tirto.id - Pada 26 Juli 1950, kediaman Komisaris Tinggi Belanda Dr. H. Hirschfeld di Jakarta ramai didatangi pejabat. Sipil dan militer. Pihak Republik Indonesia, juga Belanda. Dari pihak Republik, hadir Wakil Presiden Muhammad Hatta. Ia berjas putih dengan dasi kupu-kupu dan rambutnya yang klimis.
Ada juga Haji Agus Salim yang berpeci, mengenakan baju koko dan sarung. Dari pihak militer Republik ada Kepala Staf Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) Kolonel Tahi Bonar Simatupang. Dia mengenakan jas dan dasi militernya.
Dalam acara itu, hadir pengganti Jenderal Simon Hendrik Spoor, Letnan Jenderal Dirk Cornelis Buurman van Vreeden selaku Panglima tertinggi Tentara Belanda di Indonesia. Buurman harus menggantikan Spoor yang meninggal setahun sebelumnya karena serangan jantung. Selain Jenderal Mayor J.H.R. Kohler di Aceh yang terbunuh oleh laskar Aceh, Spoor adalah jenderal yang harus mati dalam tugasnya di Indonesia.
Dalam acara tersebut, Jenderal van Vreden yang lahir di Surakarta itu menyampaikan pidato dalam dua bahasa. Intinya adalah soal pembubaran Tentara Kerajaan Hindia Belanda alias Koninklijke Nederlandsch Indische Leger (KNIL). Sebagian anggota KNIL ada yang bergabung juga ke APRIS—yang tak lama kemudian menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI) lagi. Masuknya bekas KNIL yang ingin bergabung ke APRIS adalah bagian dari kesepakatan dari Konferensi Meja Bundar (KMB).
“Seperti telah saya kataken dalam pidato radio saya, kepada semua militer KNIL, saya yakin, di mana pun tuan-tuan berada dalam pekerjaan selanjutnya. Tuan-tuan memperlihatken di sana sifat-sifat baik yang sama itu,” kata Buurman van Vreden.
Mantan KNIL yang masuk APRIS dinaikkan pangkatnya. Jika di KNIL pangkatnya kopral, masuk TNI bisa jadi sersan. Di antara pendengar pidato Buurman itu tentu terdapat bekas perwira KNIL, termasuk Tahi Bonar Simatupang sendiri. Dia adalah bekas perwira zeni KNIL sebelum balatentara Jepang menduduki Indonesia.
Pembubaran Yang Tak Mulus
Membubarkan KNIL bukanlah urusan mudah. KNIL, yang kebanyakan adalah orang-orang Indonesia, banyak berisikan serdadu-serdadu keras kepala. Meski wacana penyaluran mereka ke dalam APRIS/TNI sudah pasti, beberapa kali terjadi pemberontakan yang dilakukan eks KNIL. Pada awal 1950, terjadi pemberontakan bekas KNIL di Bandung dengan menamakan diri sebagai Angkatan Perang Ratu Adil (APRA), di bawah komando bekas kapten pasukan khusus KNIL, Raymond Paul Pierre Westerling.
Di Makassar, pada 5 April 1950, serdadu-serdadu KNIL juga memberontak. Mantan KNIL yang baru bergabung dengan APRIS/TNI menjadi pemimpin pemberontakan itu. Andi Azis terhasut oleh bekas Jaksa Agung Negara Indonesia Timur, Dr. Christian Soumokil, seorang pemimpin gerakan separatis. Ditambah faktor lain: kedatangan pasukan APRIS/TNI dari Jawa yang membuat bekas KNIL di sekitar Makassar merasa tidak nyaman.
Selain di Bandung dan Makassar, bekas KNIL di Ambon pun membikin perkara. Lagi-lagi dipengaruhi Soumokil. Mereka adalah serdadu-serdadu galau. Meski ada yang ingin masuk APRIS/TNI, mereka kemudian menjadi alat perang dari negara yang didirikan Soumokil, yakni Republik Maluku Selatan (RMS) di Ambon yang didirikan pada 25 April 1950.
Kebetulan, di antara KNIL-KNIL yang ada di Ambon waktu itu ada bekas pasukan khusus baret merah dan baret hijau Belanda, misalnya Sersan Nussy atau Kopral Corputty. Pemberontakan ini tercatat sebagai pemberontakan yang sulit ditangani oleh APRIS.