Menuju konten utama

Seleksi Anggota Baru BPK Harus Jadi Momentum Bebas Korupsi

Gagalnya BPK menghasilkan produk audit bebas kepentingan bermuara dari sistem seleksi pimpinannya yang minim akuntabilitas.

Seleksi Anggota Baru BPK Harus Jadi Momentum Bebas Korupsi
Gedung BPK RI. FOTO/Antaranews

tirto.id - Kita perlu mengapresiasi pesan Presiden Joko Widodo di depan anak buahnya yang menegaskan bahwa predikat wajar tanpa pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) merupakan sebuah kewajiban, bukan prestasi. Predikat opini WTP sudah semestinya dicapai instansi pemerintah di kementerian/lembaga atau level daerah, sebagai bentuk pertanggungjawaban mengelola duit negara.

“Kewajiban menggunakan APBN secara baik. Ini uang rakyat. Ini uang negara,” kata Jokowi dalam pidatonya di acara Penyampaian Laporan Hasil Pemeriksaan Atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2023 dan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester II Tahun 2023 di Jakarta Convention Center, Senin (8/7/2024).

Dalam acara itu, pemerintah Jokowi kembali mendapat predikat WTP dari BPK delapan kali berturut-turut. Jokowi juga mengingatkan anak buahnya di kementerian/lembaga agar patuh terhadap setiap rekomendasi yang diberikan BPK.

“Agar pengelolaan APBN dan APBD kita semakin hari, semakin tahun, makin baik,” ujar Jokowi.

Pesan Jokowi tentu perlu dijalankan seluruh jajaran instansi pemerintah agar tidak terjadi penyelewengan mengelola duit negara. Kendati demikian, wejangan Jokowi seakan menjadi ironi tersendiri bila menengok compang-campingnya kinerja BPK itu sendiri saat ini.

Sebab pada kenyataannya, BPK masih dijangkiti suap, gratifikasi, hingga korupsi berulang yang dilakukan oleh internal mereka. Pejabat hingga auditor BPK periode ini bahkan sudah ada yang menjadi tersangka kasus korupsi.

Seakan menjadi rahasia umum bahwa instansi kementerian/lembaga hingga pemerintah daerah berlomba mengejar status WTP. BPK memiliki kewenangan untuk memberikan opini wajar tanpa pengecualian, wajar dengan pengecualian, tidak wajar, hingga tidak memberi pendapat.

Maka tak mengherankan, ambisi instansi mendapatkan opini WTP dari BPK membuka celah munculnya praktik duit pelicin alias suap. Imbasnya, opini WTP yang diberikan BPK bakal sulit dipercaya sepenuhnya, jika lembaga auditor keuangan negara ini tidak dibenahi.

Penyampaian LHP LKPP 2022

Presiden Joko Widodo (tengah) dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin (kanan) bersama Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Isma Yatun (kiri) menghadiri penyampaian Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LHP LKPP) tahun 2022 di Istana Negara, Jakarta, Senin (26/6/2023). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/tom.

Pegiat antikorupsi sekaligus eks penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Yudi Purnomo, memandang suap di tubuh BPK terjadi sebab kewenangan besar mereka sebagai auditor keuangan bagi instansi pemerintah. Ditambah, sudah pasti semua lembaga ingin mendapat opini WTP dari BPK agar tidak dicurigai ada penyelewengan duit negara.

“Semua [instansi] berlomba-lomba dapat WTP agar dapat fasilitas hingga pinjaman atau dana tunjangan di daerah. Di sisi lain, kalau dapat WTP tidak dicurigai ada korupsi, padahal walaupun WTP bisa saja ada korupsi,” kata Yudi kepada reporter Tirto, Selasa (9/7/2024).

Yudi mengamini pernyataan presiden bahwa opini WTP dari BPK sudah menjadi kewajiban yang seharusnya diraih seluruh instansi pemerintah. Sayangnya, cara-cara lancung muncul untuk mendapat status WTP, seperti menggunakan suap dan gratifikasi untuk auditor BPK yang miskin integritas.

Predikat opini WTP yang menjadi kewenangan BPK justru diobral-obral di tangan pejabat serta auditor nakal. Persengkongkolan jahat ini sudah pasti merugikan keuangan negara.

“Sebenarnya ketika terkait suap-menyuap untuk dapat WTP maka sebenarnya di situ ada potensi temuan yang terbaca sebagai fraud atau korupsi. Dan itu bisa saja menjadi kerugian keuangan negara, namun karena suap temuan itu justru didrop oleh BPK,” jelas Yudi.

Kendati demikian, Yudi berharap momen seleksi anggota BPK yang sedang berlangsung saat ini menjadi momen bersih-bersih lembaga. Dia berharap pejabat BPK selanjutnya diisi oleh orang yang berintegritas, independen, serta bebas dari segala konflik kepentingan.

“Memiliki kesadaran bahwa dia bertugas mengawal keuangan negara yang dikelola Kementerian/lembaga atau pemda sehingga jika ada temuan maka katakanlah itu temuan, dia akan menjadi pahlawan karena menyelamatkan uang negara,” terang dia.

Jadi Momen Berbenah

Sebagai informasi, Komisi XI DPR RI baru saja mengumumkan 75 nama-nama calon Anggota BPK yang bakal ikut uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test). Nama-nama yang diumumkan ini merupakan mereka yang lolos masa pendaftaran 19 Juni sampai 4 Juli 2024. Pengumuman tersebut berdasarkan Keputusan Rapat Internal Komisi XI DPR RI, Senin (8/7/2024).

DPR akan memilih lima anggota BPK baru menggantikan pejabat periode 2019-2024. Dari pantauan reporter Tirto di laman DPR, nama-nama calon anggota BPK ini terdiri dari tokoh politisi, birokrat, akademisi, hingga masyarakat sipil.

Peneliti Forum Indonesia Transparansi Anggaran (FITRA), Gunardi Ridwan, berharap agar anggota BPK baru nantinya dapat meningkatkan muruah dan integritas lembaga tersebut. Bukan tanpa sebab, korupsi serta kongkalikong proyek fiktif berkali-kali menimpa lembaga yang bermarkas di Jalan Jenderal Gatot Subroto itu.

“FITRA berharap Komisi XI DPR dalam menyeleksi calon Anggota BPK membuka seluas-luasnya masukan masyarakat, hal ini bisa dilakukan dengan mendorong uji publik dan transparansi di setiap tahapan,” kata Gunardi kepada reporter Tirto.

Kasus suap hingga korupsi yang menjerat insan BPK sudah terjadi berulang kali. Teranyar, kasus dugaan jual beli opini WTP di lingkup Kementerian Pertanian (Kementan) yang diduga dilakukan auditor BPK, Haerul Saleh. Kasus ini terkuak dalam sidang kasus korupsi bekas Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo (SYL).

Anak buah SYL di persidangan menyebut telah terjadi suap agar Kementan meraih predikat WTP tahun 2022. Nilai suap dalam perkara ini disebut mencapai Rp12 miliar, namun baru ada transaksi duit haram sebesar Rp5 miliar.

Achsanul Qosasi

Achsanul Qosasi tersangka kasus dugaan korupsi BTS 4G BAKTI Kominfo. tirto.id/Ayu Mumpuni

Selanjutnya, ada kasus manipulasi hasil audit proyek BTS 4G di Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) yang menjerat Anggota III BPK nonaktif, Achsanul Qosasi. Eks politikus Partai Demokrat ini menerima duit semir mencapai Rp40 miliar. Dia sudah divonis 2,5 tahun penjara dalam pusaran perkara korupsi menara pemancar ini.

Akhir tahun lalu, juga muncul dugaan keterlibatan anggota BPK asal Partai Gerindra, Pius Lustrilanang, dalam perkara suap hasil audit pemda Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya. Pius diduga menarik duit dari anggota BPK daerah di wilayah kewenangannya. Dalam kasus yang dikuak oleh KPK ini, Pius berstatus menjadi saksi.

Ada pula kasus Bupati Bogor nonaktif, Ade Yasin, yang mengamankan WTP pada Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Kabupaten Bogor 2021 lewat suap. Ade membayar pegawai BPK Perwakilan Jawa Barat dengan nilai mencapai Rp1,9 miliar demi predikat WTP.

Baru-baru ini, KPK juga sedang menyelidiki dugaan rasuah yang menyeret anggota BPK berinisial AH dan anggota DPR Komisi XI Fraksi Gerindra. AH diduga merupakan Ahmadi Noor Supit yang merupakan anggota BPK dari Partai Golkar. Kendati demikian, KPK belum mau membuka kasus dugaan rasuah apa yang tengah mereka lidik.

Gunardi Ridwan dari FITRA berharap, seleksi anggota saat ini jadi momentum perbaikan. BPK dinilai memiliki peran krusial untuk memastikan pengelolaan keuangan negara dapat mencapai masyarakat dengan adil, makmur dan sejahtera.

“Calon Anggota BPK harus bisa melepaskan kepentingan politik dan memiliki keahlian yang sesuai dengan kebutuhan lembaga,” jelas Gunardi.

Pemeriksaan Anggota BPK Pius Lustrilanang

Anggota VI Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Pius Lustrilanang (kiri) berjalan menuju kendaraannya usai menjalani pemeriksaan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Jumat (1/12/2023). ANTARA FOTO/Reno Esnir/rwa.

Rawan Orang Parpol

Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Zaenur Rohman, menilai proses seleksi anggota BPK masih sangat politis sehingga menghasilkan anggota yang sarat politis. Dari periode ke periode, kata dia, anggota BPK mayoritas diisi oleh para politisi.

“Ini kurang tepat, seharusnya BPK independen. Ketua dan anggota harusnya independen,” kata Zaenur kepada reporter Tirto.

Menurut dia, dalam UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK sendiri proses seleksi anggota belum menunjukkan mereka sebagai lembaga negara independen. Ke depan, Zaenur berharap ada revisi UU BPK sehingga proses seleksi diatur lebih ketat dan independen.

“Yang bisa dilakukan sekarang, tim seleksinya harus menjunjung mekanisme independen dan mencari orang independen. Kalau calon ini berasa dari politisi maka sudah seharusnya dia sudah cooling period minimal dua tahun,” jelas Zaenur.

Zaenur menilai, tidak seharusnya anggota BPK merupakan anggota parpol atau terafiliasi dengan partai tertentu. Jika pun pernah memiliki riwayat sebagai anggota parpol, maka perlu ada masa jeda yang panjang untuk memastikan bahwa figur tersebut sudah netral.

“Ubah UU BPK lebih independen ke depan. Dengan pertama, bentuk tim panitia seleksi yang didominasi unsur masyarakat sipil. Lalu, syarat ketua dan anggota harus independen,” tutur dia.

Peneliti dari Transparency International Indonesia (TII), Alvin Nicola, mengamini pendapat Zaenur. Dia menambahkan, gagalnya BPK menghasilkan produk audit bebas kepentingan bermuara dari sistem seleksi pimpinannya yang minim akuntabilitas. Pemilihan yang dilakukan secara tertutup di Komisi XI DPR berpotensi membuka ruang-ruang negosiasi dan transaksi.

“Pada akhirnya berujung pada pengawasan yang compang-camping,” terang Alvin kepada reporter Tirto, Selasa (9/7/2024).

Implikasinya jelas, kata dia, akan sulit mengharapkan hasil pengawasan BPK betul-betul berkualitas jika auditornya disusupi konflik kepentingan. Terlebih, rekam jejak para anggota BPK yang tersandung korupsi juga banyak yang merupakan bekas orang parpol.

“DPR harusnya membuka ruang partisipasi masyarakat, dan memilih anggota dari kalangan profesional,” ujar Alvin.

Karena peran sentral BPK dalam upaya pemberantasan korupsi negara, ke depan sudah sepatutnya ada perubahan skema proses pemilihan calon pimpinan. Seleksi perlu dilakukan oleh panitia independen atau dibentuk langsung pemerintah.

“Model pengawasan internalnya pun perlu lebih diperkuat,” tutur Alvin.

Dihubungi terpisah, anggota Komisi XI DPR, Melchias Markus Mekeng, menepis anggapan bahwa pihaknya melakukan seleksi anggota BPK secara tertutup. Mekeng menegaskan proses seleksi dilakukan transparan sesuai ketentuan.

Dia juga menganggap anggota BPK yang terlibat kasus korupsi tidak bisa dikaitkan dengan status mereka sebagai anggota parpol. Mekeng menilai kasus-kasus itu tidak ada kaitannya dengan proses seleksi yang dilakukan Komisi XI.

“Masalah hukum saya rasa itu kembali ke masing-masing individu dan bukan terkait dengan proses seleksi [di DPR],” kata anggota DPR dari Fraksi Golkar ini kepada Tirto.

Janji Penguatan

Presiden terpilih periode 2024-2029, Prabowo Subianto, berjanji bakal membuat institusi BPK jauh lebih kuat. Hal itu dia utarakan usai disebut Presiden Jokowi akan memperhatikan setiap rekomendasi dan laporan audit keuangan di masa jabatannya mendatang.

"Insyaallah pasti, BPK institusi yang sangat penting, BPK andalan kita, BPK ke depan harus lebih ketat mengawasi," kata Prabowo di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (8/7/2024).

Menurut dia, setiap uang rakyat yang terkumpul dalam APBN mesti dipertanggungjawabkan. Prabowo menegaskan tak ingin ada kasus kebocoran anggaran di masa pemerintahannya mendatang.

“Kita tidak menginginkan kebocoran-kebocoran. Kita tidak menginginkan uang rakyat tidak bisa dipertanggungjawabkan setiap rupiah harus kita amankan,” tegas Prabowo.

Baca juga artikel terkait BPK atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Hukum
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz