tirto.id - “Pernah saya katakan bahwa saya belajar dari tiga orang Karl, yang pertama Karl Marx mengenai revolusi, sekarang Marx sudah ditinggalkan kita sudah melampaui Marx. Kedua Carl von Clausewitz mengenai perang. Dan ketiga Karl Barth mengenai teologi,” ujar Tahi Bonar Simatupang dalam buku Percakapan dengan Dr. T.B. Simatupang (1989:4).
Letnan Jenderal T.B. Simatupang termasuk orang yang berjasa dalam membangun organisasi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Dia membaca jauh lebih banyak soal pemikiran militer dibanding perwira TNI yang lebih senior darinya.
Simatupang mempunyai kelebihan yang tak dimiliki lulusan pelajar sekolah menengah lainnya, yakni bisa berbahasa Jerman. Bahasa ini membuatnya mampu membaca karya klasik Clausewitz, Vom Kriege, yang versi Inggrisnya adalah On War (PDF).
Menurut Simatupang, buku itu adalah bacaan wajibnya saat jadi junker (taruna akademi militer Belanda) di Bandung. Dalam Membuktikan Ketidakbenaran Sebuah Mitos (1991:88), Simatupang mengatakan bahwa militer Belanda sangat terpengaruh oleh militer Jerman, dan Clausewitz adalah nama besar dalam pemikiran militer Jerman.
“Landasan teoritis banyak berorientasi kepada Clausewitz,” ujarnya mengenai militer Belanda sebelum 1942. Dari Clausewitz juga, Abdul Haris Nasution dalam bukunya Memenuhi Panggilan Tugas (1989:292), menyadari bahwa politik dan militer saling memengaruhi. Nasution membaca buku Clausewitz milik Simatupang.
Ketika kedua perwira didikan KNIL ini membaca Vom Kriege, sang penulis Carl Phillip Gottfried von Clausewitz (1780-1831) sudah lebih seabad tutup usia. Clausewitz adalah perwira Prusia yang ikut berperang ketika Napoleon menjadi bahaya di Eropa. Ia memulai kariernya sejak usia 12 tahun dan pensiun dengan pangkat mayor jenderal.
“Clausewitz adalah asisten bagi Scharnhorst dan Gneisenau dalam tugas reformasi militer. Ia menulis bukunya (Von Kriege) ketika menjabat pimpinan akademi perang pada 1815. Sebagai dampaknya, buku tersebut melengkapi pemikiran intelektual tentang reformasi yang dulu pernah diikutinya,” kata Sameul Huntington dalam Prajurit dan Negara (2003:59).
Buku ini, menurut Huntington membuat Clausewitz disejajarkan dengan Shakespeare dan Goethe. Meski kini Clausewitz dianggap ketinggalan zaman, namun menurut Huntington sumbangan terbesarnya adalah dalam analisis tingkat tinggi tentang sifat dasar peperangan serta hubungan antara perang dengan hal-hal yang terkait dengan kemanusiaan.
Bagi Clausewitz, perang tidak selalu harus menghancurkan musuh sampai habis. Menurutnya, menggunakan kekerasan kepada pihak lain agar mengikuti kehendak kita juga adalah perang. Membuat musuh tetap hidup dan mau berdamai sesuai kehendak kita pun bisa menjadi tujuan perang.
Ketika ia menjadi perwira lapangan, negara-negara Eropa yang jadi musuh Napoelon tak membuat Prancis hancur, namun hanya ingin mengalahkan Napoleon agar tidak terus mengekspansi negara lainnya. Dalam revolusi Indonesia, tujuan perang paling realistis bagi pihak republik adalah mengusir Belanda dari Indonesia. Setidaknya dari Jawa dan Sumatra terlebih dahulu.
“Bahkan ketika kita tidak dapat berharap untuk mengalahkan musuh secara total, tujuan langsung dan positif yang masih dimungkinkan: pendudukan sebagian wilayahnya. Inti dari pendudukan semacam itu adalah untuk mengurangi sumber daya nasionalnya,” tulis Clauswitz dalam On War (1984:611).
Dalam konteks revolusi Indonesia, merebut Jawa dan Sumatra dari tangan Belanda penting karena dua pulau ini punya sumber daya manusia dan sumber daya alam yang sangat besar. Tanpa Jawa dan Sumatra, Belanda akan kehilangan banyak perkebunan yang bernilai ekonomis. Tanpa Sumatra, Belanda kehilangan sumber minyak untuk perang.
Menurut Clausewitz, ada biaya yang harus ditanggung untuk menghancurkan musuh sampai habis. Biaya perang sejatinya bukan perkara uang semata tapi juga risiko-risiko yang muncul setelah perang. Biaya macam itu di masa revolusi kemerdekaan Indonesia tak dimiliki oleh pihak Republik.
Mengusir atau sekadar memperlemah tentara Belanda saja bukan perkara mudah bagi TNI. Tentara Belanda punya pasukan yang terlatih dan bersenjata lengkap, sementara TNI sebaliknya. Di masa sulit ini, Nasution dan Simatupang yang telah membaca karya Clausewitz menjadi pemimpin militer Republik yang cukup berpengaruh di jajaran petinggi angkatan perang.
“Defensif (bertahan) adalah bentuk perang yang lebih efektif, dan karena keefektifan ini ia dapat juga digunakan untuk melakukan serangan balasan dalam skala apa pun,” tulis Clausewitz (1984:613).
Ini adalah perang yang paling mungkin dilakukan TNI pada 1945-1949. Mereka bergerilya di banyak hutan, sementara tentara Belanda hanya unggul di kota-kota besar. Posisi TNI di hutan dan pergunungan memperlambat Belanda menghancurkan kekuatan Republik.
Ketika Yogyakarta gagal dipertahankan TNI dan banyak pemimpin ditawan, di pedalaman Sumatra Barat Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) tetap eksis. Perang gerilya yang dilakukan TNI secara terus-menerus juga menciptakan kelelahan di pihak Belanda. Clausewitz menyebut “kelelahan yang lebih kuat sering membawa perdamaian.”
Perang yang dilakukan pihak Republik memang menyulitkan tentara Belanda dan membuat RI eksis. Namun, peran diplomasi juga tak kalah penting. Agresi Militer Belanda II nyatanya membuat posisi diplomatik Belanda terlihat jahat di mata dunia internasional.
Editor: Irfan Teguh Pribadi