pada 1969 ditemukan angka 3 ribu korban. Atas perbuatan Westerling itu, Duta Besar Belanda meminta maaf kepada keluarga korban. Setidaknya, kepada 10 janda korban, Pemerintah Belanda memberi santunan uang sebesar Rp 301 juta.
Permintaan maaf atas pembunuhan yang dilakukan negara, atau militer, adalah hal langka terjadi di Indonesia. Bahkan walau jumlah korbannya jauh di atas Westerling.
Westerling sebagai pelaku utama, dalam Challenge to Terror, menyebut angka 600 orang. Anehnya, penyelidikan Angkatan Darat Republik Indonesia pada 1950-an hanya menemukan angka 1.700 korban tewas. Dari angka itu, tak semuanya korban keganasan Westerling. Begitu yang dicatat Ramadhan KH dalam autobiografi Alex Kawilarang, Untuk Sang Merah Putih (1988).
Angka 40 ribu korban jiwa adalah yang paling terkenal. Menurut beberapa sejarawan, termasuk Natsir Said, angka yang oleh sebagian kalangan dianggap bombastis itu muncul dari tokoh DI/TII Sulawesi Selatan, Kahar Muzakkar. Kahar yang di masa revolusi sedang berjuang di Jawa sebagai bagian TNI begitu emosional hingga keluar dari mulutnya angka 40 ribu. Belakangan angka ini jadi angka yang paling sering disebut.
Sejarawan Anhar Gonggong, yang ayah dan salah satu abangnya menjadi korban keganasan pasukan Westerling, menyebut jumlah korban yang tewas mencapai sekitar 10 ribu orang. “Tapi, itu memang tidak semuanya korban Westerling,” terang Anhar.
Westerling beraksi sejak 11 Desember 1946 hingga 21 Februari 1947. Tentu tak setiap hari Westerling dan pasukannya beraksi. Tidak semua desa di Sulawesi Selatan dan sekitarnya bisa dijangkau. Tak jarang, untuk bergerak dari satu desa ke desa yang lain butuh waktu berjam-jam.
Pasukan yang digerakkan Westerling tak sampai seribu. Dan tentara Belanda di sekitar Makasssar yang dipimpin Kolonel De Vries, hanya terdiri dari beberapa batalion. Kepada Westerling yang berpangkat Kapten hanya bisa diperbantukan sekitar 200-an serdadu. Ya, sebagai pasukan khusus, Westerling memang beraksi dengan pasukan yang berjumlah kecil.
Meski demikian, Westerling sebagai pembantai dan komandan pasukan elite tetap punya reputasi sangar. Dia ahli membunuh dengan tangan kosong. Sejak sekolah dia sudah terlatih bermain gulat. Bahkan sejak belum sekolah pun dia sudah diajari membunuh burung merpati.
Dia bersuara cempreng, dan itu tak masalah bagi pembantai macam Westerling, sebab yang dibutuhkan hanya keberanian. Tapi suara cempreng itu berbahaya saat dia mencoba menyanyi di atas panggung. Penonton kecewa, dan mereka menimpuknya dengan sepatu.
Westerling meninggal dunia pada 26 November 1987, tepat hari ini 33 tahun lalu.
==========
Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 11 Desember 2016. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti & Irfan Teguh