Menuju konten utama

Dwifungsi ABRI pada Masa Orde Baru, Konsep dan Tujuannya

Dwifungsi ABRI pernah tumbuh subur di masa Orde Baru. Simak pengertian Dwifungsi ABRI, konsep, tujuan, dan langkah penerapannya di masa rezim Soeharto.

Dwifungsi ABRI pada Masa Orde Baru, Konsep dan Tujuannya
Ilustrasi Angkatan Bersenjata. foto/Istocphoto

tirto.id - Indonesia pernah menerapkan Dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) pada masa Orde Baru. Sistem tersebut memberikan peran ganda bagi militer, yaitu sebagai kekuatan pertahanan-keamanan serta kekuatan sosial-politik.

Doktrin tersebut memungkinkan ABRI tidak hanya bertugas dalam bidang pertahanan, tetapi juga berperan aktif dalam pemerintahan dan birokrasi. Selama Orde Baru, konsep ini dilembagakan secara sistematis, memungkinkan militer menduduki berbagai posisi strategis di eksekutif, legislatif, dan sektor lainnya dengan dalih menjaga stabilitas nasional.

Namun, setelah Soeharto lengser keprabon pada 1998, Dwifungsi ABRI mulai dihapus sebagai bagian dari reformasi untuk mengembalikan supremasi sipil dalam pemerintahan.

Apa yang Dimaksud dengan Dwifungsi ABRI pada Masa Orde Baru?

Dwifungsi ABRI merupakan doktrin militer Indonesia yang menyatakan bahwa angkatan bersenjata tidak hanya berperan dalam bidang pertahanan negara, tetapi juga memiliki fungsi sosial-politik.

Tujuan Dwifungsi ABRI adalah memastikan stabilitas nasional dengan memberikan peran aktif bagi militer dalam pemerintahan dan kehidupan sosial (Crouch, 1999).

Doktrin ini memungkinkan anggota militer menduduki posisi penting dalam birokrasi sipil tanpa harus melepaskan status keanggotaan mereka di militer, sehingga memberikan pengaruh signifikan terhadap kebijakan negara (Sanit, 1995).

Sejarah Dwifungsi ABRI berakar dari Revolusi Kemerdekaan Indonesia, dengan militer terlibat dalam pemerintahan melalui Dewan Pertahanan Negara dan jabatan gubernur militer.

Konsep ini semakin berkembang pada masa darurat militer tahun 1957, ketika Angkatan Darat memperluas perannya di bidang ekonomi dan administrasi politik (Rizqi, 2020).

Jenderal Abdul Haris Nasution kemudian memperkenalkan konsep "Jalan Tengah" yang mengakomodasi keterlibatan militer dalam pemerintahan sipil (Putra et al., 2021).

Puncaknya terjadi pada Seminar Angkatan Darat Kedua tahun 1966, yang merumuskan doktrin partisipasi militer dalam berbagai aspek kehidupan bernegara. Pada era Orde Baru di bawah rezim Soeharto, dwifungsi ABRI dilembagakan secara sistematis, memungkinkan militer menempati jabatan strategis dalam eksekutif, legislatif, dan berbagai sektor pemerintahan (Anwar, 2018).

Dwifungsi ABRI menjadi instrumen utama dalam mempertahankan kekuasaan Soeharto dengan dalih menjaga stabilitas nasional. Militer mendominasi pemerintahan dengan menempatkan perwira aktif di berbagai jabatan penting, termasuk sebagai menteri, gubernur, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tanpa melalui pemilihan umum (pemilu) (Subari & Wahyu Hidayati, 2023).

Seperti disebutkan Tim Imparsial dalam Internal Militer: Problem Tugas Perbantuan TNI (2019). Misalnya pada 1970, Sebanyak 92% gubernur di Indonesia dijabat oleh anggota militer. Kemudian di tahun 1973, sebanyak 400 anggota militer dikaryakan di tingkat pusat, dengan 13 orang menduduki jabatan menteri, serta 22 dari 27 gubernur di Indonesia dijabat oleh militer.

Lantas pasca Pemilu 1987, sebanyak 80% anggota DPR berasal dari Fraksi ABRI dan sebanyak 34 perwira senior menjadi anggota DPR melalui Fraksi Golkar. Lalu, sebanyak 120 anggota militer terpilih sebagai pimpinan Golkar daerah dan hampir 70% wakil daerah dalam kongres nasional Golkar berasal dari militer. Jumlah fraksi ABRI di DPR juga meningkat dari 75 menjadi 100.

Selain itu, militer juga berperan dalam pengelolaan ekonomi dan sosial, sehingga menciptakan sistem pemerintahan yang sangat bergantung pada militer (Hasudungan, 2021).

Namun, setelah jatuhnya Soeharto pada tahun 1998, publik menuntut penghapusan Dwifungsi ABRI karena penyalahgunaan kekuasaan yang terjadi. Reformasi kemudian melemahkan pengaruh militer dalam politik. Pada tahun 2000, disepakati bahwa Dwifungsi ABRI akan dihapus sepenuhnya setelah Pemilu 2009.

Konsep dan Tujuan Dwifungsi ABRI pada Masa Orde Baru

Dwifungsi ABRI adalah doktrin yang memberikan peran ganda kepada Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), yaitu sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan (Hankam) serta sebagai kekuatan sosial-politik.

Konsep ini pertama kali dikemukakan oleh Jenderal A.H. Nasution melalui gagasan "Jalan Tengah" pada tahun 1958, yang menyatakan bahwa militer tidak hanya bertugas dalam bidang pertahanan, tetapi juga harus berperan dalam pembangunan nasional dan pemerintahan (Putra et al., 2021).

Dengan konsep ini, ABRI secara sah dapat berpartisipasi dalam politik dan birokrasi negara, termasuk dalam pengambilan kebijakan strategis. Pada masa Orde Baru, peran sosial-politik ABRI semakin diperkuat, terutama setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965, yang membuat militer mengambil alih kendali pemerintahan dengan dalih menjaga stabilitas nasional (Rizqi, 2020).

Tujuan utama Dwifungsi ABRI adalah mewujudkan stabilitas nasional guna mendukung pembangunan bangsa. ABRI berperan dalam mengatasi berbagai persoalan sosial-politik dan ekonomi, serta memastikan ketertiban dalam sistem pemerintahan.

Pada Agustus 1966, ABRI secara resmi menyatakan kepeduliannya untuk berkontribusi dalam menyelesaikan tiga masalah utama negara, yaitu stabilitas sosial-politik, stabilitas sosial-ekonomi, serta peran ABRI dalam revolusi Indonesia sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan (Sanit, 1995).

Dengan justifikasi tersebut, ABRI mulai menempati berbagai posisi dalam lembaga negara, termasuk eksekutif dan legislatif, melalui mekanisme kekaryaan. Keterlibatan ABRI dalam politik dianggap sebagai solusi terhadap lemahnya peran sipil dalam pemerintahan, seperti yang terlihat pada era Demokrasi Terpimpin ketika partai politik lebih mementingkan kepentingan golongan daripada kepentingan nasional (Anwar, 2018).

Namun, dominasi ABRI dalam pemerintahan menimbulkan dampak negatif, terutama dalam hal demokratisasi dan supremasi sipil. Keberadaan Fraksi ABRI di parlemen tanpa pemilihan umum, serta pengisian jabatan strategis oleh perwira militer, membuat sistem pemerintahan menjadi otoriter.

Menurut Iswandi (2000), peran militer yang terlalu besar dalam politik berakibat pada terbatasnya partisipasi sipil dalam pengambilan kebijakan. Pada akhirnya, seiring dengan runtuhnya rezim Orde Baru pada tahun 1998, Dwifungsi ABRI mulai dihapus sebagai bagian dari reformasi militer, dengan tujuan mengembalikan militer ke fungsi pertahanan negara yang profesional dan menjauhkan keterlibatannya dari politik praktis (Sofuan, 2022).

Langkah-Langkah Pelaksanaan Dwifungsi ABRI pada Masa Orde Baru

Pelaksanaan Dwifungsi ABRI pada masa Orde Baru dimulai dengan pelembagaan peran militer dalam sistem pemerintahan Indonesia. Hal ini dilakukan melalui regulasi yang memberikan legalitas bagi ABRI untuk berpartisipasi dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.

Salah satu landasan hukumnya adalah TAP MPRS No. XXIV/MPRS/1966 yang menegaskan peran ABRI dalam politik dan pemerintahan (Putra et al., 2021). Selain itu, Undang-Undang No. 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahanan dan Keamanan juga semakin memperkuat kedudukan ABRI dalam pemerintahan, dengan memberikan peran aktif di berbagai lembaga negara.

Regulasi ini memungkinkan ABRI menempatkan perwira-perwiranya dalam jabatan strategis, termasuk sebagai gubernur di beberapa provinsi seperti Jawa Timur, Jawa Barat, dan DKI Jakarta (Subari & Wahyu Hidayati, 2023).

Selanjutnya, ABRI menjalankan perannya sebagai dinamisator dan stabilisator untuk mengontrol stabilitas nasional serta mendukung agenda pembangunan.

Fungsi dinamisator diwujudkan melalui program seperti "ABRI Masuk Desa", yang bertujuan meningkatkan keterlibatan militer dalam pembangunan pedesaan serta memperkuat hubungan dengan masyarakat (Suryawan & Sumarjiana, 2020).

Program ini diimplementasikan dengan cara membangun infrastruktur desa, memberikan pelatihan kepada masyarakat, dan menghidupkan kembali peran lembaga desa.

Sementara itu, fungsi stabilisator dijalankan dengan menekan gerakan-gerakan yang dianggap berpotensi mengganggu ketertiban nasional, seperti membatasi aktivitas politik kelompok oposisi dan mengendalikan media massa.

Upaya ini dilakukan untuk memastikan kebijakan pemerintah tetap berjalan tanpa hambatan, sekaligus mempertahankan legitimasi kekuasaan Soeharto (Rajab, 2021). Langkah terakhir dalam pelaksanaan Dwifungsi ABRI adalah dominasi militer dalam struktur birokrasi dan parlemen.

Presiden Soeharto secara sistematis memberikan panggung kepada ABRI karena institusi ini dianggap sebagai kekuatan yang paling terorganisir dan solid untuk mendukung stabilitas pemerintahan (Hasudungan, 2021).

Dengan adanya keterlibatan ABRI di parlemen, kebijakan yang dihasilkan cenderung menguntungkan rezim dan mengurangi ancaman dari kelompok oposisi. Seiring dengan berakhirnya era Orde Baru, Dwifungsi ABRI akhirnya dihapus sebagai bagian dari reformasi untuk mengembalikan supremasi sipil dalam pemerintahan.

Baca juga artikel terkait MATERI AJAR atau tulisan lainnya dari Astam Mulyana

tirto.id - Edusains
Kontributor: Astam Mulyana
Penulis: Astam Mulyana
Editor: Dicky Setyawan & Fitra Firdaus