tirto.id - AH Nasution merupakan jenderal berpangkat bintang lima yang selamat dari peristiwa G30S 1965. Jenderal AH Nasution berhasil kabur dari upaya penculikan dan pembunuhan yang terjadi pada 30 September 1965.
Meskipun ia selamat, sayangnya ajudan pribadinya Pierre Tendean dan sang putri Ade Irma Suryani tewas diserang oleh pelaku G30S 1965. Sebelum menjadi nyaris menjadi korban G30S 1965, Jenderal AH Nasution sudah terlibat di banyak peristiwa nasional.
Tentu ada alasan mengapa dirinya diincar oleh beberapa oknum Pasukan Cakrabirawa malam itu. Lantas, siapa AH Nasution dan bagaimana profil sang jenderal?
Biografi Jenderal Abdul Haris Nasution atau yang sering disebut sebagai AH Nasution diwarnai kisah perjuangan dan pengabdian. Sebelum berpangkat tinggi di kemiliteran, AH Nasution diketahui pernah mengabdi sebagai guru bergaji kecil di Sumatera.
Namun, AH Nasution mulai terlibat berbagai peristiwa penting usai bergabung menjadi anggota. Bahkan sejarah mencatat, peran Abdul Haris Nasution sangat besar dalam pertahanan NKRI, ilmu perang gerilya, dan konsep dwifungsi ABRI.
Biografi AH Nasution
Biografi Abdul Haris Nasution atau AH Nasution yang dicatat oleh sejarawan bermula dirinya masih masa kanak-kanak. AH Nasution merupakan anak pertama dari pasangan H. Abdul Halim Nasution dan Hj. Zaharah Lubis.
Ia lahir pada 3 Desember 1918 di Distrik Mandailing, Kotanopan, Tapanuli Selatan. Menurut Bakri A.G. Tianlean dalam AH. Nasution di Masa Orde Baru (1997), AH Nasution merupakan anak laki-laki pertama dari pasangan tersebut.
Oleh karena itu, kelahirannya sangat dinanti karena dapat menjadi penerus bagi nama keluarga. Sang ayah yang bergelar haji merupakan pedagang sekaligus guru pesantren.
Sementara itu, sang kakek merupakan guru silat yang dihormati di kampungnya. Memiliki ayah dan kakek yang berprofesi sebagai guru membuat AH Nasution kelak diharapkan bisa menjadi guru.
Ditambah, AH Nasution kecil selalu terlihat tekun belajar dan menjadi salah satu siswa unggul di sekolah. Ini terbukti dari masa awal pendidikan Abdul Haris Nasution.
Pada usia sekolah dasar, ia berhasil lolos seleksi masuk ke sekolah yang didirikan oleh Belanda, Hollandse Inlandse School (HIS). Masyarakat zaman dahulu menyebut bahwa lulusan HIS sudah pasti terpelajar.
Saat memasuki jenjang sekolah menengah, AH Nasution melanjutkan ke sekolah Holandsche Indische Kweekschool (HIK). Ia hanya bersekolah di Kota kelahirannya dalam waktu singkat, karena HIK di Sumatera Utara terpaksa tutup dan dipindahkan ke Bandung.
Selama menempuh pendidikan di HIK Bandung, AH Nasution bertemu dengan seorang guru Belanda bernama Van der Werf. Werf adalah seorang pemimpin Partai Katolik di Bandung.
AH Nasution sangat menghormati Werf dan mempelajari banyak sejarah dan politik darinya. AH Nasution juga banyak meminjam buku-buku filsafat, militer, dan politik di sekolah barunya itu.
Salah satu buku favoritnya adalah buku Indonesia Menggugat yang ditulis oleh Soekarno. Melalui buku-buku itulah ketertarikannya di bidang politik dan militer menguat, seolah memudarkan cita-citanya menjadi guru seperti ayah dan kakeknya.
Usai lulus dari HIK, AH Nasution melanjutkan ke pendidikan ke Algemeene Middelbare School (AMS). AMS merupakan sekolah persiapan untuk melanjutkan studi perguruan tinggi di Belanda.
Ia berhasil lulus ujian AMS B di Jakarta dan diterima menjadi guru di daerah Bengkulu. Pada masa awal mengajar, AH Nasution hanya digaji 50 Gulden yang sangat pas-pasan untuk memenuhi kebutuhannya.
Meskipun demikian, ia tetap semangat mengajar di sekolah tersebut. Di Bengkulu juga ia bertemu dengan Soekarno, sosok yang sejak dahulu ingin ia temui. Soekarno diketahui sedang berada di Bengkulu karena dalam masa pengasingan.
Ia tinggal tidak jauh dari rumah yang disewa AH Nasution bersama rekan-rekannya. AH Nasution sering melihat Soekarno di rumah pengasingan. kadang-kadang ia tersenyum dan menyapa.
Ia juga pernah diundang ke rumah Soekarno untuk mengobrol. Melalui obrolan itulah, Soekarno menyarankan AH Nasution untuk masuk organisasi pemuda bernama Indonesia Muda.
Namun, tidak lama kemudian ia dipindahkan ke Palembang, Sumatera Selatan untuk menjadi kepala sekolah. Kehidupannya di Sumatera Selatan memang jauh lebih layak meskipun tanggung jawabnya lebih berat.
Kendati demikian, AH Nasution masih menyimpan mimpinya untuk bergabung di militer. Ia lantas memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya sebagai guru dan lanjut menempuh pendidikan militer di Jawa.
Pada 1940, pemerintah Belanda membentuk sekolah perwira cadangan bernama Corps Opleiding Reserve Officieren (CORO) di Bandung. Sekolah ini terbuka bagi pemuda Indonesia yang ingin bergabung dengan militer Belanda yang pada saat itu terdesak oleh Jepang.
Menurut T.B. Simatupang dalam Membuktikan Ketidakbenaran Suatu Mitos (1981) AH Nasution mengambil kesempatan tersebut dan berhasil menjadi salah satu dari sedikit pemuda Indonesia yang lolos CORO.
Ia kemudian menjalani pendidikan militer yang keras dan luar biasa disiplin. Meski demikian, AH Nasution bisa membuktikan bahwa dirinya bukanlah pemuda pribumi biasa di militer.
Berkat prestasinya, hanya dalam beberapa bulan sejak masuk CORO, AH Nasution diangkat menjadi kopral. Kemudian, tiga bulan setelahnya ia naik pangkat lagi menjadi sersan.
Sembari menjalankan aktivitasnya di militer, AH Nasution diam-diam memberikan pelajaran kemiliteran bagi pemuda-pemuda pribumi yang tergabung di organisasi Pasundan.
Karier AH Nasution di militer semakin naik seiring berjalannya waktu. Belum setahun setelah Proklamasi Kemerdekaan, tepatnya pada Maret 1946 AH Nasution diangkat menjadi Panglima Divisi III/Priangan.
Tak lama kemudian, ia kembali diangkat sebagai Panglima Regional Divisi Siliwangi yang bertugas di Provinsi Jawa Barat. Selama menjabat ia banyak terlibat dengan peristiwa perang pasca-kemerdekaan.
Selama masa pendudukan Jepang, AH Nasution banyak membaca buku tentang militer dan mengikuti program-program yang diadakan militer Jepang. Oleh karena itu, ia banyak mendapatkan inspirasi teknik perang dari pemikiran militer Jepang.
AH Nasution melepas masa lajangnya satu tahun kemudian. Ia bertemu dengan Johana Sunarti, seorang mahasiswi Universitas Gajah Mada (UGM). Ia merupakan putri dari R.P. Gondokusumo, seorang tokoh pergerakan sekaligus petinggi Sarekat Islam.
Ia merupakan tokoh yang disegani kala itu, termasuk oleh Belanda dan dijuluki sebagai 'Jago Tua'. Pernikahan antara Sunarti dan AH Nasution berlangsung di Ciwidey, Jawa Barat pada 30 Mei 1947.
Dari pernikahan tersebut, ia dikaruniai dua orang anak. Anak pertamanya bernama Hendrianti Shara Nasution, sedangkan anak kedua adalah Ade Irma Nasution yang tewas dibunuh pada peristiwa G30S 1965.
Belum sempat merasakan manisnya kehidupan rumah tangga, AH Nasution harus memimpin perang kemerdekaan. Masih di tahun yang sama, Belanda datang ke Nusantara dan berusaha untuk mencegah kemerdekaan.
AH Nasution kemudian menjadi pemimpin yang mengatur pasukan saat era Agresi Militer Belanda 1947. Berkat pengetahuannya di bidang militer, ia menerapkan praktik perang gerilya yang berhasil memukul mundur Belanda.
AH Nasution sempat dilanda konflik politik dengan Presiden Indonesia kala itu Soekarno. AH Nasution dan beberapa jenderal ABRI merasa ketidakpuasan terhadap parlemen saat itu.
Ia menganggap bahwa DPRS sudah telalu ikut campur atas operasional ABRI dan meminta agar Soekarno membubarkan DPRS. Permintaan itu lantas ditolak Soekarno yang menyebut jika DPRS dibubarkan, maka dirinya akan menjadi seorang ditaktor.
Lalu, terjadilah Peristiwa 17 September 1952. AH Nasution mengorganisir 30.000 orang demonstran ke Istana Negara. Para demonstran kemudian mendesak pembubaran DPRS dan mempercepat pemilu.
Tuntutan tersebut akhirnya diselesaikan melalui Rapat Collegial 1955 yang menghasilkan Piagam Keutuhan Angkatan Darat. Piagam tersebut memuat pernyataan terkait keutuhan di tubuh angkatan darat.
Sayangnya, setelah rapat tersebut dilaksanakan parlemen mendesak presiden untuk mencopot AH Nasution dari jabatannya. Namun, sebelum dicopot, AH Nasution mengajukan pengunduran diri dari militer.
Meskipun demikian, pada 1958 AH Nasution diangkat menjadi Menteri Keamanan Nasional berpangkat Letnan Jenderal. Ini terjadi setelah berlangsung reorganisasi Angkatan Darat.
Pada 1965, AH Nasution diincar oleh beberapa oknum yang tergabung dalam pasukan pengaman presiden, Cakrabirawa, untuk diculik dan dibunuh.
Seorang pelaku G30S 1965 secara membabi buta melepas tembakan ke rumah sang jendreal. Beruntung, AH Nasution berhasil kabur dengan melompat pagar dan berlindung ke rumah tetangganya seorang Duta Besar Irak.
Sementara itu, Pierre Tendean yang sekilas wajahnya mirip dengan AH Nasution, dibunuh bersama sang putri Ade Irma Suryani yang masih berusia 5 tahun kala itu.
Ade Irma ditinggalkan dalam kondisi bersimbah darah di rumahnya, sedangkan Tendean diculik oleh pelaku. Tiga hari kemudian, jasad Tendean ditemukan di Lubang Buaya, Jakarta Timur bersama 6 orang jenderal lainnya.
Peran AH Nasution dalam Mempertahankan NKRI
AH Nasution merupakan salah satu tokoh yang berjasa dalam mempertahankan NKRI. Berikut ini beberapa peran AH Nasution dalam menjaga keutuhan di Indonesia:
1. Memimpin perang gerilya di Agresi Militer Belanda
AH Nasution berjasa dalam memimpin perang gerilya di masa Agresi Militer Belanda 1947. Agresi Militer Belanda 1947 sendiri merupakan real war, di mana masyarakat Indonesia dihadapkan secara langsung oleh tentara Belanda dengan pasukan terlatih dan senjata canggih.
Indonesa sebagai negara yang baru lahir tentu sulit menyaingi hal itu tanpa taktik yang efektif. Alih-alih menggencarkan kontak senjata secara langsung, AH Nasution mengakomodir pasukannya untuk menjalankan perang gerilya.
Taktiknya itu berhasil diterapkan oleh rakyat Indonesia dan mampu memukul mundur Belanda. Taktik gerilya AH Nasution itu ia tuliskan dalam buku Fundamentals of Guerrilla Warfare atau Pokok-Pokok Gerilya (1953).
Buku tersebut menjadi salah satu buku wajib yang dipelajari di akademi militer seluruh dunia.
2. Menumpas gerakan separatis dan ekstremis.
Setelah situasi Agresi Militer mereda, Indonesia dihadapkan dengan berbagai pergolakan di dalam negeri. Kondisi ini disebabkan oleh tumbuhnya berbagai gerakan separatis dan ekstremis.
AH Nasution kemudian memimpin pasukan untuk mengatasi dalam mengamankan stabilitas dalam negeri. Ini termasuk mengakomodir pergerakan Pasukan Divisi I Siliwangi untuk menumpas Pemberontakan PKI Madiun 1948 dan DI/TII 1962.
Ia juga bekerja sama dengan Jenderal Ahmad Yani untuk menjalankan operasi Pembebasan Irian Barat 1962.
3. Mempertahankan Pancasila sebagai ideologi
AH Nasution terkenal sebagai sosok yang begitu nasionalis dan menghormati Pancasila sebagai dasar negara. Oleh karena itu, ia sangat tegas menumpas segala aliran ideologi yang bertentangan dengan Pancasila.
Ini termasuk upayanya dalam menumpas pergerakan Islam ekstremis DI/TII 1962 dengan Operasi Pagar Betis. Meskipun ia dikenal sebagai penganut Islam yang taat, AH Nasution tak mentolerir tindakan radikal mengatasnamakan agamanya yang bertujuan mengganti ideologi negara.
AH Nasution juga dikenal kontra terhadap paham komunisme yang kembali tumbuh subur di akhir era Orde Lama. Namun, kebencian ini bukan semata-mata karena sentimen terhadap PKI yang diklaim terlibat dalam pembunuhan putri dan ajudan kesayangannya.
AH Nasution diketahui sangat menjunjung tinggi ideologi dan konstitusi bangsa, yaitu Pancasila dan UUD 1945. Oleh karena itu, dengan berduet dengan Panglima Kostrad Soeharto, keduanya menumpas paham komunis dari Indonesia.
Kerja samanya dengan Soeharto ini kemudian mengakhiri masa jabatan Soekarno dan Indonesia memasuki era Orde Baru. AH Nasution juga disebut menjadi pencetus konsep Dwifungsi ABRI yang diadaptasi secara ekstrem oleh Soeharto.
Akhir Hidup Abdul Haris Nasution
Hubungan antara Soeharto dan Abdul Haris Nasutionmemang istimewa, namun tidak berjalan lama. Hanya berselang 13 tahun sejak era Orde Baru, konflik terjadi antara Soeharto dan AH Nasution.
Berdasarkan catatan Floriberta Aning S. dalam 100 Tokoh yang Mengubah Indonesia (2005), keterlibatan AH Nasution dalam Petisi 50 dianggap sebagai pemicu keretakan hubungannya dengan Soeharto.
Petisi 50 adalah dokumen yang menggugat Soeharto atas penyalahgunaan filosofi bangsa, yaitu Pancasila untuk kepentingan politiknya. AH Nasution menjadi salah satu orang yang mendukung Petisi 50 itu.
Kemudian pada 1972 ia dipensiunkan dini dari jabatan dininya dari dinas militer. Sejak saat itulah, AH Nasution tak lagi bisa terlibat politik.
Tak hanya itu, menurut Floriberta di akhir masa hidupnya AH Nasution sempat mengalami masalah keuangan dan kehidupan layak.
Rumahnya yang berada di Jalan Teuku Umar, Jakarta tampak kusam dan seperti tak pernah direnovasi. Bahkan, pasokan air bersih ke rumahnya terputus tak lama setelah ia diberhentikan.
Namun, ia kembali dipanggil Soeharto setelah dua dekade dikucilkan. Jelang berakhirnya era Orde Baru pada 1997, Soeharto menganugerahkan AH Nasution pangkat Jenderal Besar bintang lima.
Pemberian penghargaan itu berlangsung di Jakarta tanggal 5 Oktober 1997 bertepatan dengan Hari ABRI. Selain AH Nasution, pangkat yang sama juga diberikan kepada Jenderal Soedirman.
Sayangnya, hanya berselang tiga tahun dari pemberian status kehormatan tersebut AH Nasution berpulang menyusul putrinya Ade Irma Suryani. Pada 6 September 2000 AH Nasution meninggal dunia di RS Gatot Soebroto akibat stroke dan koma.
Editor: Dhita Koesno