Menuju konten utama
Seri Kekejaman Westerling

Sejarah Pasukan Baret Hijau Westerling yang Dikenal Kejam

Depot Speciale Troepen (DST) adalah satuan khusus andalan militer Belanda yang terlibat aksi pembantaian di Sulawesi Selatan.

Sejarah Pasukan Baret Hijau Westerling yang Dikenal Kejam
Pasukan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) pimpinan Westerling. FOTO/Istimewa

tirto.id - Keluarga Scheepen adalah keluarga pasukan khusus di paruh pertama abad ke-20. Salah satu anggota keluarga itu, Wilhelm Bernhard Johann Antoon Scheepens (1868-1913), merupakan perwira Marsose di Aceh. Ia terbunuh di Sigli pada 17 Oktober 1913 kala istrinya sedang bunting besar.

Waktu W.J.B.A. Scheepen meninggal, sang anak, Willem Jan Scheepen (1907-1949) alias Wim Scheepen, masih 6 tahun. Dia mengikuti jejak ayahnya menjadi perwira KNIL dan pernah dinas di Aceh juga. Scheepen junior bahkan sempat lintas alam di Gunung Leuser.

Saat Perang Dunia II, Wim Scheepen dilatih operasi khusus di Inggris. Setelahnya dia dimasukkan ke Korps Insulinde—yang berdiri pada 1 Agustus 1942 di Srilangka—sebagai pelatih. Pasukan itu akan melakukan operasi khusus ke bekas daerah Hindia Belanda yang kala itu diduduki Jepang.

Di masa perang, menurut Louis de Jong dalam Het Koninkrijk der Nederlanden in de tweede wereldoorlog: Voorspel (1986), Letnan Wim Scheepen bersama Letnan Cornelis (Kees) Sisselaar, seorang petugas komunikasi telegrafis, juga beberapa anggota Insulinde ditugaskan di front sekitar Samudra Hindia. Setelah Jepang menyerah kalah, pasukan ini berkembang lagi dan dinamai Depot Speciale Troepen (DST) pada 1946 (hlm. 215).

Banyak Pribumi yang Bergabung

Seperti Marsose, DST berisikan juga orang-orang Indonesia dari bermacam suku. Baret mereka hijau. “Pasukan ini didirikan pada bulan Juni 1946 dan awalnya di bawah komando dari Kapten KNIL W.J. Scheepen,” tulis Jaap de Moor dalam artikelnya, "Kapitein Westerling en de Speciale Troepen in Indië" dalam Militaire Spectator (JRG 168, 12-99).

Sementara dalam bukunya, Westerling's oorlog: Indonesië, 1945-1950 (1999: 175), de Moor menyebut, "Pada 5 November, Westerling menerima perintah untuk melapor di Batujajar dan mengambil alih DST" (hlm. 175).

Setelah era Scheepens, saat Westerling memimpin unit ini, jumlahnya terus membesar. “Mereka disebut sebagai pribumi: orang-orang Jawa, Maluku atau Ambon, Manado dan Madra,” tulis Gert Oostinde dan kawan-kawan dalam Serdadu Belanda di Indonesia 1945-1950; Kesaksian Perang pada Sisi Sejarah yang Salah (2016: 9).

Kebanyakan pasukan berasal dari Maluku. Mereka direkrut secara lokal dan jadi bawahan. Sedangkan golongan pangkat tertinggi dipegang orang-orang Belanda. Seingat Geu Meulenbroeks seperti dikutip Gert Oostinde, letnan dan sopir dalam pasukan ini adalah orang kulit putih dan beberapa pengemudinya (hlm. 127).

Salah satu sumber rekrutan DST adalah serdadu-serdadu KNIL yang tinggal di bekas tangsi Batalion Infanteri KNIL X di dekat Lapangan Banteng. Setelah Perang Pasifik, mereka dinamakan Batalion X. “Sejumlah anggota Batalyon X kemudian dimasukkan dalam Depot Speciale Troepen pimpinan Westerling,” tulis Robert Bridson Cribb dalam Para Jago dan Kaum Revolusioner Jakarta 1945-1949 (2010: 89).

Musuh pejuang Republiken Jakarta ini, menurut Cribb, “seringkali terkesan main-main tapi brutal.” Tidak mengherankan bahwa personel-personel batalion ini dikenal suka memersekusi orang-orang yang diduga, atau setidaknya ada gejala, mendukung Republik.

“Anggota Batalyon mengendarai truk berkeliling kota seraya menyanyikan lagu-lagu Belanda sambil melepaskan tembakan liar. Mereka dengan gembira memukuli setiap rakyat yang menunjukkan atribut Republik di tempat-tempat umum,” tulis Cribb (hlm. 88).

Westerling, seperti diakuinya dalam Challenge To Terrror (1953), dengan pengalaman dalam pasukan komando selama Perang Dunia II, memengaruhi kemampuan DST. Pasukan ini diberi pelatihan komando tentunya. Termasuk latihan pendaratan dengan perahu karet dan pertempuran laut (hlm. 87).

Belakangan DST punya reputasi sebagai unit yang sangat kejam. Pasukan ini kerap ditugaskan ke daerah-daerah yang sulit ditangani pasukan konvensional, termasuk Karawang. Reputasi kejam dalam membunuh, tapi tanpa dibekali data intelijen cukup, membuat kiprah pasukan DST tidak begitu gemilang di Karawang.

Brutal di Sulawesi Selatan

Kisah besar Baret Hijau pimpinan Westerling ini kerap dikaitkan aksinya di Sulawesi Selatan. “Raymond Paul Pierre Westerling datang di Sulawesi Selatan pada 5 Desember 1946. la datang bersama satu kompi Baret Hijau yang disebut Depot Speciale Troepen (DST) dengan kekuatan 123 orang. Hanya sehari setelah tiba di Sulawesi, Letnan Satu Westerling dinaikkan pangkatnya menjadi Kapten,” catat Andi Mattalata dalam Meniti Siri Dan Harga Diri: Catatan Dan Kenangan (2003: 371).

Dalam aksi pasukan ini di Sulawesi Selatan, diperkirakan ribuan orang Indonesia terbunuh. Belakangan aksi yang dijuduli kampanye Pasifikasi itu menjadi catatan hitam sejarah militer Belanda.

Catatan hitam lain juga ditinggalkan di Tasikmalaya. Pada awal 1948, mereka membunuh orang-orang Tasikmalaya. “Itu juga ditambah dengan ratusan korban lainnya yang jatuh di Karawang dan Cirebon,” tulis A.H. Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid VII (1994).

Soal kekejaman pasukan khusus Belanda seperti DST maupun penerusnya, KST, salah satu perwira yang tak ketahui namanya dalam Groene Amsterdammer (1969), seperti dikutip Oostinde (hlm. 129), menyebut, “Saya menyesal harus mengatakan bahwa tindakan orang-orang Indonesia (termasuk pasukan KST) terhadap rakyat mereka sendiri jauh lebih buruk daripada tentara Belanda.”

Pasukan DST dikenal gigih, bahkan tak kenal ampun, dalam melawan Republik. “Jika tidak boleh melakukan penembakan, maka mereka hanya menggunakan klewang. Klewang tidak menimbulkan keributan dan dapat mengejutkan TNI […] Jika mereka menghabisi beberapa orang musuh dengan klewang, maka mereka merasa puas,” tutur Geu Meulenbroeks dalam Onze tijd in de oost. Een kitbag vol herinneringen seperti dikutip Oostinde (hlm. 129).

Kekejaman mereka tidak jauh beda dengan pasukan Marsose waktu Perang Aceh. Ketika ditanya oleh yang lain, salah satu dari pasukan baret itu itu bilang, "keluarga kami juga dihabisi dengan cara itu." Ini terkait dengan apa yang dialami kerabat-kerabat KNIL pribumi yang kena sikat dalam Masa Bersiap.

infografik Peristiwa Westerling

infografik westerling

Westerling: Pujaan Pasukan Khusus

Pasukan DST baret hijau ini kemudian meningkat menjadi Korps Speciale Troepen (KST). Selain ada KST berbaret hijau, ada pula pasukan penerjun payung (para) sebanyak dua kompi di mana Westerling memimpinnya selama dua tahun. Dalam memoarnya Westerling mengaku dia keluar sebelum Agresi Militer Belanda II (19 Desember 1948). Sebelum dia keluar, pasukan itu berjumlah 1.200 orang. Pangkatnya waktu keluar adalah kapten.

Setelah keluar, dia digantikan perwira dengan pangkat letnan kolonel bernama van Beek. Van Beek lalu digantikan oleh Letnan Kolonel Borghouts. Setelah Westerling keluar, dia berperan besar dalam komplotan kudeta 23 Januari 1950 Angkatan Parang Ratu Adil (APRA). Meski tak diakui secara resmi, Westerling adalah sosok yang cukup dipuja dalam pasukan khusus Belanda.

“Di bawah kepemimpinan Borghouts, penggabungan KST dan kompi para ke Resimen Speciale Troepen (RST) terjadi pada bulan Juli 1949,” tulis Jaap de Moor.

Di antara bekas pasukan khusus Belanda itu, ada yang bergabung dengan pihak Republik setelah Belanda angkat kaki. Termasuk pendiri Komando Pasukan Khusus (Kopassus) yang belakangan jadi mualaf, Rokus Bernadus Visser.

==========

Dalam rangka mengenang Peristiwa Kudeta Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) pada 23 Januari 1950 yang didalangi Raymond Westerling, Tirto menerbitkan serial khusus tentang aksi kekejaman perwira Belanda itu. Serial ini ditayangkan mulai Rabu (23/1/2019) hingga Kamis (31/1/2019). Artikel di atas adalah tulisan keempat.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Politik
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan