Menuju konten utama
Revisi UU TNI

Agenda Reformasi TNI Makin Jauh Bila Prajurit Boleh Berbisnis

Wacana agar TNI terlibat dalam sektor bisnis dinilai sebagai ancaman terhadap demokrasi dan dunia bisnis itu sendiri.

Agenda Reformasi TNI Makin Jauh Bila Prajurit Boleh Berbisnis
Prajurit TNI AD mengikuti apel gelar pasukan dalam rangka kesiapan pengamanan KTT World Water Forum ke-10 di kawasan Renon, Denpasar, Bali, Senin (13/5/2024). ANTARA FOTO/Fikri Yusuf/rwa.

tirto.id - Wacana menghapus larangan prajurit terlibat aktivitas bisnis tiba-tiba muncul dalam agenda revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Padahal, seruan menghentikan proses revisi UU TNI masih berdatangan sebab dinilai bakal membuat kewenangan militer meluas di kementerian/lembaga dan ranah sipil. Jika usulan berbisnis dikabulkan, maka agenda reformasi di tubuh TNI kian mundur ke belakang.

Mulanya, usulan ini muncul saat Dengar Pendapat Publik RUU TNI/Polri di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, Kamis pekan lalu. Kepala Badan Pembinaan Hukum (Kababinkum) TNI, Laksda Kresno Buntoro, jadi sosok yang melemparkan wacana ini.

Kresno memandang, larangan berbisnis seharusnya jangan menyasar prajurit, namun cukup terhadap institusi TNI. Dia mencontohkan, ada prajurit yang nyambi menjadi ojek daring atau prajurit yang punya usaha keluarga.

Atas alasan itu, pihak TNI menyarankan agar Pasal 39 huruf c dihapus dalam revisi UU TNI. Pasal ini memuat larangan-larangan bagi prajurit TNI aktif, salah satunya kegiatan bisnis. Larangan lainnya: ikut melakukan kegiatan politik praktis, menjadi anggota parpol, dan ikut mencalonkan diri menjadi peserta pemilu.

Direktur Eksekutif Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, menilai contoh-contoh kasus yang dipaparkan Laksda Kresno kurang relevan menjadi alasan menghapus Pasal 39 huruf c di UU TNI. Dia menilai, kegiatan yang dicontohkan Kresno adalah aktivitas informal.

“Bisnis yang dimaksud dalam pasal itu [Pasal 39] adalah organisasi dan prajurit sebagai entitas korporasi,” kata Fahmi kepada reporter Tirto, Selasa (16/7/2024).

Fahmi menjelaskan, adanya larangan agar prajurit tidak ikut kegiatan bisnis dalam UU TNI justru memastikan bahwa fokus utama organisasi TNI dan para prajurit tetap pada tugas pokoknya. Tugas pokok tersebut yaitu menegakkan kedaulatan, mempertahankan keutuhan negara, melindungi keselamatan bangsa dan menjaga keamanan nasional.

Keterlibatan dalam sektor bisnis juga berpotensi mengalihkan serta memecah perhatian dan sumber daya TNI dari tugas pokok. Keterlibatan TNI dalam kegiatan bisnis juga memantik konflik kepentingan. Terutama ketika kebijakan, keputusan dan langkah yang diambil TNI dipengaruhi oleh kepentingan bisnis daripada kepentingan nasional.

“Untuk memastikan profesionalisme, pemeliharaan kemampuan dan efisiensi, TNI perlu fokus pada fungsinya sebagai komponen utama pertahanan,” ujar Fahmi.

Keterlibatan TNI dalam aktivitas bisnis turut menghadirkan risiko penggunaan informasi dan sumber daya strategis demi urusan pribadi atau kelompok semata. Hal ini tentu berpotensi mengancam keamanan nasional.

Sementara itu, Fahmi memandang keterlibatan dalam kegiatan bisnis jelas-jelas membuka peluang terjadinya tindak pidana korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Permasalahan ini justru akan merusak citra, integritas dan kepercayaan publik pada institusi TNI.

“Kalaupun perlu diubah, saya kira justru mestinya untuk memperjelas dan mempertegas batasan ruang lingkup dan ancaman sanksi jika dilanggar. Supaya larangan itu tidak multitafsir atau bahkan diabaikan,” ungkap Fahmi.

Fahmi menyadari wacana menghapus larangan TNI terlibat aktivitas bisnis berkaitan dengan isu kesejahteraan prajurit. Kendati demikian, pemenuhan anggaran dan kesejahteraan prajurit TNI adalah kewajiban serta tanggung jawab negara sebagaimana diatur UU TNI.

“Itu PR pemerintah, bukan PR TNI. Tugas publik justru adalah memastikan agar pemerintah mampu memenuhi kebutuhan TNI secara proporsional dan akuntabel, supaya tugas pokok dapat berjalan baik,” jelas Fahmi.

Pemberangkatan Satgas Rim Of The Pacific

Sejumlah prajurit Korps Marinir TNI AL meneriakkan Yel Yel saat upacara pemberangkatan Satgas Rim Of The Pacific 2024 di Koarmada II, Surabaya, Jawa Timur, Jumat (31/5/2024). ANTARA FOTO/Didik Suhartono/Spt.

Peneliti Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia, Beni Sukadis, menilai usulan baru dalam agenda revisi UU TNI di mana prajurit dapat kembali terlibat bisnis atau kegiatan ekonomi lainnya, telah melanggar UUD 1945 Pasal 30 dan Pasal 2 (d) di UU TNI. Alasannya, usulan tersebut melanggar hakikat atau jati diri serta fungsi utama TNI sebagai alat pertahanan negara.

“Sehingga melihat kerangka hukum ini, secara logis menunjukkan bahwa keterlibatan TNI dalam bisnis menyalahi aturan dan keluar dari tugas pokok utamanya di bidan pertahanan negara sesuai Pasal 5 dan Pasal 6 UU Nomor 34/2004 [tentang TNI],” kata Beni kepada reporter Tirto, Selasa (16/7/2024).

Secara prinsip, kata Beni, institusi militer di negara mana pun seharusnya mendorong diri agar bekerja lebih profesional. Hal tersebut dilakukan dengan cara meningkatkan kapasitas prajurit dan organisasi lewat latihan secara berkelanjutan dan konsisten.

“Karena tanggung jawab yang besar di bidang pertahanan negara, semestinya tidak bisa disambi dengan pekerjaan lain atau diluar tugas pokok,” jelas Beni.

Dengan demikian, keterlibatan dalam kegiatan di luar fungsi utama TNI sebagai pertahanan negara akan semakin menghambat profesionalitas. Kegiatan bisnis semakin mengaburkan fokus TNI terhadap tanggung jawab mempertahankan dan melindungi negara dari ancaman.

“Dapat dikatakan wacana agar TNI bisa berbisnis adalah suatu pengkhianatan dalam cita-cita reformasi yang diperjuangkan baik oleh kelompok sipil dan para perwira yang dulu mendorong reformasi internal TNI,” tegas Beni.

Langkah Mundur Reformasi TNI

Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, memandang wacana agar TNI terlibat dalam sektor bisnis sebagai ancaman terhadap demokrasi dan dunia bisnis itu sendiri. Isnur menilai, tentara sejak awal dilatih dan didik menjadi profesional dalam bidang pertahanan negara, bukan berdagang di sektor bisnis.

“Wacana ini sebuah kemunduran yang sangat membahayakan bagi demokrasi,” kata Isnur kepada reporter Tirto.

Tugas pokok dan fungsi TNI akan semakin terganggu karena prajurit bakal teralihkan sibuk mencari duit. Di sisi lain, profesionalitas TNI jadi semakin kabur sebab dapat menaruh kepentingan dalam aktivitas ekonomi.

Isnur mengingatkan, sebelum lahir agenda reformasi yang menghapuskan dwifungsi ABRI, keterlibatan tentara di sektor bisnis faktanya membawa banyak mudarat. Figur militer jadi menempati banyak posisi perusahaan pelat merah dan turut campur dalam aktivitas bisnis swasta. Misalnya, sebelum lahir aturan mengharamkan bisnis bagi TNI, koperasi-koperasi milik angkatan bersenjata banyak terlibat dalam dunia bisnis properti dan logistik.

“Tentara berbisnis dengan senjata artinya terjadi tindakan yang tidak fair. Bisnis lain atau pengusaha lain akan berusaha dengan produk dan campaign yang bagus, tapi akan kalah oleh akses kekuasaan dan ancaman senjata,” jelas Isnur.

Isnur menyatakan, kesejahteraan prajurit sudah seharusnya jadi tanggung jawab negara bukan dibebankan pada para prajurit atau TNI. Masalahnya, kata dia, saat ini kesejahteraan prajurit masih bertumpuk pada para jenderal sementara prajurit di bawah masih kekurangan.

Perlu pembenahan tata kelola anggaran serta pemerataan kesejahteraan bagi prajurit TNI. Selain itu, berantas segala dugaan praktik korupsi yang ada di tubuh TNI.

“Jangan sampai kesejahteraan hanya bertumpuk pada jenderal-jenderal yang sangat kaya. Tidak meraba prajurit yang miskin-miskin,” ucap Isnur.

Sementara itu, Peneliti HAM dan Sektor Keamanan dari SETARA Institute, Ikhsan Yosarie, menilai wacana agar menghapus larangan berbisnis bagi TNI akan menambah pasal-pasal problematis dalam agenda revisi UU TNI. Dari semula meliputi dua pasal bermasalah, yakni Pasal 47 terkait perluasan peran TNI dalam jabatan sipil serta Pasal 53 mengenai batas usia dinas keprajuritan, jadi bertambah Pasal 39 mengenai revisi larangan bagi prajurit TNI.

Sorotan utama, kata Ikhsan, ada dalam usulan revisi Pasal 39 soal penghapusan larangan berbisnis bagi prajurit TNI dan Pasal 47 yang membuka ruang perluasan bagi prajurit duduk di jabatan sipil tanpa melalui mekanisme pensiun dini.

“Usulan perubahan pada dua Pasal ini berpotensi memutar balikkan arah reformasi militer dan cita-cita amanat reformasi yang selama ini terus dirawat,” terang Ikhsan.

Usulan perubahan pada pasal-pasal tersebut juga dinilai kontradiktif dan tidak relevan dengan upaya penguatan TNI. Usulan penghapusan larangan kegiatan bisnis bagi prajurit TNI justru dapat menebalkan keterlibatan prajurit TNI pada bidang-bidang di luar pertahanan negara.

“[Usulan ini] Memberi legitimasi aktivitas komersial prajurit TNI dan potensi pemanfaatan aspek keprajuritan untuk hal-hal di luar pertahanan negara,” jelas Ikhsan.

Selain itu, penambahan ketentuan Pasal 47 ayat (2) dalam revisi UU TNI akan meruntuhkan pembatasan jabatan yang bisa diduduki TNI di sejumlah kementerian/lembaga. Perubahan yang diusulkan berupa penambahan ketentuan bahwa prajurit aktif menduduki jabatan pada kementerian/lembaga yang membutuhkan tenaga dan keahlian prajurit aktif sesuai dengan kebijakan presiden.

“Meskipun tidak berkaitan dengan politik praktis secara langsung, tetapi perluasan jabatan sipil bagi prajurit TNI dapat membuka ruang terjadinya politik akomodasi bagi militer,” terang Ikhsan.

Raker rencana misi kemanusiaan Indonesia untuk Palestina

Ketua Komisi I DPR RI Meutya Hafid memimpin rapat kerja antara DPR, Kementerian Pertahanan, Kemenkeu, dan TNI di kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (6/6/2024). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/Spt.

Respons Komisi I DPR

Anggota Komisi I bidang keamanan DPR RI dari Fraksi PDIP, TB Hasanuddin, menolak usulan TNI terlibat kembali dalam sektor bisnis. Dia mengatakan, usulan ini dikhawatirkan akan melibatkan TNI ke aktivitas bisnis yang berisiko, seperti bisnis senjata.

“Menurut hemat saya, nggak bisa. Kalau nanti atas dasar jualan kerupuk dan terasi, kemudian TNI dibebaskan untuk bisnis. Kalau misalnya perusahaan yang jualan senjata ikut tender, ngeri juga,” kata Hasanuddin saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (16/7/2024).

Sebagai informasi revisi UU TNI telah disetujui DPR RI menjadi RUU usul inisiatif dewan. Pemerintah sendiri sudah mengeluarkan surpres. Namun belum ada DIM yang disertakan pihak pemerintah dalam agenda revisi UU TNI hingga saat ini.

“Kalau yang saya dengar, itu istilahnya semua saja diusulkan untuk bebas berbisnis, oh enggak bisa,” ujar Hasanuddin yang juga pensiunan TNI ini.

Ketua Komisi I DPR RI, Meutya Hafid, turut menegaskan usulan prajurit TNI boleh berbisnis tidak masuk dalam draf revisi UU TNI yang dibahas di parlemen. Politikus Partai Golkar itu menerangkan, prajurit TNI aktif memang seharusnya dilarang berbisnis.

“Tidak ada [usulan itu] di draf,” kata dia saat dikonfirmasi.

Sebelumnya, Kepala Badan Pembinaan Hukum TNI, Laksamana Muda Kresno Buntoro, menyampaikan pandangan TNI saat agenda dengar pendapat publik revisi UU TNI. Kresno menyatakan revisi UU TNI memang dibutuhkan untuk menyesuaikan dengan hukum yang berlaku.

Dia menambahkan, panglima TNI memang menitip pesan agar ada beberapa pasal yang perlu diubah atau diperjelas dalam naskah akademik RUU TNI. Salah satunya, TNI ingin menghapus Pasal 9 huruf c UU TNI soal larangan prajurit terlibat dalam kegiatan bisnis.

“Kami sarankan ini dibuang, mestinya yang dilarang institusi TNI berbisnis,” kata Kresno.

Baca juga artikel terkait REVISI UU TNI atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz