tirto.id - Beban pundak presiden terpilih, Prabowo Subianto, ke depan tampaknya akan semakin berat. Menteri Pertahanan itu, harus menerima ‘warisan’ berupa utang pemerintah dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang nilainya cukup jumbo. Posisi utang Pemerintah Jokowi sampai dengan akhir Mei 2024 tercatat sebesar Rp8.353 triliun dan masih akan meningkat sampai akhir masa jabatannya.
Posisi utang pada Mei 2024 tersebut, setara dengan 38,71 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Mayoritas utang berasal dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp7.347 triliun (87,96 persen). Sisanya dari pinjaman Rp1.005 triliun (12,04).
Belum lagi utang jatuh tempo yang harus ditanggung Prabowo-Gibran pada kurun waktu lima tahun menjabat, yakni 2025-2029 mencapai Rp3.748 triliun. Jika dirinci, utang jatuh tempo pada 2025 tercatat sebesar Rp800,33 triliun dan Rp803,19 triliun pada 2026.
Kemudian, pada 2027 utang jatuh tempo yang harus dibayarkan Pemerintahan Prabowo senilai Rp802,61 triliun dan pada 2028 Rp719,81 triliun. Di akhir masa jabatannya, Prabowo harus kembali membayar utang jatuh tempo yang diperkirakan sebesar Rp622,3 triliun.
Jauh sebelum terpilih tepatnya pada 2018 lalu, Ketua Umum Gerindra itu, sempat mewanti-wanti atas kondisi utang Pemerintahan Jokowi. Prabowo merasa prihatin karena seharusnya dengan Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Manusia (SDM) yang banyak, Indonesia bisa menjadi negara kaya, bukan negara yang menumpuk utang.
"Utang-utang itu sudah sangat membahayakan," kata Prabowo kala itu.
Jika kita berkaca pada kalimat Prabowo saat itu, tentu ‘warisan’ utang Jokowi yang sudah sebesar Rp8.353 triliun bisa dibaca sebagai beban baru. Walaupun secara rasio utangnya sendiri menurut Undang-Undang Nomor 1/2003 tentang Keuangan Negara, rasio utang pemerintah adalah maksimal 60 persen dari PDB.
Namun, tetap meski dalam posisi aman, menurut Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal, ruang fiskal Prabowo ke depan untuk memenuhi program atau janji-janji kampanyenya sangat terbatas dengan posisi utang tersebut. Mengingat Prabowo sendiri memiliki program ikonik seperti program Makan Bergizi Gratis (MBG), di mana pada 2025 atau di fase pertama anggarannya MBG disepakati sebesar Rp71 triliun.
“Artinya jika pemerintah terpilih nanti tidak bisa melakukan penyesuaian dalam beberapa kebijakan, maka juga akan cukup menantang untuk kembali menurunkan rasio utang. Karena kita tahu bahwa pemerintah terpilih mempunyai beberapa program yang sifatnya relatif baru seperti makan sehat gratis dan juga program yang melanjutkan dari pemerintah sebelumnya seperti pembangunan IKN,” ujarnya kepada Tirto, Selasa (2/7/2024).
Yusuf melihat, nominal dan rasio utang yang relatif masih tinggi ini terjadi di periode transisi pemerintahan yang punya kecenderungan untuk relatif ekspansif dalam melakukan kebijakan fiskal ke depannya. Untuk menurunkan rasio utang pun, kata Yusuf, rasanya juga tidak mungkin dan sulit dilakukan Prabowo ke depannya.
“Saya kira upaya untuk menurunkan rasio setidaknya seperti sebelum pandemi ini akan semakin berat ke depan. Mengingat diperlukan dorongan pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi atau pemotongan utang yang begitu besar untuk mencapai hal tersebut,” ujar dia.
Maka, lanjut Yusuf, tantangan Pemerintahan Prabowo ke depan bagaimana caranya bisa mendorong pertumbuhan ekonomi setidaknya bisa tumbuh 7 persen dalam beberapa tahun ke depan dalam upaya menurunkan rasio utang. Seharusnya, hal tersebut bisa dilakukan mengingat Prabowo sendiri tengah memasang target pertumbuhan hingga 8 persen.
Bagaimana Posisi Utang di Tangan Prabowo?
Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies (CSIS), Yose Rizal Damuri, melihat ada kecenderungan ‘warisan’ utang Jokowi ketika di tangan Prabowo akan meningkat. Mengingat defisitnya sendiri semakin hari, semakin membesar. Di samping juga ada berbagai pembiayaan-pembiayaan yang memang harus tutup oleh utang tersebut.
“Secara tingkatan utangnya [saat ini] masih oke. Masih dalam batas yang cukup baik, sekitar 40 persen. Sayangnya, memang ada kecenderungan bahwa utang ini masih akan terus meningkat,” ujar Yose Rizal, saat dihubungi Tirto, Selasa (2/7/2024).
Bahkan walaupun Pemerintahan Prabowo tidak terlalu ekspansif, kemungkinan besar posisi utangnya juga akan meningkat akibat ‘warisan’ utang yang lalu. Mengingat pada COVID-19 beberapa waktu lalu ada banyak sekali utang-utang diambil oleh pemerintah saat itu.
“Kebanyakan utang itu diambil untuk menutup utang yang baru, untuk menutup utang yang lama, ada rollover-nya segala macam. Jadi akan ada peningkatan utang tadi yang mungkin akan bisa cukup tinggi,” kata dia.
Senada dengan Yose, Direktur Eksekutif Institute For Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti, memperkirakan bahwa posisi utang di masa pemerintahan Prabowo akan meningkat. Mengingat, program-program yang diusung Prabowo mercusuar dengan dana sangat fantastis, salah satunya yakni makan siang gratis.
“Prediksi saya kemungkinan naiknya rasio utang terhadap PDB sangat mungkin terjadi. Apalagi jika tidak disertai dengan kenaikan kapasitas generate income untuk negara lebih banyak. Sementara untuk menaikkan kemampuan tax ratio tidak mudah jika tidak ada good will,” ujar Esther kepada Tirto, Selasa (2/7/2024).
Lebih lanjut, Yose Rizal melihat peningkatan atau ‘warisan’ utang Jokowi yang berangsur naik tersebut akibat biaya utang di RI cukup tinggi sekali. Sebab, masalahnya, kata dia, komposisi utang pemerintah mayoritas dari Surat Berharga Negara (SBN). Sementara utang berasal dari pinjaman porsinya justru sedikit.
“Surat berharga negara ini, itu mahal. Masalahnya semakin hari pinjaman kita itu makin sedikit. Pinjaman itu artinya yang datangnya dari partner kita, baik bilateral maupun multilateral. Padahal ini adalah sumber dana yang murah,” jelas dia.
Dia memahami, bahwa pemerintah saat ini terlihat begitu gengsi atau terkesan tidak mau didikte oleh negara lain. Akibatnya bunga utang menjadi lebih mahal. Padahal kalau pemerintah misalnya, pinjam ke World Bank, Bank Dunia, Jepang, Amerika, dan partner-partner lainnya, itu bisa mendapatkan pinjaman yang jauh lebih murah.
“Masalahnya kan kita nggak mau melakukan itu. Jadi ini memang komposisi utang kita yang berat pada surat berharga negara, sebenarnya tidak terlalu menguntungkan. Jadinya mahal dan sulit untuk direstrukturisasi,” jelas dia.
Warisan Utang Bukan Beban?
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, sebelumnya menegaskan bahwa utang jatuh tempo bukan beban bagi Indonesia atau bagi pemerintah berikutnya. Sebab, menurutnya, 88,28 persen dari total utang jatuh tempo pada tahun depan saja misalnya berasal dari penerbitan SBN. Sedangkan 11,72 persen sisanya berasal dari pinjaman luar negeri bilateral maupun multilateral.
Alih-alih menyebut utang jatuh tempo dari penerbitan SBN beban, dia justru menganggap dana tersebut sebagai uang yang berputar. Apalagi, setiap tahun pemerintah akan selalu menerbitkan SBN untuk membiayai defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
“[Utang jatuh tempo] bukan diserap APBN, tapi di-revolve. Jadi artinya issuance-nya (penerbitannya). Kalau kata beban itu kan relatif. Jadi surat utangnya nanti yang jatuh tempo,” katanya dalam Rapat Kerja Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dengan Pemerintah, di Jakarta, Kamis (6/6/2024).
Dalam hal ini, ketika pemerintah menerbitkan SBN, akan ada dana segar yang masuk ke negara. Oleh karena itu, meskipun utang jatuh tempo dari penerbitan SBN cukup tinggi, investor SBN tidak akan begitu mempermasalahkannya.
Sebab, yang menjadi perhatian bagi para investor SBN adalah stabilitas ekonomi Indonesia. Artinya, ketika ekonomi Indonesia tetap tumbuh dan tidak ada huru-hara di negara, investor SBN, baik dari dalam maupun luar negeri akan tetap masuk.
“Lalu ada gross issuance, itu bruto SBN. Kalau yang kita keluarkan (SBN) kepada Bapak, Ibu sekalian, masalah jatuh tempo itu bukan masalah yang di setiap fiscal policy (kebijakan fiskal). Selama APBN-nya bagus, itu nggak jadi persoalan,” imbuh Sri Mulyani.
Di luar itu, Tim Gugus Tugas Sinkronisasi Pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, Thomas Djiwandono, juga berkomitmen untuk mematuhi defisit yang telah dirancang pemerintah, sebesar 2,29 - 2,82 persen dari total PDB 2025. Thomas menjamin pemerintahan Prabowo-Gibran tidak akan menarik utang hingga 50 persen dari PDB.
"Presiden terpilih (Prabowo) commit dengan defisit yang sudah dirancang pemerintah sekarang. Dan rasio utang terhadap PDB yang pernah dikatakan rencana 50 persen ke atas itu tidak mungkin," ujarnya, di Kantor Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Senin (24/6/2024).
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Maya Saputri