tirto.id - Setelah Indonesia merdeka, sejumlah pemberontakan muncul di daerah. Salah satunya adalah Republik Maluku Selatan (RMS) di Ambon yang diproklamasikan 66 tahun lalu.
Pada 23 April 1950, J. Manuhutu didatangi orang-orang bersenjata. Mereka adalah pendukung ide bekas Jaksa Agung Negara Indonesia Timur, Chris Soumokil, yang menekan Kepala Daerah Maluku Selatan itu agar mau mendirikan negara di Ambon. Akhirnya, Manuhutu luluh dan membacakan Proklamasi Republik Maluku Selatan (RMS) pada 25 April 1950.
"Memenuhi kemauan jang sungguh, tuntutan dan desakan rakjat Maluku Selatan, maka dengan ini kami proklamir Kemerdekaan Republik Maluku Selatan, de facto de jure, yang berbentuk Republik, lepas dari pada segala perhubungan ketatanegaraan Negara Indonesia Timur dan R.I.S." begitu awal penggalan proklamasi RMS.
KNIL Vs. KNIL
RMS pun resmi berdiri. Para pejabatnya langsung sadar mereka akan mendapat perlawanan dari TNI. Maka, RMS pun memperkuat pasukannya. Bekas sersan Tentara Hindia Belanda (KNIL) diangkat menjadi Panglima Angkatan Perang RMS. Ada Dantje Samson, Thomas Nussy, Sopacua dan lainnya. Ratusan bekas KNIL dengan dibantu ribuan pemuda bersenjata tombak dan panah menjadi kekuatan inti militer RMS ketika itu.
Dengan kekuatan itu, RMS adalah pemberontakan besar yang pertama kali membuat pemerintahan Soekarno pusing tujuh keliling. Pasukannya dianggap lebih tangguh dalam bertempur ketimbang TNI. Abdul Haris Nasution sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) segera mengambil tindakan.
Operasi penumpasan diserahkan pada Kolonel Alex Evert Kawilarang, kawan Nasution waktu di Akademi Militer Kerajaan di Bandung. Alex Kawilarang merupakan Panglima Ekspedisi Tentara di Indonesia Timur.
Indonesia juga merekrut ribuan bekas KNIL sebagai tentara Indonesia. Langkah itu merupakan salah satu keputusan Konferensi Meja Bundar 1949: Indonesia harus menerima bekas KNIL, yang semasa revolusi 1945-1949 melawan Republik Indonesia. Sebagian bekas KNIL itu lalu menjalani "perpeloncoan" sekaligus "penebusan dosa". Mereka dikirim ke Maluku untuk melawan pasukan RMS.
Salah satu mantan KNIL yang ikut menumpas RMS adalah Kapten Klees. Bekas Sersan KNIL itu menjadi komandan pasukan lapis baja dalam operasi di Ambon. Setelah operasi ini, tak ada lagi kabar tentang Kapten Klees.
Bekas KNIL lain yang terkenal adalah Kapten Erwin Claproth yang memiliki darah Makassar Jerman. Dia pernah menjadi salah satu komandan Korps Barisan Madoera ketika revolusi Indonesia. Di KNIL, pangkatnya Letnan. Dalam operasi menumpas RMS, Erwin Claproth memimpin batalionnya sendiri.
Ada pula Kapten Josef Muskita alias Joost yang paling tersohor. Sebelum bergabung dengan TNI pada Agustus 1950, Joost adalah bekas Letnan KNIL juga. Dia lulusan sekolah perwira cadangan Infanteri KNIL angkatan 1947 di Bandung. Sepanjang operasi, Muskita tak diberi jabatan memimpin pasukan.
Dengan pangkat kapten, Joost dijadikan perwira operasi pada grup yang dipimpin Slamet Riyadi. Operasi yang ikut ditangani Joost cukup sukses, meski ia harus membayarnya dengan permusuhan dari sang ayah, orang Ambon yang bekas Sersan KNIL. Hampir sepuluh tahun ayahnya tak mau bicara dengan Joost.
Nampaknya, sang ayah tidak suka Joost menembaki sesama orang Ambon. Untunglah pengorbanan itu tak terlalu sia-sia. Kelak, karier Joost berkembang paling moncer dibandingkan dengan mantan KNIL lain. Dia mencapai pangkat mayor jenderal dan kemudian jadi duta besar di Jerman.
Pada perang melawan RMS, pasukan yang hampir semuanya bekas KNIL namanya Batalion 3 Mei. Dinamai demikian karena dibentuk di Manado pada 3 Mei 1950, oleh bekas KNIL dan laskar pejuang yang berontak pada Belanda di Manado.
Pemberontakan itu menjadi pernyataan sikap pro-Indonesia. Mereka berhasil menahan pimpinan KNIL di Manado. Setelah perang usai, sebagian besar personil batalion bekas KNIL itu tak ditugaskan lagi di Manado. Mereka ditempatkan di Jawa Barat, di antaranya bahkan masuk ke RPKAD (Kopassus).
Tumbangnya Perwira Kiri
Tidak hanya menjadi wahana perpeloncoan eks tentara KNIL, penumpasan RMS juga jadi ajang untuk "menyingkirkan" tentara yang dianggap kiri.
Menurut sejarawan Salah Djamhari, setelah pemberontakan RMS meletus setidaknya hampir satu divisi tentara dikirim ke luar Jawa. Di antara pasukan itu ada tentara yang dekat dengan orang-orang Murba (partainya Tan Malaka) dan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Ada Batalion Abdullah yang dekat dengan Tan Malaka, lalu ada batalion yang isinya adalah mantan Hizbullah.
Slamet Riyadi, salah satu pimpinan operasi penumpasan RMS, tadinya adalah komandan batalion dari Divisi Penembahan Senopati yang dianggap kiri. Sementara itu, Slamet Sudiarto, pimpinan penumpasan yang lain, adalah bekas sersan KNIL yang menjadi salah satu komandan brigade di bawah komando divisi sama.
Pada masa revolusi, Divisi Penembahan Senopati dianggap komunis karena dekat dengan tokoh-tokoh PKI seperti Alimin, Musso, dan Amir Sjarifoeddin. Divisi ini adalah "musuh bebuyutan" Divisi Siliwangi yang pernah dipimpin Nasution, perwira tinggi anti-kiri. Ketika ada gencatan senjata dengan Belanda, kedua divisi ini pernah saling culik-culikan sampai meletusnya Peristiwa Madiun 1948.
Saleh Djamhari menjelaskan, Kolonel Nasution yang ketika itu menjabat KSAD memerintahkan Alex Kawilarang untuk menghabisi RMS. Panglima Divisi II/Diponegoro di Jawa Tengah, Kolonel Gatot Subroto, kemudian memerintahkan bekas anak buah Brigade 6 pimpinan Letkol Slamet Sudiarto untuk mengawal Alex, yakni Batalion Suradji (mantan Brigade Slamet Riyadi), Batalion Sutarno, Batalion Yusmin.
Karena pasukan ini dianggap kiri, Slamet Riyadi dan Slamet Soediarto sempat dibebastugaskan di Jawa Tengah. Mereka berdua tetap bersama bekas anak buahnya, sampai kemudian diberi tugas oleh Alex Kawilarang, salah satu komandan penumpasan RMS.
Dari Jawa Timur, Alex Kawilarang mendapatkan Batalion Abdullah. Sama seperti batalion-batalion dari Jawa Tengah, Mayor Abdullah dan pasukannya juga dianggap kiri. Sekitar tahun 1948, Abdullah dan kawan-kawannya pernah dekat dengan Tan Malaka.
Ketiga nama itu—Slamet Riyadi, Slamet Sudiarto, dan Abdullah—kemudian dikenang, karena semuanya gugur dalam pertempuran. Mayor Abdullah meninggal saat memimpin pendaratan; tertembak di atas kapal oleh peluru RMS pada 25 September 1950 di sekitar Seram.
Setelahnya, pada 28 September 1950, pasukan TNI akan mendarat di Hitumeseng, dan Letkol Slamet Sudiarto kena tembak saat hendak keluar dari kapal. Peluru menembus ususnya. Ia sempat dioperasi di KM Waibalong, tetapi akhirnya meninggal.
Sebulan setelahnya, Slamet Riyadi menyusul. Pada 4 November 1950, Slamet Riyadi meninggal setelah tertembak sniper RMS.
"Letkol Slamet Riyadi di atas tank. Kemudian, nasib menentukan, serentetan tembakan bren dari seorang RMS mengenai perutnya dengan parah. Peluru kena di metal di belt (ikat pinggang) dan karena itu dum-dum. Lukanya besar. Akibat luka-luka yang amat parah itu akhirnya Letkol Slamet Riyadi gugur," kata Alex Kawilarang dalam biografinya, Untuk Sang Merah Putih.
Operasi menumpas RMS ini memang berat dan sulit. Tangguhnya pasukan RMS membuat pasukan RI sulit pulang hidup-hidup dari Ambon. Ini adalah "perpeloncoan" sangat berat bagi anggota TNI eks KNIL, juga tentara yang di masa revolusi dicap kiri.
Mereka seperti diminta "mencuci dosa", dengan risiko nyawa melayang. Meski pada akhirnya, Slamet Riyadi, Soedarto, Abdullah, dan lain-lain, gugur di sana sebagai pejuang RI, bukan sebagai bekas KNIL maupun tentara kiri.