tirto.id - Suatu hari antara 1946-1947 di Kalukuang, Sulawesi Selatan. Waktu menunjukan pukul 08.00 pagi waktu serdadu-serdadu Belanda tiba. Dengan paksa, serdadu-serdadu bersenjata itu menggiring orang-orang kampung layaknya domba ke padang rumput.
“Mereka mengepung kampung kami. Tentara tersebut memaksa kami keluar dari rumah dan berkumpul di suatu tempat di luar kota. Di sini sudah berkumpul puluhan orang-orang kampung yang rupanya semenjak tadi berduyun-duyun datang di halau ke sana,” kenang Sjafar seperti dicatat dalam buku Republik Indonesia: Propinsi Sulawesi (1953:243).
Kemudian terlihatlah kawan dari Ali Malaka, yang kemudian dihadapkan kepada Kapten Raymond Paul Pierre Westerling. Ali Malaka adalah kawan seperjuangan Wolter Mongisidi yang bergerilya di Makassar.
Terlihat kawan Ali Malaka itu bicara pada Kapten Westerling. Tidaklah jelas apa yang mereka bicarakan. Tiba-tiba kawan Ali Malaka itu ditembak betisnya oleh Westerling hingga terjatuh. Si kawan Ali Malaka itu berusaha bangun dan bicara lagi dengan si Kapten. Tapi Westerling berlagak lagi seperti bandit zaman koboi, dia tembak lagi kawan si Ali Malaka itu hingga jatuh tak berdaya.
Serdadu lain lalu menghampiri kawan Ali Malaka itu.
“Orang tak berdaya ini dicongkel-congkel perutnya dengan sangkur bayonet, sehingga ia terangkat-angkat. Baru entah sesudah puas dengan perbuatan itu, berulah mereka mengundurkan diri ke tempat masing-masing,” lanjut Sjafar di Republik Indonesia Propinsi Sulawesi.Tak hanya si kawan Ali Malaka yang tak diketahui Sjafar siapa namanya itu. Beberapa orang lainnya juga ada yang diberi hadiah timah panas di kaki, juga kepala dalam pemeriksaan yang dilakukan Westerling dan kawan-kawan itu.
Seseorang bernama Ambo Dalle kemudian dihadapkan ke muka Westerling. Beberapa nama dia sebut pada Westerling, termasuk nama Ali Malaka dan Mustapa—para pemimpin pejuang pro Republik Indonesia di sekitar Makassar. Westerling lalu bertanya ke khalayak, apakah ada Ali Malaka dan Mustapa di antara mereka. Tak ada satu pun yang menjawab.
Westerling, kapten KNIL kelahiran Istanbul ini lantas memanggil Polisi Kampung Kalukuang dan menanyakan yang mana Ali Malaka dan Mustapa. Polisi pun tak tahu. Karena kesal tak dapat hasil yang dicari, lima orang ditembak tepat di kepala. Westerling pun memberikan ancaman: jangan sampai ada yang tahu soal penembakan ini, kalau tidak maka semua orang kampung akan dia bantai.
Westerling memang tidak menghabisi semua yang hadir. Tapi pertunjukan keji—yang disebut Mahkamah Militer Rakyat-- itu meninggalkan ketakutan dan trauma.
Westerling sering unjuk aksi dengan Colt 38 miliknya. Dia demonstrasikan bagaimana dirinya menembak dalam jarak 30 meter dan sasaran tembaknya kena. Begitulah kira-kira bagaimana Westerling dan pasukannya beraksi. Tentu saja ini bikin takut orang-orang Indonesia di kampung-kampung. Tak hanya orang-orang kampung, orang-orang kota yang tidak ikut gerilya pun juga dibikin takut oleh sepak-terjang Westerling.
Di hari-hari yang lain, Westerling dapat info penting dari seorang mata-matanya tentang seseorang bernama Moetalib. Menurut Dominique Venner dalam Westerling de Eenling (1982), seperti juga diceritakan di Intisari (Januari 1988:54-56), Moetalib adalah pengusaha yang akrab dengan Belanda dan sering kongkow di Societeit. Diketahui bahwa Moetalib adalah orang yang memberikan informasi ke gerilyawan pro Republik. Informasi itu yang membuat gerilyawan Indonesia berhasil membunuh Mayor Le Roy pada 5 Oktober 1946. Moetalib pun disambangi Westerling.
“Moetalib, saya sudah tahu semuanya. Saya masih memberikan kesempatan. Hanya sekali ini. Saya tidak mau melihat mukamu lagi,” kata Westerling dan Moetalib jadi pucat karenanya. Westerling berharap Moetalib tak muncul lagi di Societeit yang kerap disambangi orang-orang Belanda berduit dan segelintir orang pribumi terpandang.
Societeit—yang kerap disebut rumah bola itu—nampaknya tempat mencari informasi bagi Moetalib, dan pastinya Westerling. Tak heran jika Westerling yang doyan makan di tangsi akhirnya mau kongkow juga makan di Societeit. Selama beberapa waktu Moetalib tak terlihat di hari-hari berikutnya, Westerling pun (bisa) tersenyum. Namun hanya seminggu saja, informan Westerling beri kabar, Moetalib muncul lagi. Westerling pun ke Societeit dan Moetalib sedang bersama kawan-kawannya duduk-duduk di dalamnya.
“Masih ingat kau apa yang kukatakan tempo hari?” tanya Westerling.
Moetalib terdiam.
Westerling tak main-main, dicabutnya Colt 38 andalannya. Kepala Moetalib pun didor dan dia pun mati di tempat. Orang-orang yang melihatnya menjerit. Orang-orang Belanda di Makassar sendiri ngeri dengar sepak terjang Westerling di Societeit itu.
Meski dikenal kejam dan kelak diberi cap penjahat perang, Westerling tak sungkan untuk membela diri. Ini pernah ditulisnya di Mijn Memoirs (1952:157-158) yang kelak dikutip dalam Serdadu Belanda di Indonesia 1945-1950 (2016:138)
“Saya juga bersikeras, bahwa saya dengan mengorbankan sejumlah nyawa telah menyelamatkan puluhan ribu nyawa lain, baik dengan mengakhiri terorisme dengan sekejap maupun dengan mengusir keluar orang-orang Jawa (Republik yang menyusup dari Pulau (Sulawesi),” tulisnya.
“Nyawa-nyawa yang saya lenyapkan adalah nyawa dari para penjahat; puluhan ribu nyawa yang saya selamatkan adalah nyawa-nyawa daripada orang-orang tak berdosa.”
==========
Dalam rangka mengenang Peristiwa Kudeta Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) pada 23 Januari 1950 yang didalangi Raymond Westerling, Tirto menerbitkan serial khusus tentang aksi kekejaman perwira Belanda itu. Serial ini ditayangkan mulai Rabu (23/1/2019) hingga Kamis (31/1/2019). Artikel di atas adalah tulisan ketiga.
Editor: Nuran Wibisono