Menuju konten utama
5 Mei 1821

 Napoleon Bonaparte Mengkhianati Spirit Revolusi Perancis

Akhir kelabu.
Ego jendral belagu
sekeras batu.

 Napoleon Bonaparte Mengkhianati Spirit Revolusi Perancis
Ilustrasi Napoleon Bonaparte (1769-1821). tirto/Sabit.

tirto.id - Tanggal 18 Juni akan selalu diingat betul oleh Napoleon Bonaparte. Pasalnya, pada hari itu, kedigdayaannya yang sudah dibangun selama bertahun-tahun hancur. Impiannya mewujudkan takhta yang abadi harus musnah tanpa sisa. Belum lagi ia harus menjalani pengasingan yang makin menjadikannya pesakitan.

Peristiwa jatuhnya Napoleon tersebut terjadi di Waterloo, wilayah yang terletak tak jauh dari Brussels, Belgia. Rencananya, Napoleon hendak merebut Brussels demi menguatkan dominasi di daratan Eropa.

Kendati pada 1805 pasukannya kalah oleh Inggris di Trafalgar, Napoleon tak patah arang. Ia terus menabuh genderang perang, mengokupasi satu per satu daerah untuk merealisasikan mimpinya membangun Imperium Eropa di bawah kediktatoran militer yang sudah diproklamirkan sejak 1804.

Di Waterloo, Napoleon mendapati empat lawan sekaligus: Inggris, Prusia, Rusia, serta Austria. Sejak awal, ia sudah sesumbar bakal memenangkan peperangan. Kalimat ejekan meluncur dari mulutnya yang menyebut Pangeran Wellington, komandan Inggris, adalah “jenderal yang payah” serta pasukan Inggris setara dengan “menu sarapan”—saking remehnya mereka di mata Napoleon.

Mulanya, Napoleon mampu menguasai jalannya peperangan. Jumlah pasukan yang lebih banyak dibanding milik Wellington (Napoleon 72 ribu, Wellington 68 ribu) dan keberhasilan menduduki wilayah La Haye Sainte adalah faktor pendukungnya.

Guna meredam serangan Napoleon, Wellington hanya bisa memasang taktik bertahan—mencegah pasukan Perancis masuk ke ibu kota—sembari menunggu bala bantuan tentara Prusia yang dibawa Jenderal Blucher datang.

Namun, taktik yang digunakan Wellington sebetulnya hanya jebakan. Ketika pasukan Napoleon masuk ke garis depan pertahanan pasukan Sekutu, Wellington langsung memerintahkan armadanya meluncurkan tembakan. Pasukan Napoleon kelimpungan. Mereka mulai menjauh dari wilayah Sekutu.

Melihat situasi itu, Wellington meminta pasukannya mengejar armada Perancis bersama tentara Blucher yang telah datang. Napoleon kian terpojok dan tak berkutik. Akhirnya, Perancis kalah. Wellington dan sekutu berhasil menghentikan ambisi Napoleon menguasai Eropa.

Militer Sejak dalam Pikiran

Napoleon lahir di Corsica pada 15 Agustus 1769 dari pasangan Carlo dan Letizia. Seperti dicatat Charles Breunig dalam The Age of Revolution and Reaction, 1789-1850 (1977), kedua orang tuanya adalah bagian dari borjuasi Corsica yang hidup di bawah pendudukan Perancis.

Saat usianya menginjak sembilan tahun, ia merantau ke Perancis guna menimba ilmu di Autun, Brienne, sebelum akhirnya masuk akademi militer di Paris karena ketertarikannya terhadap segala hal berbau perang. Napoleon lulus dari akademi pada 1785. Pangkatnya setelah lulus ialah letnan. Napoleon dikenal sebagai tentara yang rajin membaca materi strategi dan taktik militer.

Meski menghabiskan banyak waktu di Perancis, ia tetap merasa jadi orang Corsica yang punya kehendak kuat untuk memerdekakan tanah kelahirannya dari pendudukan Perancis. Tapi, perasaan itu hilang kala ia harus mendapati fakta bahwa kehadiran keluarganya ditolak masyarakat Corsica. Alasannya: adiknya, Lucien, menuduh tokoh pembebasan Corsica Pasquale Paoli bersekongkol dengan Inggris.

Tersengat penolakan dan terpana oleh Revolusi Perancis 1789 yang menggemakan spirit liberté, égalité, fraternité (kebebasan, kesetaraan, persaudaraan), Napoleon, seperti dituturkan Breunig, lantas memutuskan kembali ke Perancis untuk mengabdikan dirinya kepada revolusi.

Tak butuh waktu lama bagi Napoleon untuk mendapatkan jabatan strategis di militer. Di usianya yang baru 24, ia sudah diangkat menjadi brigadir jenderal karena keberhasilan mengusir pasukan anti-pemerintah Perancis (royalis) dan memukul mundur balatentara Inggris di Toulon.

Karier Napoleon sempat terhambat kala ia diringkus pemerintah gara-gara diduga terlibat dalam Pemerintahan Teror (Reign of Terror). Pemerintahan Teror merupakan masa penuh kekerasan selama Revolusi Perancis. Dalam masa ini, mereka yang tidak mendukung revolusi dipancung dengan guillotine. Aktor di belakang peristiwa tersebut ialah Maximilien de Robespierre, anggota Komite Keselamatan Publik serta pentolan kelompok politik Jacobin.

Akan tetapi, Napoleon buru-buru dilepaskan kala para royalis menyerbu Paris dan mengancam menggulingkan pemerintahan. Pada peristiwa ini, Napoleon jadi aktor kunci menumpas pemberontak. Pada 5 Oktober 1795, Napoleon sukses menyikat serangan kelompok royalis dalam rentang waktu kurang dari satu jam. Namanya lalu dielu-elukan masyarakat dan dianggap jadi penyelamat republik.

Oleh Direktori, badan pelaksana pemerintahan, Napoleon kemudian dipromosikan jadi Panglima Angkatan Darat Perancis. Pada 1796, menurut Louis Antoine Fauvelet de Bourrienne dalam Memoirs of Napoleon Bonaparte (1831), ia memimpin pasukannya berperang melawan armada Austria di Italia. Pertempuran ini dimenangkan Napoleon dan menghasilkan Perjanjian Campo Formio yang menjadikan Perancis penguasa wilayah Italia bagian utara.

Dari Italia, pasukan Napoleon menuju Mesir guna menancapkan dominasi sekaligus menutup rute perdagangan Inggris dengan India. Pada Juli 1798, mereka berhasil mencetak kemenangan melawan penguasa Mesir saat itu, Mamluk. Sesaat setelahnya, mengutip de Bourrienne, Napoleon mencoba mengambil hati masyarakat Mesir dengan ikut berpartisipasi dalam kegiatan keagamaan. Tujuannya jelas agar Napoleon dapat melakukan kerja-kerja okupasinya tanpa ada gangguan.

Namun, masa Napoleon di Mesir tak berlangsung lama. Impian Napoleon untuk membangun pengaruh di Timur Tengah gagal akibat kekalahan oleh Inggris dalam Pertempuran Sungai Nil pada Agustus 1798. Bahkan, sebanyak 35 ribu pasukannya harus terjebak di Mesir dan tak bisa kembali ke Perancis.

Di tengah situasi yang terjepit, Napoleon justru kabur, meninggalkan pasukannya, demi ambisi pribadinya.