tirto.id - Satu sore, Oktober 2016, saya diundang menghadiri perayaan Sukkot, sebuah hari raya Yudaisme yang bagi penganutnya di Jakarta biasa disebut Hari Raya Pondok Daun. Ia memperingati 40 tahun bangsa Israel mengembara di padang pasir. Selain Sukkot, dua hari raya besar lain bagi umat Yahudi di seluruh dunia adalah Shavuot dan Pesakh.
Jangan dibayangkan jika keturunan Yahudi di Indonesia berparas seperti orang-orang Yahudi di Israel. Mereka sama saja dengan orang kebanyakan dari pelbagai suku di Indonesia: berkulit sawo matang seperti orang Jawa, berparas putih seperti orang Tionghoa, dan ada juga berparas Indo-Eropa. Di antara keturunan Yahudi bahkan ada yang fasih berbahasa Jawa. Ia adalah Benjamin Meijer Verbrugge, seorang pemuka agama Yahudi serta ketua komunitas The United Indonesian Jewish Community.
Hari itu saya berkenalan dengan banyak keturunan Yahudi yang tinggal di sekitar Jakarta, salah satunya Andreas, keturunan Yahudi-Belanda yang mukim di Bekasi.
“Kakek saya adalah arsitek yang ikut membangun Stasiun Pasar Turi di Surabaya,” kata Andreas.
Keturunan Yahudi di Indonesia yang saya kenal tak cuma berdarah campuran Indonesia-Belanda, tetapi ada juga berasal dari Timur Tengah seperti dari Bagdad, Irak. Mereka berkewarganegaraan Indonesia dan hidup di tengah masyarakat di sejumlah kota di Indonesia. Di antaranya ada yang terang-terangan membuka diri, ada juga yang menutup identitas karena sentimen kebencian anti-Yahudi. Sentimen ini makin menguat ketika perang antara Israel dan Palestina berkecamuk di Jalur Gaza.
Keberadaan keturunan Yahudi di Indonesia tergabung dalam sebuah komunitas bukanlah hal baru. Ini telah berlangsung lama, bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka. Komunitas Yahudi mulai muncul pada 1920-an seiring terbentuknya The Association for Jewish Interests in the Dutch East Indies dan the World Zionist Conference (WZC). Organisasi ini memiliki cabang di Batavia, Bandung, Malang, Medan, Padang, Semarang, dan Yogyakarta.
Konferensi Zionis Sedunia berpusat di London pada 1920, Ia organisasi pencari dana bagi gerakan Zionis. Pada 1926, muncul majalah bulanan Eretz Israel yang terbit di Padang, tetapi ketika Jepang menduduki Indonesia, majalah itu diberedel pada 1942.
Romi Zarman dalam Yudaisme di Jawa Abad ke-19 dan 20 (2013) menjelaskan, keberadaan orang-orang Yahudi khususnya di Jawa teridentifikasi sejak 1828 merujuk peraturan catatan sipil untuk orang Yahudi di Hindia Belanda. Mereka tersebar di Batavia, Semarang, dan Surabaya.
Pada dua dekade pertama Hindia Belanda atau akhir abad 19 dan awal abad 20, orang Yahudi ikut menjadi serdadu Belanda dan terlibat dalam perang Paderi di Sumatera dan Perang Diponegoro.
“Sebagian dari mereka memilih menetap di Jawa dan menjalani hidup sebagai pedagang selepas pensiun dan berakhirnya ikatan kontrak dari dinas militer,” tulis Zarman.
“Yahudi Eropa di Jawa juga berprofesi sebagai jurnalis, guru, pengacara, dan menduduki berbagai posisi strategis dalam struktur Hindia Belanda,” tambah Zarman.
Tak hanya Yahudi-Eropa yang tinggal di Jawa, tetapi ada juga Yahudi-Asia, berasal dari Arab, Persia, Bagdad, Kolkata (India), dan Suriaa. Berdasarkan konsensus pemerintah Hindia Belanda pada 1930, jumlah populasi Yahudi-Eropa di Jawa tercatat 935 jiwa. Sedangkan jumlah Yahudi-Asia sekitar 565 jiwa.
Ke Hindia Belanda lewat Jalur Perdagangan
Profesor Rotem Kowner dari Haifa University pernah meneliti sejarah kedatangan orang Yahudi di Indonesia. Ia menyebut, semula orang-orang Yahudi menginjakkan kaki di Sumatera dan Jawa. Pada awal abad ke-9, misalnya, Ishaq, seorang Yahudi dari Oman, melakukan perjalanan ke Sumatera. Ada pula pedagang Yahudi pada 1290 dari Futsat, Mesir, yang tinggal di Kota Barus, sebuah pelabuhan tertua di Sumatera Utara. Mereka datang melalui jalur perdagangan.
Sedangkan Adolf Heuken dalam Historical Sites of Jakarta (1982) menyebutkan, selain melalui jalur perdagangan, orang-orang Yahudi berdatangan ketika ekspedisi bangsa Portugis ke Nusantara pada 1511. Ekspedisi itu dipimpin Alfonso de l’Albuquerque dan berhasil menaklukan Malaka. Setelah Malaka takluk, dua tahun kemudian, empat kapal berisi rombongan orang-orang Portugis datang ke daerah tersebut. Di antara rombongan dalam kapal Portugis itu ada orang-orang Yahudi beragama Kristen atau dikenal sebagai Marrano.
Koloni dagang Portugis itu tak berlangsung lama, berpindah ke tangan Belanda melalui Verenidge Oost-Indische Compagnie (VOC) dan WestIndisch Compagnie (WIC) pada 1619. Perusahaan dagang itu dibiayai langsung oleh orang-orang Yahudi yang mengungsi dari Portugal dan Spanyol pada 1600-an.
Keberadaan orang-orang Yahudi di Nusantara dicatat juga oleh Jacob Saphir, seorang penulis yang mengunjungi Nusantara sekitar tujuh minggu dalam perjalanannya menuju Australia pada 1861. Seperti ditulis oleh Jeffrey Hadler dalam "Translation of Antisemitism: Jews, The Chinese, and Violence in Colonial and Post-Colonial Indonesia" (2004), Saphir melaporkan soal kedatangan orang-orang Yahudi-Eropa ke Batavia, Semarang, dan Surabaya. Menurut Saphir, orang-orang Yahudi kala itu tak hanya menikahi sesama Yahudi, tapi juga menikah dengan warga negara Belanda dan gadis bumiputera.
Saphir mencatat dengan baik Yahudi-Eropa yang datang ke Nusantara, tetapi kurang rapi mencatat orang-orang Yahudi-Asia, yakni mereka yang berasal dari Irak dan bermukim di Surabaya, Jawa Timur.
Saya mengenal salah satu keturunan Yahudi kelahiran Surabaya yang kini berprofesi sebagai pengacara di Jakarta. Ia bernama David Abraham, orang yang membuka diri sebagai keturunan Yahudi dan penganut Yudaisme.
Benjamin Meijer Verbrugge, pemuka agama Yahudi dalam wawancaranya kepada saya, berujar bahwa kedatangan orang orang Yahudi ke Indonesia dibagi ke dalam tiga kloter. Kloter pertama adalah Yahudi dari Yaman, Maroko. dan Irak. Kloter kedua dibawa oleh kapal penjelajah asal Portugis Vasco da Gama. Kloter terakhir datang dengan misi dagang Hindia Timur Belanda alias VOC. Menurut Rabi Ben, panggilan akrab Benjamin, kongsi dagang VOC sejatinya terdiri 80 persen orang berdarah Yahudi.
“Mereka pun menyebar hingga sampai di Biak dan Timor-Timur,” ujar Rabi Ben.
Jejak peninggalan orang Yahudi-Eropa di Jakarta pada masa kolonial masih ada hingga kini, yakni Gedung Arsip Nasional di Jalan Gajah Mada. Gedung ini dulunya kediaman saudagar Yahudi dan mantan serdadu Belanda bernama Lendeert Miero alias Juda Leo Ezekiel. Selain menjadi saudagar, Miero pernah menjadi tuan tanah di Pondok Gede, Bekasi. Nama Pondok Gede pun diambil dari rumah gedong yang dibeli Miro dari Johannes Hooyman, sekitar 1775. Kini bekas kediaman dan makam Miro tak lagi tampak, berganti pusat perbelanjaan pada 1992.
Tirto beberapa kali menurunkan laporan khusus mengenai komunitas Yahudi di Indonesia. Baca, misalnya, Mencari Jati Diri sebagai Seorang Yahudi. Baca juga wawancara dengan David Abraham: "Islam dan Yahudi itu Bersaudara". Saat Ramadan lalu, kami menurunkan laporan mengenai ibadah puasa orang Yahudi. Baca juga laporan kami soal hubungan dagang antara Indonesia dan Israel.
Pendudukan Jepang: Menangkap Orang-Orang Yahudi
Ketika Jepang menduduki Hindia Belanda pada Maret 1942, jumlah orang-orang Yahudi saat itu sekitar 3.000 jiwa. Jeff Hadler, sebagaimana dikutip Romi Zarman, menulis populasi Yahudi-Eropa yang bermukim di Jawa berjumlah 1.095 jiwa pada 1930. Mereka tersebar di Jawa Tengah dan Jawa Barat seperti Yogyakarta, Surakarta, Surabaya, dan Bandung.
Tentara pendudukan Jepang membuat kebijakan menangkap orang-orang Yahudi setelah mereka menjalin kerjasama ekonomi dengan Jerman pada 1943. Rotem Kowner mencatat, sejak Agustus 1942, terjadi penangkapan orang-orang Yahudi yang bikin sebagian dari mereka meninggalkan Indonesia.
Segera setelah operasi penangkapan orang-orang Yahudi itu, perlakuan serupa diikuti oleh Belanda untuk mengusir orang-orang Yahudi dari Indonesia. Tercacat, dalam laporan Kongres Yahudi Sedunia yang dirilis beberapa hari setelah pengusiran orang-orang Yahudi, jumlah mereka menyusut, hanya sekitar 450 di Indonesia pada November 1957. Jumlah ini terus merosot enam tahun setelahnya, hanya tinggal 50 orang.
Namun kini, dalam situasi negara yang lebih stabil, orang-orang Yahudi di Indonesia melalui keturunannya bisa lebih nyaman dan mendirikan komunitas di beberapa kota seperti Jakarta, Surabaya hingga Manado.
Di Manado, komunitas Yahudi hidup rukun dengan warga muslim maupun Kristen. Mereka mendirikan Sinagoga termasuk menara Menorah. Di Jakarta, mereka bisanya berkumpul di satu tempat untuk menggelar perayaan umat Yahudi di seluruh dunia. Salah satu komunitas Yahudi yang eksis itu United Indonesian Jewish Community (UIJC).
Rabi Ben, ketua komunitas, mengungkapkan, sejauh ini ada sekitar 5.000 orang keturunan Yahudi yang tersebar di Indonesia; sekitar 200 orang di antaranya bermukim di Jakarta. Mereka tak seluruhnya menganut Yudaisme.
“Kalau orang yang beragama Yahudi, mungkin saya taksir masih di bawah 500 orang. Ini yang ketahuan,” ujar Rabi Ben.
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Fahri Salam