tirto.id - Agenda revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) kembali bergulir di parlemen. Opsi melanjutkan kembali pembahasan revisi UU TNI dilempar oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR. Revisi UU TNI sempat melesat kencang jelang akhir periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi, tetapi gagal berhasil karena diprotes masyarakat sipil.
Ketua Baleg DPR RI, Bob Hasan, menyatakan surat presiden revisi UU TNI sudah masuk ke DPR. Anggota DPR dari Fraksi Partai Gerindra itu mengatakan, agenda revisi ini sendiri sudah disepakati menjadi rancangan undang-undang (RUU) usul inisiatif DPR di periode sebelumnya.
“Sudah ini [akan dilanjutkan], surpresnya sudah masuk,” kata Bob di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (24/10/2024).
Wakil Ketua Komisi I DPR, Dave Laksono, menyampaikan nasib RUU TNI tergantung hasil rapat dengan Menteri Pertahanan (Menhan), Sjafrie Sjamsoeddin. Politisi Golkar itu menyebut, pembahasan RUU TNI akan dilanjutkan sambil menyesuaikan kembali pasal dan frasa demi frasa agar tak menimbulkan banyak tafsir.
Dave menilai, Komisi I DPR mulai melakukan rapat perdana dengan mitra kerja setelah menteri Kabinet Merah Putih selesai pembekalan di Magelang. Senada dengan Bob, Dave menyatakan pembahasan revisi UU TNI menunggu rapat dengan Kemhan.
“Kemarin [periode 2019-2024] itu seperti dibahas, seperti revisi undang-undangnya, apakah mau dilanjutkan. Nanti kita lihat seperti apa,” kata Dave.
Reporter Tirto sudah berupaya menghubungi Juru bicara Kemenhan periode 2019-2024 sekaligus Juru Bicara Presiden Prabowo Subianto, Dahnil Anzar Simanjuntak, untuk meminta tanggapan pemerintah terkait rencana melanjutkan revisi UU TNI. Namun, Dahnil belum merespons pertanyaan Tirto hingga berita ini ditayangkan.
Revisi UU TNI memantik gelombang penolakan dari masyarakat sipil sebab mencantumkan pasal yang memperluas kewenangan prajurit aktif di jabatan sipil. Bayang-bayang dwifungsi ABRI memang menghantui agenda revisi UU TNI. Dikhawatirkan supremasi sipil yang lahir dari rahim Reformasi tercerai-berai kembali.
Dalam draf revisi UU TNI pasal 47 ayat 2 tercantum, bahwa prajurit aktif dapat menduduki jabatan di kementerian/lembaga yang butuh tenaga dan keahlian prajurit aktif sesuai dengan kebijakan Presiden. Dengan begitu, presiden dapat melahirkan kebijakan yang membuka penempatan prajurit TNI aktif di kementerian dan lembaga di luar yang tercantum di UU TNI.
Peran militer di ranah sipil berpotensi menguat seiring rencana dengan perluasan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) dalam revisi UU TNI. Selain itu, potensi berperan menjadi penegak hukum yang melenceng jauh dari tugas dan fungsi pokok TNI sebagai garda terdepan pertahanan bangsa.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Dimas Bagus Arya, tidak heran bila revisi UU TNI kembali digulirkan di awal pemerintahan baru. Ia sudah membaca manuver itu dari penundaan pembahasan revisi UU TNI pada periode DPR 2019-2024 yang tidak disertai komitmen untuk mengevaluasi ulang draf RUU.
“Tentu kemudian menjadi cepat karena memang tidak ada satu intensi atau tidak ada satu motif untuk kemudian dapat meninjau ulang draf yang ada,” kata Dimas kepada reporter Tirto, Jumat (25/10/2024).
Menurut Dimas, draf RUU TNI masih memuat dua pasal bermasalah yang akan membuat reformasi di tubuh TNI mundur ke belakang. Pertama, kehadiran pasal perpanjangan masa pensiun bagi sejumlah perwira tinggi dan panglima. Hal ini dapat dilihat pada usulan perubahan Pasal 53 Ayat (2) yang menambah masa usia pensiun dari 58 tahun menjadi 60 tahun bagi perwira dan dari 53 tahun menjadi 58 tahun bagi bintara dan tamtama.
“Menurut hemat kami itu akan mengganggu jalannya regenerasi yang ada di tubuh TNI,” ujar Dimas.
Ia menilai, sampai saat ini masih ada masalah klasik surplus di level perwira menengah dan perwira tinggi yang terjadi di tubuh TNI. Perpanjangan usia pensiun mengakibatkan terjadi perlambatan pensiun yang berdampak pada macetnya jenjang karier dan kepangkatan. Kondisi ini justru melahirkan surplus perwira TNI tanpa jabatan. Selain itu, kondisi ini juga semakin membuka opsi untuk memberikan para perwira tanpa jabatan ini menduduki jabatan di sektor sipil.
“Yang paling buruk mengakibatkan kecemburuan di sejumlah perwira-perwira menengah perwira tinggi yang tidak punya akses politik,” ucap Dimas.
Pasal kedua yang dipandang bermasalah oleh Dimas adalah perluasan peran TNI di ranah sipil. Hal ini akan berimplikasi langsung terhadap kehidupan demokrasi secara luas. Utamanya, ketika mengacu pada amanat reformasi pada tubuh TNI dan sektor keamanan.
Klausal dimana presiden bisa menarik prajurit TNI ke ranah sipil jika dibutuhkan, dinilai bisa ditafsirkan secara serampangan.
TNI semestinya menjalankan mandat reformasi sesuai UU TNI dengan tunduk pada tugas pokok pertahanan menjaga kedaulatan negara. Dimas menilai, DPR periode 2024-2029 sebagai representasi sektor sipil harus mengevaluasi dan meninjau ulang draf RUU TNI.
“Penempatan militer dalam jabatan sipil tentu sangat-sangat tidak kompatibel,” ucap Dimas.
Utamakan Agenda Reformasi
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhamad Isnur, menilai alih-alih merevisi UU TNI dengan memperluas kewenangan prajurit, sebaiknya DPR dan pemerintah menjalankan reformasi sistem peradilan militer. Reformasi sistem peradilan militer dilakukan dengan merevisi UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer dan merupakan satu mandat reformasi 1998 yang belum dijalankan.
Padahal, kata Isnur, agenda reformasi peradian menjadi salah satu jantung dari reformasi TNI. Selama peradilan militer belum direformasi, selama itu pula proses reformasi TNI belum selesai.
Selama ini, dalam kacamata Isnur, TNI memiliki rezim hukum sendiri di mana anggota TNI yang melakukan tindak pidana umum diadili oleh jaksa dan hakim dari kalangan militer sendiri. Dalam praktiknya, peradilan militer menjadi kolam impunitas bagi prajurit yang melakukan tindak pidana.
“Kalaupun ada hukuman terhadap anggota militer yang melakukan tindak pidana, seringkali sanksi yang dijatuhkan tidak maksimal,” ujar Isnur kepada reporter Tirto, Jumat (25/10).
Menurut Isnur, kontrol sipil yang lemah di parlemen terhadap TNI menjadi faktor utama tersendatnya agenda reformasi TNI. Hal ini dapat dilihat dalam pelibatan TNI dalam program food estate dan program-program lain yang jauh dari jati diri TNI sebagai alat pertahanan negara untuk menghadapi ancaman perang.
Parlemen juga gagal menjalankan fungsi pengawasan dan kontrolnya secara maksimal. Alih-alih melakukan kontrol efektif, DPR malah menggolkan undang-undang bermasalah seperti UU PSDN (Komcad) dan revisi UU TNI yang berpotensi menghidupkan dwifungsi.
“Selain itu banyak penyimpangan seperti dalam sektor pertahanan operasi militer ilegal di Papua dan kekerasan terhadap warga sipil juga luput dari pengawasan,” ujar Isnur.
Peneliti Reformasi Sektor Keamanan dan Human Security SETARA Institute, Ikhsan Yosari, menilai agenda reformasi TNI seharusnya menjadi aspek paling utama dan mendapat perhatian publik. Hadirnya pembahasan revisi UU TNI di era Presiden Prabowo dilihat akan semakin membuka ruang perluasan jabatan sipil bagi prajurit aktif.
Gejala ini sudah muncul dengan kontroversi Pengangkatan Mayor Teddy sebagai Sekretaris Kabinet (Seskab) yang tak sesuai dengan ketentuan Pasal 47 ayat (1) UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Mayor Teddy disebut tidak diharuskan mundur dari TNI selama menjadi seskab pemerintahan Prabowo.
“Baik pemerintah maupun DPR semestinya mengambil pembelajaran dari wacana revisi UU TNI sebelumnya yang banjir penolakan dari berbagai elemen masyarakat, sebab berpotensi membuka ruang-ruang untuk militer kembali ber-dwifungsi,” ucap Ikhsan kepada reporter Tirto, Jumat (25/10/2024).
DPR perlu mengambil peran melalui fungsi legislasinya untuk memastikan revisi UU TNI tidak bertentangan dengan semangat reformasi dan konstitusi. Keduanya memandatkan militer fokus menjadi alat pertahanan negara. Begitu juga pemerintah, kata Ikhsan, untuk menghormati dan mendorong agenda reformasi militer.
“Jangan mengeluarkan kebijakan-kebijakan regresif terhadap reformasi TNI sebagaimana persoalan pengangkatan militer aktif sebagai Seskab,” ucap Ikhsan.
Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PDIP, TB Hasanuddin, mengaku Komisi I tidak mau menjadi pemrakarsa pembahasan UU Nomor 34 Tahun 2024. Pernyataan ini disampaikan Hasanuddin merespons sinyal UU TNI yang akan lanjut dibahas di DPR.
"Kita tidak terburu-buru," kata Hasanuddin saat dihubungi Tirto, Jumat (25/10/2024).
Hasanuddin ingin revisi UU muncul dari pemerintah selaku pihak yang menjalankan produk yang dibuat legislatif. Menurut purnawirawan TNI ini, pembahasan RUU TNI oleh Baleg periode lalu, tak jelas inisiatornya.
Hasanuddin menginginkan agar revisi UU TNI kembali dari nol bila memang hendak lanjut dibahas. Hasanuddin mengklaim, hingga kini belum ada usulan dari pemerintah dalam hal ini Kementerian Pertahanan ihwal rencana untuk melanjutkan pembahasan revisi UU TNI.
“Saya berharap sebuah revisi undang-undang itu datangnya dari pemerintah, Karena pemerintah, lah, yang melaksanakan undang-undang itu," ucapnya.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Andrian Pratama Taher