Menuju konten utama

Aplikasi Bertajuk Seksisme Cerminan Dangkal Etika Birokrat Kita

Aplikasi-aplikasi dengan penamaan bernada seksisme telah mengabaikan profesional etis, yakni kepantasan dan kepatutan.

Aplikasi Bertajuk Seksisme Cerminan Dangkal Etika Birokrat Kita
Ilustrasi jaringan global di tangan Teknologi dan struktur jaringan dan komunikasi pertukaran data. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Warganet belakangan ini dibuat tak habis pikir dengan viralnya nama-nama aplikasi layanan digital milik sejumlah instansi pemerintah dengan nama nyeleneh. Bukannya mengundang perhatian baik, tajuk belasan aplikasi milik pemda itu justru bernada seksisme dan tampak tak menunjukkan kepantasan di level birokrasi.

Misalnya, ada aplikasi SiPEPEK milik Pemkab Cirebon, yang merupakan kependekan kata dari Administrasi Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial. Aplikasi ini dirilis Dinas Sosial Kabupaten Cirebon untuk mempermudah masyarakat dalam mengurus administrasi bantuan sosial.

Adapula Simontok, singkatan dari Sistem Monitoring Stok dan Kebutuhan Pangan Pokok yang dimiliki oleh Pemerintah Kota Solo atau Surakarta. Simontok merupakan aplikasi yang ditujukan untuk melakukan monitoring stok dan kebutuhan pangan di wilayah Surakarta.

Tak mau kalah, Pemkab Pemalang punya Sisemok, atau Sistem Informasi Organisasi Kemasyarakat. Sisemok digunakan untuk melayani masyarakat yang ingin melakukan pengajuan terkait partai politik, ormas, dan yayasan di wilayah tersebut. Aplikasi ini dibuat saat masa Covid-19, sebagai upaya mempercepat proses pelayanan tanpa harus kontak langsung.

Dinas Perkebunan dan Peternakan Kalimantan Selatan juga punya aplikasi yang bikin geleng-geleng kepala, namanya SISKA KU INTIP. Kepanjangannya adalah Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi Berbasis Kemitraan Usaha Ternak Inti – Plasma. SISKA KU INTIP tercatat pernah mendapatkan penghargaan Tanda Kehormatan Satya Lencana Wirakarya 2024 dari Presiden RI yang diserahkan kepada Gubernur Kalsel Bidang Pertanian.

Lebih lanjut, ada aplikasi Sistem Informasi Konsultasi Hukum Online (SITHOLE) milik Pengadilan Negeri Semarang. Ini adalah aplikasi berbasis web yang digunakan untuk mendapatkan layanan umum secara online. Layanan umum yang dimaksud termasuk mengajukan pertanyaan melalui teks, panggilan suara, atau panggilan video.

Masih ada sejumlah aplikasi lain dengan nama-nama nyeleneh dan bernada seksis. Tak ayal warganet mempertanyakan jalan pikir pemangku kebijakan dalam membuat aplikasi layanan digital. Tentu eksistensi aplikasi-aplikasi di atas punya tujuan baik, namun abai kepantasan dan profesionalitas dalam pelaksanaannya tentu sangat disayangkan.

Pengajar di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, merasa kesal dengan penamaan-penamaan aplikasi milik instansi pemerintah yang bernada seksisme. Bivitri menilai tak mengherankan jika masyarakat ikut kesal dan protes, sebab sikap para birokrat yang tidak sensitif dan tidak peka gender.

“Memang cara berpikirnya seksis dan tidak peduli sama tujuan. Jadi sangat bisa dipahami. Norak sih semuanya, sesederhana itu norak banget disangkanya [nama-nama] itu lucu,” ujar Bivitri kepada reporter Tirto, Rabu (10/7/2024).

Bivitri menduga orang-orang yang mengambil keputusan di balik nama-nama aplikasi seksisme itu adalah para kolot. Ini menggambarkan efek bahaya bila pengambil kebijakan tidak punya perspektif gender.

Jika dibiarkan terus, kata Bivitri, artinya memang secara institusional pemerintah tidak punya parameter perspektif gender dan ukuran kepantasan. Sebab ukurannya mestinya pelayanan publik yang di dalamnya termasuk soal-soal gender dan seksisme.

Di sisi lain, polemik penamaan aplikasi ini juga mencerminkan kurang cakapnya instansi pemerintah melaksanakan transformasi layanan digital. Digitalisasi dipahami sebatas bikin aplikasi-aplikasi baru. Padahal, digitalisasi dimaksudkan untuk membuat layanan publik jadi lebih efisien dan memutus proses yang berlapis-lapis.

“Mereka akhirnya berlomba-lomba bikin aplikasi, bukannya membicarakan soal bagaimana memperbaiki pelayanannya itu sendiri dan memperbaiki ekosistemnya,” kata Bivitri.

Bivitri memandang para birokrat perlu mendapatkan materi kebijakan berperspektif gender di instansi. Selain itu, perlu ada kematangan berpikir seperti birokrat sejati yang lebih logis dan tak asal jalan ketika menerima perintah.

“Mending dikurangi militeristik-militeristik. Ngapain dikasih beberapa jam baris-baris upacara bendera, lebih baik dikasih training persoalan gender dan kelompok minoritas,” terang dia.

Sementara itu, Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi, menilai aplikasi-aplikasi bertajuk nyeleneh tentu wajar bila memantik keberatan masyarakat. Terlebih aplikasi-aplikasi milik pemerintah itu bernada vulgar dan mengobjektifikasi tubuh perempuan.

“Aplikasi itu juga ada yang menggunakan kata-kata negatif dan berkonotasi kekerasan seperti intip. Perancang aplikasi tidak sensitif dan tidak menjalankan kewajibannya untuk menghapus prasangka gender dan tidak melakukan diskriminasi terhadap perempuan,” kata Siti Aminah kepada Tirto.

Komnas Perempuan mendesak institusi pemerintah yang menggunakan nama-nama seksisme dan vulgar segera memperbaiki aplikasi milik mereka. Seharusnya, kata dia, dalam proses perencanaan pembuatan aplikasi atau program layanan publik turut menggunakan analisis gender.

“Melibatkan ahli komunikasi publik, sosiologi, gender dan bahasa,” ujar Siti Aminah.

Abai Profesionalitas

Peneliti bidang sosial dari The Indonesian Institute (TII), Dewi Rahmawati Nur Aulia, menilai, aplikasi-aplikasi dengan penamaan bernada seksisme telah mengabaikan profesional etis, yakni kepantasan dan kepatutan. Aparatur pemerintah seharusnya menjunjung tinggi prinsip-prinsip moralitas terutama dalam memberikan layanan publik.

“Ini jelas menunjukkan ketidakprofesionalan aparat dalam penyelenggaraan sistem pemerintahan,” kata Dewi kepada reporter Tirto, Rabu (10/7/2024).

Pembiaran terus dilakukan ketika nama-nama aplikasi seksisme itu terus eksis, menunjukkan bahwa kesadaran pemerintah terhadap penegakan keadilan gender masih rendah. Padahal, hal tersebut seharusnya jadi landasan dalam pembentukan kebijakan di berbagai institusi pemerintahan.

Menurut Dewi, sistem aplikasi besutan pemerintah harus menjadi basis penyelenggaraan layanan publik yang transparan dan akuntabel. Selain itu, layanan publik lewat aplikasi diharapkan mampu menciptakan sistem birokrasi yang bekerja secara efektif dan efisien.

“Namun, kita perlu mengevaluasi kembali kebiasaan pemerintah membuat aplikasi, terutama dalam penyerapan anggaran. Saya menilai kebiasaan pemerintah ini cenderung akan membuka kesempatan terhadap penyalahgunaan anggaran keuangan negara,” ujar Dewi.

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, memandang pemberian nama aplikasi yang cenderung seksisme merupakan ekspresi rendahnya penghargaan instansi terkait terhadap isu-isu gender. Mereka, kata Lucius, terlihat seperti gerombolan orang yang menertawakan persoalan gender.

“Jadi saya kira sih ini ekspresi ketidakpahaman sekaligus ketidakpedulian pemda pada isu-isu terkait gender dan HAM umumnya,” terang Lucius kepada reporter Tirto.

Selain itu, polemik ini menunjukkan bahwa aplikasi besutan pemerintah terkesan dibuat asal jadi. Kesannya, para birokrat cuma berlomba-lomba membuat aplikasi dengan judul sarana komunikasi yang efektif tanpa mempertimbangkan efektivitas dan kelaikan platform tersebut.

“Ini hanya menjadi semacam proyek menghabiskan anggaran aja umumnya,” kata Lucius.

Reporter Tirto sudah berupaya meminta tanggapan pemerintah atas polemik ini lewat Deputi IV Kantor Staf Presiden (KSP), Wandy Tuturoong. Namun pria yang akrab disapa Binyo itu enggan memberikan komentar dan mengarahkan menanyakan persoalan ini kepada Kemendagri.

“Kalau Pemda sebaiknya ke Kementerian Dalam Negeri. Itu di bawah kewenangan mereka,” kata Binyo kepaad reporter Tirto, Rabu kemarin.

Sementara itu, Pelaksana Harian (Plh.) Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Kemendagari, Aang Witarsa Rofik dan Kepala Biro Data, Komunikasi dan Informasi Publik Kemenpan RB, Mohammad Averrouce, tidak merespons permintaan wawancara Tirto.

Di sisi lain, Ketua Komtap Cyber Security Awareness Asosiasi Pengusaha TIK Nasional (Aptiknas), Alfons Tanujaya, berpendapat persoalan ini turut berakar dari kebiasaan instansi pemerintah memproduksi aplikasi. Kebiasaan membuat aplikasi ini merupakan bentuk nyata pemborosan anggaran negara.

“Jelas ini memang merupakan pemborosan dan pemerintah memutuskan membuat PDN [Pusat Data Nasional] kan karena untuk menghemat, kita ada buat puluhan ribu aplikasi dan database sehingga dengan adanya PDN itu tujuannya kan supaya ada penghematan,” ujar Alfons kepada reporter Tirto.

Sayangnya, dalam pelaksanaannya PDN tidak dijaga dan dikelola dengan baik sehingga terjadi insiden peretasan yang hingga kini belum tuntas dibenahi. Menurut Alfons, pengelolaan pusat data adalah sesuatu yang sifatnya mendasar. Maka jika untuk hal yang mendasar saja masih kedodoran, bagaimana Indonesia mampu bersaing di era ke depan.

“Kalau bisa untuk hal yang berhubungan dengan digitalisasi [layanan publik] diserahkan kepada profesional dan utamakan milenial atau yang lebih muda agar dapat beradaptasi dengan perubahan yang sangat cepat,” ujar Alfons.

Baca juga artikel terkait APLIKASI atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Teknologi
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz