tirto.id - Dwifungsi Angkatan Bersenjata RI (ABRI) pernah mewarnai perjalanan Rezim Orde Baru Soeharto. Dwifungsi ABRI lantas dihapus pada masa reformasi. Belakangan, dwifungsi ABRI dikhawatirkan kembali muncul seiring pembahasan Rancangan Undang-undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) atau Revisi UU TNI 34/2004.
RUU TNI dimasukan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025. Pengusulan pembahasan RUU TNI didasarkan pada Surat Presiden RI Nomor R12/Pres/02/2025 tertanggal 13 Februari 2025. Pembahasan RUU TNI atas usul pemerintah itu, telah bergulir di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.
Seiring dengan itu, Revisi UU TNI telah memunculkan pro-kontra, terutama kekhawatiran soal peran militer terhadap supremasi sipil. Salah satu yang dikhawatirkan ialah revisi di Pasal 47, yang membolehkan TNI aktif untuk menduduki jabatan setidaknya di 14 kementerian/lembaga (K/L). Ada penambahan sedikitnya 4 pos K/L dibanding UU sebelumnya.
"Empat belas jadinya, tadinya [rencana ditambah menjadi] 16. Karena pertahanan dan dewan pertahanan nasional itu satu kemudian seperti Mensesneg (Menteri Sekretaris Negara) juga nanti ada sekretaris militer presiden itu dirangkap juga bisa," kata Menteri Hukum (Menkum) Supratman Andi Agtas, dikutip dari ANTARA, Selasa (18/3/2025).
Alasan Penghapusan Dwifungsi ABRI pada Masa Reformasi
Dwifungsi ABRI (saat itu TNI dan Polri) pernah tumbuh subur di masa Orde Baru (1966-1998) Rezim Soeharto. ABRI dominan dalam panggung politik nasional. Peran militer meluas, hingga ke dalam wilayah-wilayah non-militer, seperti sosial, politik, ekonomi dan budaya.
Dwifungsi ABRI yang tumbuh subur di masa Orde Baru, kemudian perlahan dihapuskan sejak Soeharto turun keprabon. Penghapusan dwifungsi TNI juga menjadi salah satu tuntutan mahasiswa saat masa Reformasi.
Sejak saat itu, telah terjadi pengurangan jumlah anggota Fraksi ABRI di parlemen pada tahun 1999 sampai dengan penarikan fraksi ABRI di Parlemen pada tahun 2004. Kekuasaan yang luas bagi militer, dikhawatirkan dapat disalahgunakan, utamanya terkait supremasi sipil.
Adapun dalam sejarahnya, ABRI pernah menduduki banyak jabatan strategis selama periode dwifungsi. Seperti diungkap dari data Sumantri menukil Tim Imparsial dalam Peran Internal Militer: Problem Tugas Perbantuan TNI (2019). Banyaknya jabatan yang diduduki militer itu menjadi bukti perwujudan dwifungsi TNI pada masa Orde Baru.
Pada tahun 1966, anggota militer yang menduduki posisi strategis di jajaran lembaga eksekutif yakni sebanyak 12 orang dari 27 anggota kabinet, dan 11 orang menempati departemen-departemen yang mengurusi urusan sipil.
Di tingkat legislatif, terdapat sebanyak 75 anggota militer duduk mewakili posisi militer di DPR. Sedangkan di tingkat pemerintahan daerah, tahun 1968 sebanyak 68% gubernur dan 59% bupati di Indonesia berasal dari anggota militer.
Peningkatan signifikan terjadi pada 1970. Sebanyak 92% gubernur di Indonesia dijabat oleh anggota militer. Kemudian di tahun 1973, sebanyak 400 anggota militer dikaryakan di tingkat pusat, dengan 13 orang menduduki jabatan menteri, serta 22 dari 27 gubernur di Indonesia dijabat oleh militer.
Pasca Pemilihan Umum (Pemilu) 1987, sebanyak 80% anggota DPR berasal dari Fraksi ABRI dan sebanyak 34 perwira senior menjadi anggota DPR melalui Fraksi Golkar. Lantas, sebanyak 120 anggota militer terpilih sebagai pimpinan Golkar daerah dan hampir 70% wakil daerah dalam kongres nasional Golkar berasal dari militer. Lalu, jumlah fraksi ABRI di DPR juga meningkat dari 75 menjadi 100.
Menurut Basuki Agus Suparno dalam Reformasi & Jatuhnya Soeharto (2012), dwifungsi ABRI tidak dapat dipisahkan dari konsepsi yang diungkapkan Jenderal AH Nasution, yang juga disebut sebagai ‘Jalan Tengah’.
Konsep Jalan Tengah oleh Nasution muncul seiring dengan berlakunya Undang-undang Keadaan Darurat Perang pada 1957. Jalan Tengah, dapat diartikan untuk memberikan peluang bagi militer, berperan terbatas dalam pemerintahan sipil.
Menurut Tim Imparsial dalam Peran Internal Militer: Problem Tugas Perbantuan TNI (2019), Keterlibatan militer semakin terlihat, ketika TNI AD mengadakan Seminar II pada Agustus 1966. Momentum itu menjadi salah satu dasar perumusan arah Orde Baru.
Seminar tersebut juga mendorong kembali konsep Jalan Tengah yang dicetuskan oleh Nasution, serta konsep dwifungsi. Konsep Dwifungsi ini dipercaya terbentuk dengan sendirinya sebagai hasil evolusi doktrin (Tim Imparsial, 2019).
Dwifungsi ABRI kemudian terlegitimasi dengan produk hukum, seperti Ketetapan MPRS No. II Tahun 1969 hingga Ketetapan MPR No. IV Tahun 1978, juga Undang-undang No. 82 Tahun 1982.
Dampak Dwifungsi ABRI
Pemerintah, DPR, hingga TNI, beberapa kali menegaskan bahwa Revisi UU TNI 34/2004 yang bergulir saat ini, tidak akan membangkitkan dwifungsi militer. Di samping itu, supremasi sipil diklaim tetap dikedepankan dalam pembahasan RUU.
"Soal kekhawatiran menyangkut soal dwifungsi ABRI itu terjawab, bahwa itu sama sekali tidak benar," kata Menkum Supratman Andi Agtas, dikutip dari ANTARA, Selasa (18/3/2025).
Kendati begitu, RUU TNI menimbulkan gelombang penolakan, terutama dari masyarakat sipil. Kekhawatiran terhadap dwifungsi TNI dan terganggunya supremasi sipil, menjadi dasar penolakan sejumlah pihak.
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dalam pernyataan resminya, menyebutkan bahwa dwifungsi dikhawatirkan menimbulkan banyak dampak. Seperti dapat merebut jabatan sipil, hingga memarginalkan ASN dan Perempuan dalam akses posisi-posisi strategis.
Kekhawatiran yang sama juga juga dinyatakan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dalam pernyataan resminya. Dwifungsi TNI dianggap sebagai ancaman demokrasi, juga profesionalisme TNI.
Salah satu contoh nyata yang dijabarkan YLBHI, ialah ihwal pengawasan dalam penegakan hukum. YLBHI mencontohkan hal tersebut, dalam konteks militer melakukan penanganan narkotika, yang dianggap dapat membuat TNI dapat terlibat dalam penegakan hukum yang bukan tupoksinya.
“Hal ini sangat beresiko, mengingat tidak adanya mekanisme pengawasan dalam peradilan militer TNI terhadap kewenangan tersebut. Jika terlibat tindak pidana umum, pelanggaran HAM, termasuk korupsi yang dilakukan anggota TNI akan diserahkan yurisdiksi ke pengadilan militer, padahal semestinya harus diadili melalui pengadilan umum,” tulis YLBHI.
Contoh konkret lain, misalnya jika militer aktif masuk ke Kejaksaan Agung atau Mahkamah Agung. Hal ini disebutkan YLBHI dapat mengganggu independensi sistem peradilan Indonesia dan membuat TNI menjadi kebal hukum.
Sementara itu, Ahmad Yani Basuki dalam Reformasi TNI (2013) mengungkapkan beberapa dampak dari dwifungsi ABRI selama diimplementasikan. Beberapa di antaranya ialah:
- Semakin dominannya ABRI dalam arena politik, membentuk ekses negatif dalam kehidupan politik dan demokrasi di Indonesia.
- Terbaginya peran dan tugas ABRI pada bidang Hankam dan Sospol (yang cenderung dominan) berpengaruh langsung pada tingkat profesionalisme ABRI.
- Secara kualitatif dan kuantitatif ABRI menjadi kekuatan dominan dalam kehidupan nasional, kekuatannya yang dominan cenderung menghegemoni dan mengkooptasi komponen bangsa lainnya.
- Implementasi Dwifungsi ABRI telah menyebabkan timbulnya ekses-ekses negatif dalam kehidupan nasional.
- Dengan dwifungsinya, ABRI memperluas wilayah pengaruhnya dari dari kekuatan (forces) menjadi kekuasaan (power)
Editor: Fitra Firdaus