Menuju konten utama

Moeldoko Bantah Revisi UU TNI Jadikan Prajurit Boleh Berbisnis

Menurutnya, TNI telah terikat dengan reformasi internal sehingga tidak perlu khawatir bahwa TNI akan kembali berbisnis seperti di era Orde Baru.

Moeldoko Bantah Revisi UU TNI Jadikan Prajurit Boleh Berbisnis
Moeldoko, di Istana Kepresidenan, Kamis (20/6/2024). tirto.id/Irfan Amin

tirto.id - Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko, membantah bahwa revisi UU TNI bertujuan untuk membolehkan prajurit aktif berbisnis. Menurutnya, hal itu tidak benar karena secara doktrin yang telah dibentuk sejak era reformasi, TNI telah dilarang untuk berbisnis.

"Saya secara pribadi tidak setuju TNI boleh berbisnis. Nanti, gimana urusan pekerjaannya. TNI professional jangan bergeser dari itu," kata Moeldoko di Kantor Staf Kepresidenan, Senin (22/7/2024).

Oleh karena itu, Moeldoko meminta masyarakat tidak perlu khawatir dengan revisi UU TNI. Menurutnya, TNI telah terikat dengan reformasi internal sehingga tidak perlu khawatir bahwa TNI akan kembali berbisnis seperti di era Orde Baru.

"Saya selalu mengatakan masyarakat jangan terlalu khawatir bahwa TNI akan kembali [berbisnis]. Karena, di dalam reformasi internal TNI itu ada tiga [prinsip]. Satu, struktur yang berkaitan dengan dwifungsi itu tidak ada, jadi itu sudah selesai. Berikutnya doktrin. Begitu UU-nya seperti itu, doktrin di bawahnya akan mengikuti," kata dia.

Moeldoko menyampaikan bahwa UU TNI saat ini diharapkan dapat membuat para prajurit semakin profesional dalam bekerja. Oleh karenanya, UU TNI menjadi acuan agar semakin profesional, termasuk dari segi kesejahteraan dan peningkatan anggaran alutsista.

"Sekarang, justru TNI yang menginginkan jadikan kami prajurit yang profesional, syaratnya apa? Supaya kebutuhan alutsistanya dilengkapi kesejahteraannya juga diperbaiki," kata dia.

Sebelumnya, Koordinator KontraS, Dimas Bagus Arya, menyebut salah satu permasalahan dalam revisi UU TNI salah satunya adalah penghapusan Pasal 39 Huruf C tersebut. Penghapusan pasat tersebut berpotensi dapat melegalkan praktik bisnis keamanan yang selama ini terjadi, khususnya di sektor sumber daya alam.

Sebut saja, kata dia, pengamanan PT. Freeport Indonesia di Papua, Pengamanan PT. Dairi Prima Mineral di Sumatera Utara, Pengamanan PT. Inexco Jaya Makmur di Sumatera Barat (2018), Pengamanan PT. Duta Palma, Kalimantan Barat (2024).

Termasuk, keterlibatan dalam perampasan tanah adat Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI) oleh PTPN II di Sumatera Utara (2020), Proyek Strategis Nasional (PSN) Bendungan Bener, Wadas (2021), PSN Smelter Nikel CNI Group, Sulawesi Tenggara (2022), PSN Rempang Eco City, Batam (2023), hingga PSN Bendungan Lau Simeme, Sumatera Utara (2024).

Praktik pengamanan ini menurut catatan Koalisi Masyarakat Sipil akan meletakan prajurit TNI berhadapan secara langsung dengan masyarakat yang sedang bersengketa dengan perusahaan, tidak jarang praktik pengamanan menimbulkan kekerasan.

Menurut Dimas, sudah selayaknya yang dilakukan negara bukanlah merevisi UU TNI dengan mencabut larangan berbisnis, tapi memastikan kesejahteraan prajurit terjamin dengan dukungan anggaran negara bukan dengan memberikan ruang prajurit TNI untuk berbisnis.

"Praktik ini terbukti menyebabkan profesionalisme prajurit menjadi rusak seperti era Orde Baru. Selain itu, militer harus jelas alokasi anggaran pertahanannya untuk memastikan alutsista yang modern dan kesejahteraan prajurit," kata Dimas Selasa (16/7/2024).

Baca juga artikel terkait REVISI UU TNI atau tulisan lainnya dari Irfan Amin

tirto.id - Politik
Reporter: Irfan Amin
Penulis: Irfan Amin
Editor: Fadrik Aziz Firdausi