tirto.id - Di tugu makamnya, Kompleks Kerkhof Peucot, Banda Aceh, terdapat simbol Bintang Daud. Di Eropa, nama Köhler merujuk sebuah nama keluarga Yahudi. Nama lengkapnya, Johan Herman Rudolf Köhler, orang Yahudi yang menjalankan diri sebagai Panglima Angkatan Perang Belanda dalam Agresi Pertama menundukkan Istana Sultan Aceh pada 1873.
“Dia diterjang peluru seorang penembak jitu Aceh ketika sedang tegak berpongah-pongah di bawah pohon beringin,” tulis mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef dalam Dia dan Aku: Memoar Pencari Kebenaran (2006). Köhler tewas menjelang tiga bulan usianya genap 55 tahun.
Dalam satu kesaksian, menjelang ajal menjemput, Köhler berucap: "O, God, ik ben getroffen!" Ya, Tuhan, aku tertembak, pekiknya.
Karier Militer Köhler
Jenderal kelahiran Groningen, 3 Juli 1818 ini, menurut George Lodewijk Kepper dalam De oorlog tusschen Nederland en Atchin (1874), adalah “serdadu terbaik, perwira berpengalaman, penuh disiplin serta orang yang ramah.”
Ia mulai menjalani karier militer dari pangkat terbawah. "Sejak 3 Mei 1832, saat usianya 14 tahun, ia mulai jadi serdadu bawahan dalam jawatan Afdeling Infanteri ke-9. Antara tahun 1832-1834, ia sempat terlibat dalam kampanye militer Belanda di Belgia dan Flandria,” tulis Kepper.
Menurut Paul van 't Veer dalam Perang Aceh: Kegagalan Snouck Hurgronje (1985), “Köhler adalah orang self made. Masa Pemberontakan Belgia sempat masih dialaminya sebagai kopral. Berangsur-angsur ia naik dalam Tentara Hindia menjadi Kolonel.”
“Pada 21 Mei 1834 dia adalah kopral, 16 Desember 1836 mencapai fourier, 21 Juli 1838 sudah mencapai Sersan [….] ia kemudian dimutasi ke Tentara Hindia Timur alias KNIL, berangkat pada 14 November 1839 dengan kapal Batavia, di bawah komando JA Pronk, dari Hellevoetsluis menuju Hindia dan tiba di sana 2 Mei tahun 1840,” tulis Kepper.
Di Hindia Belanda, karier perwiranya menanjak perlahan. Ia sebentar jadi Letnan Dua. “Tahun 1847 (Köhler) ditempatkan di Pesisir Barat Sumatera, dan pada 4 Oktober diangkat menjadi Letnan satu […] dia menjadi kapten pada 1852,” tambah Kepper.
Menurut Kepper, Köhler pernah ikut dalam ekspedisi militer di Lampung pada 1856. Pada 1857 ia dianugerahi Bintang Ridder der Militaire Willemsorde 4de klasse. Tahun berikutnya, ia jadi Mayor seusai ditempatkan di Batalyon Infanteri ke-2 pada 1859 dan tahun berikutnya di garnisun Bangka.
Tak lama kemudian Köhler diangkat menjadi letnan kolonel dan lima tahun kemudian berpangkat kolonel. Sebelum berangkat dalam apa yang disebut pihak Belanda sebagai "Ekspedisi Pertama" ke Aceh, berdasarkan Keputusan Kerajaan nomor 19 pada 7 Januari 1873 , ia diangkat lagi menjadi mayor jenderal.
Masjid dikira Istana
Menurut Paul van 't Veer, J.H.R. Köhler dipilih sebagai panglima ekspedisi militer ke Aceh lantaran ia adalah salah satu komandan teritorial Sumatera Barat. “Köhler adalah orang yang tepat. Berdasarkan perintah Gubernur-Jenderal Hindia Belanda James Loudon (1872-1875), sudah lama ia sibuk mengumpulkan keterangan militer tentang Aceh.”
Dalam kepala Köhler, ada rencana perang yang sederhana. Begitu menginjak Aceh, ia ingin membangun sebuah pangkalan di sekitar muara Sungai Aceh. Dari situ, pasukan KNIL akan bergerak ke arah Istana, tempat kediaman Sultan Aceh sekaligus ibu kota Kutaraja (sekarang Banda Aceh). Menguasai ibukota akan mempermudah penguasaan wilayah lain, demikian pikirnya.
Masalah utama baginya sederhana tetapi terbukti betapa lemahnya pengetahuan pasukan tentara Belanda akan Aceh: mereka tidak tahu letak persisnya Istana Kesultanan. Kohler memang mengumpulkan informasi soal Aceh, tapi hal itu masihlah minim.
Hanya saja, dalam panduan kepada para perwira, dijelaskan bahwa Istana adalah "sebuah tempat yang luas dan besar, yang terdiri dari berbagai kampung, dengan banyak sawah, lapangan, kebun kelapa, serta kira-kira 6.000 jiwa yang bermukim."
Menurut catatan Dutch Colonial War in Acheh (1990), pendaratan "dimulai pada Senin pagi, 6 April 1873, saat pasukan Belanda yang pertama mendarat di Panté Ceuremèn di bawah pimpinan Mayor Jendral J.H.R. Köhler.” Mereka didaratkan armada laut di bawah komando Kapten Laut JF Koopman. Menurut Anthony Reid dalam Asal Mula Konflik Aceh (1969), militer Belanda yang dikerahkan untuk ekspedisi itu terdiri dari 3.000 serdadu.
Dalam catatan lain, Perang Kolonial Belanda di Aceh (Teuku Ibrahim Alfian, dkk, cet. 3: 1997), kekuatan armada Belanda terdiri 6 kapal perang, 2 kapal angkutan laut pemerintah, 5 barkas, 8 kapal peronda, 1 kapal komando, 6 kapal pengangkut, dan 5 kapal layar yang masing-masing ditarik oleh kapal pengangkut: 3 untuk pasukan artileri, kavaleri, dan pekerja; 1 untuk amunisi dan perlengkapan; serta 1 untuk persiapan orang-orang sakit (cedera).
Angkatan Perang Belanda seluruhnya terdiri 168 perwira (140 orang Eropa, 28 orang bumiputera), 3.198 bawahan (1.098 orang Eropa, 2.100 bumiputera), 31 ekor kuda untuk perwira, 149 ekor kuda untuk pasukan, 1.000 orang pekerja paksa dengan 50 mandor, 220 orang perempuan bumiputera (8 orang untuk tiap kompi), serta 300 orang laki-laki bumiputera sebagai pelayan pembantu para opsir (perwira).
Setelah mendarat pada 6 April 1873, pasukan Köhler harus empat hari mengalami pertempuran. Dalam empat hari itu, bangunan megah, yang mereka kira sebagai benteng Sultan Aceh, berhasil direbut pada 10 April 1873. Ternyata bangunan itu adalah Masjid Baiturrahman.
Orang-orang Aceh tentu tak terima masjid mereka dikuasai kaum yang disebut sebagai Kaphee alias kafir. Akhirnya, “malam itu juga terpaksa (daerah yang diduduki itu) dilepaskan karena serangan gencar Pasukan Aceh,” tulis Teuku Ibrahim Alfian dalam Wajah Aceh dalam Lintasan Sejarah (1999).
“Köhler menyuruh meninggalkan benteng itu, karena menurut dia pasukan terlalu letih untuk dapat bertahan dalam posisi yang begitu terancam. Segera pula orang Aceh menduduki masjid itu dengan sorak kemenangan,” tulis Paul van 't Veer.
Masjid itu pun lalu berusaha direbut lagi oleh Köhler dan pasukannya. “Pada 14 April, dengan mengerahkan seluruh kekuatannya (di bawah komando Köhler), tentara Belanda merebut lagi Masjid Baiturrahman, tetapi tembakan pembidik Aceh telah merenggut nyawa Köhler, sehingga rencana penyerangan selanjutnya menjadi tak terkendali,” tulis Ibrahim Alfian, menambahkan bahwa seraya mengusung jenazah sang Panglima, tentara Belanda terpaksa mundur ke arah pantai.
“Saat itu seluruh ekspedisi kehilangan semangat,” tulis Paul van 't Veer.
Pengganti Köhler, Kolonel van Daalen, tak diberi rencana lanjutan oleh Köhler yang malang itu. Namun, sebelum benar-benar mundur, pasukan Belanda terus berusaha menghantam benteng Aceh, di tengah ganasnya para pejuang Aceh yang tak takut mati.
Pada 16 April, dua batalyon militer Belanda berusaha menyerang tempat yang dianggap Istana, tetapi mereka harus mundur dengan meninggalkan 100 orang tewas dan luka-luka. Kolonel van Daalen dan para perwiranya pun memutuskan mundur.
“Tiga minggu kemudian mereka sudah kembali di atas kapal-kapal mereka setelah menghadapi perlawanan paling sengit yang dihadapi militer Belanda di (Hindia) Timur. Jenderal (Mayor) Köhler, Panglima Belanda, terbunuh pada 14 April dan Belanda menderita kerugian luar biasa besar...” tulis Reid.
Menurut catatan Paul van 't Veer, kematian Köhler bikin perasaan duka bagi kerajaan Belanda. Sebulan kemudian, 18 Mei 1873, Raja Willem III mengunjungi ayah sang Jenderal Mayor di Groningen.
Sementara di nisannya kini, di Kompleks Kerkhof Peucot, terpahat Bintang Daud. Pada 19 Mei 1978, pemerintah Daerah Istimewa Aceh melakukan penguburan kembali tulang-belulangnya. Tersimpan di dalam kotak berbalut bendera Triwarna Belanda, seorang perwira militer Belanda Kolonel Brendgen dari Pasukan Marsose Bakongan mengangkat kotak tersebut, diapit oleh dua orang pendamping berpakaian adat Aceh. Prosesi ini disaksikan oleh para pejabat daerah Aceh, termasuk Gubernur Kepala Daerah Muzakkir Walad dan Walikota Djakfar Ahmad, serta Kolonel J. Linzel, saat itu Atase Militer Kedutaan Besar Belanda di Jakarta.
Perang Aceh akan terus bergolak hingga 1910-an di era gubernur militer Van Heutz (1898-1904) dengan penasihatnya yang terkenal, Snouck Hurgronje, seorang orientalis yang menyamar selama dua tahun untuk mengenal masyarakat Aceh.
Meski begitu, perlawanan rakyat Aceh secara sporadis masih berlanjut. Paul van 't Veer bahkan memberi penilaian bahwa Perang Aceh berlangsung selama 70 tahun dan berakhir bulan Maret 1942 di saat Belanda bertekuk lutut kepada Pentadbiran (Pemerintahan) Militer Jepang.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Fahri Salam