tirto.id - Menjadi raja adalah takdir bagi Andi Abdullah Bau Massepe. Laki-laki kelahiran 1918 itu adalah putra dari Andi Mappanyukki, mantan Raja Bone—yang setelah Indonesia merdeka adalah pendukung Republik Indonesia—dengan istrinya, Besse Arung Bulo, seorang bangsawan Sidenreng. Nama Massepe mirip dengan nama tempat kelahirannya di Sidenreng. Dia punya tiga istri, yang paling terkenal karena kecantikannya adalah Andi Bau Soji Datu Kanjenne.
Menjelang 1947, Bau Massepe sudah menjadi salah satu pemimpin di Kedatuan Suppa. Dia dikenal sebagai Datu Suppa Muda. Pamannya, Andi Makassau, dijuluki Datu Suppa Tua. Suppa masa kini adalah sebuah kecamatan di antara jalan poros Pare-pare dengan Pinrang. Pusat Kedatuan Suppa berada di Mara’bombang di sisi utara Teluk Pare-pare. Di tempat itu nelayan biasa menanti ombak untuk melaut. Istana kedatuan Suppa menghadap ke teluk, di mana kota pelabuhan Pare-pare terlihat jelas.
Rosihan Anwar pernah bertemu dengan Datu Suppa Muda waktu Konferensi Malino (1946). Saat itu, seperti dicatat Rosihan dalam Musim Berganti: Sekilas Sejarah Indonesia 1925-1950 (1985), Datu Suppa Muda “minta pesannya disampaikan kepada Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Hatta di Yogya, dan menyerahkan dua helai tikar sembahyang buatan Bugis untuk kedua pemimpin Republik itu” (hlm. 180).
Westerling tahu tentang keberpihakan Datu Suppa Muda. Suppa juga menjadi sasaran operasi militer yang dilancarkan Westerling dan pasukannya. Setelah beroperasi dari kampung ke kampung menebar teror, pasukan Westerling mencapai daerah Suppa pada 28 Januari 1947. Andi Kassi alias Andi Monji, bocah kelahiran 1937, tak akan lupa hari itu.
Pembantaian Sehari Penuh
Sedari pagi buta, militer Belanda memasuki Suppa dan menggedori rumah-rumah. Semua warga dipaksa keluar rumah dan digiring di tanah lapang—yang kini jadi kantor kecamatan. Warga laki-laki dikumpulkan di tempat agak terbuka, warga perempuan di bawah kolong rumah panggung.
Andi Monji melihat ayahnya, Andi Monjong, yang jadi Pabbicara Kedatuan Suppa, diturunkan dari mobil jip. Beberapa serdadu Belanda menggebuki ayahnya di hadapan rakyat Suppa. Itu adalah pemandangan sedih sekaligus mengerikan.
Sepengelihatan Andi Monji, serdadu-serdadu Belanda adalah serdadu-serdadu bule (kulit putih) yang menjagai orang-orang kampung itu. Andi Monji tak tahu di mana serdadu-serdadu pasukan khusus Depot Speciale Troepen (DST) berada. Padahal mereka tulang punggung penting operasi Westerling yang dianggap sebagai Kampanye Pasifikasi itu.
Di tanah lapang itu, Westerling dan pasukannya mempertontonkan aksi teror. Satu per satu warga ditembaki, baik oleh Westerling maupun bawahannya. Andi Monji sendiri melihat ayahnya ditembak kepalanya oleh Westerling menggunakan pistol. Seperti diketahui Andi Monji, jauh setelah Westerling membedil kepada ayahnya, tembakan Westerling tak pernah meleset.
Setelah banyak orang terbunuh, sebuah liang dibuat hari itu juga. Beberapa orang yang masih hidup diperintahkan membawa orang-orang yang terbunuh tadi ke liang besar. Namun, mereka yang membawa jenazah itu tak pernah kembali lagi. Rupanya hidup mereka juga sudah berakhir di tangan pasukan Westerling dan jadi penghuni liang yang ukurannya sekitar rumah type 36 itu.
Acara pembantaian tersebut berlangsung seharian penuh. "Dari jam enam (pagi) sampai jam enam (sore)," kenang Andi Monji.
Sebagai bocah yang tak berdaya, dia hanya bisa menangis. Tanpa adanya sang ayah membuat hidupnya suram di kemudian hari. Dia mengaku tak bisa menikmati bangku sekolah. Di hari ayahnya terbunuh, terbunuh pula kakek Andi Monji, Andi Wenda.
Andi Monji mencatat 208 orang terbunuh pada kedatangan Westerling di Suppa. Korban di daerah Suppa tergolong tinggi. Saat ini, lokasi penguburan para korban “pengadilan militer” ala Westerling tersebut telah menjadi Taman Makam Pahlawan. Peristiwa 28 Januari 1947 itu masih diingat warga. Selain ada taman makam pahlawan, tak jauh dari tempat pembantaian juga dibangun diorama adegan pembantaian Westerling.
Ketika Tirto datang ke Suppa pada 28 Juni 2018, sidang gugatan korban-korban Westerling sedang berlangsung di Belanda. Beberapa orang tua di sekitar Suppa dihadirkan sebagai saksi secara teleconference di Café Resto Fly Over, Suppa. Tak jauh dari rumah Andi Monji tinggal. Andi Monji sendiri juga datang sebagai saksi.
Itu adalah rangkaian kedua sidang gugatan korban Westerling di Sulawesi Selatan. Dalam rangkaian pertama di Bulukumba, gugatan diterima dan mendapat uang ganti rugi 20.000 Euro. Tapi tetap saja, seperti dingiangkan Anhar Gonggong, nyawa yang hilang tak mungkin kembali.
Ditenggelamkan ke Laut
Westerling tampaknya tahu adat Bugis. Haram darah raja mengalir di tanah. Baik Datu Suppa Tua dan Datuk Suppa Muda tak dibunuh dengan pistol Colt 38 milik Westerling. Atau juga dengan senjata otomatis Sten Gun atau Thompson atau atau laras panjang Lee-Enfield (LE). Dua bangsawan itu tetap dijadikan bahan shock therapy dengan cara yang tidak biasa.
“Westerling membunuh Datu Suppa Toa Andi Makassau dengan jalan memecahkan biji kemaluan sang korban," kata Abdul Haris Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia-Volume IV (1977: 155).
Versi yang banyak disebut, seperti dicatat wartawan senior Salim Said yang kelahiran Pinrang dalam Dari Gestapu ke Reformasi: Serangkaian Kesaksian (2013), “dia ditenggelamkan di Pantai Suppa. Badannya diberati dengan cara diikatkan ke lesung batu, kemudian dilemparkan ke dalam laut.”
Sementara menurut Nurwahidah dalam Hj. Andi Siti Nurhani Sapada (2004), “Datu Suppa Tua ditemukan di laut di antara bangunan bambu nelayan, setelah tiga hari sebelumnya ditenggelamkan di laut Mara’bombang” (hlm. 58).
Berdasarkan penuturan Andi Monji, jenazahnya ditemukan La Ramalang Ambo Metro. Monji juga menyebut, “Semula dikuburkan di belakang masjid, lalu dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Pare-pare (Pacekke).”
Hingga hari ini, jika warga yang tinggal di sekitar istana Kedatuan Suppa ditanya di mana Datu Suppa dibunuh, mereka akan menunjuk ke laut. “Di situ,” kata Nadira, yang tinggal di sebelah istana dengan menunjuk perairan yang menghadap kota Pare-pare. Jawaban Nadira dibenarkan seorang nelayan bernama Syaharudin Aco.
Soal kematian Bau Massepe, tidak ada saksi yang melihat pembunuhannya. Lahadjdji Patang dalam Sulawesi dan pahlawan2nya: sejarah perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia (1967) menyebut Bau Massepe dibunuh secara perlahan-lahan dengan cara diseret mobil pada 2 Februari 1947 (hlm. 119).
Bau Massepe kemudian diangkat menjadi Pahlawan Nasional pada 2005. Seperi Andi Makassau, Bau Massepe setidaknya jadi nama jalan di kota Pare-pare dan Makassar.
==========
Dalam rangka mengenang Peristiwa Kudeta Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) pada 23 Januari 1950 yang didalangi Raymond Westerling, Tirto menerbitkan serial khusus tentang aksi kekejaman perwira Belanda itu. Serial ini ditayangkan mulai Rabu (23/1/2019) hingga Kamis (31/1/2019). Artikel di atas adalah tulisan kedua.
Editor: Ivan Aulia Ahsan