tirto.id - Direktur Program Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Eisha Maghfiruha Rachbini, mengatakan porsi belanja pemerintah berdasarkan analisis belanja APBN didominasi untuk pembayaran bunga utang, baik dari outlook pada 2023 maupun RAPBN 2024-2025.
Pada outlook belanja APBN 2023, pembayaran bunga utang mendominasi 19 persen dari seluruh belanja pemerintah, sedangkan 18,8 persen dipakai untuk belanja pegawai, 18,2 persen untuk belanja barang, dan 11,3 persen untuk belanja modal.
Dari data 2024, belanja untuk pembayaran bunga utang pemerintah mencapai porsi 20,3 persen, disusul belanja pegawai 19,7 persen, 15,8 persen untuk belanja barang, dan 10 persen untuk belanja modal.
"Dari komposisi belanja negara, 19 persen untuk pembayaran bunga utang, dan ini compare ke belanja pegawai 18,8 persen (2023). Rasanya 19 persen ini juga masih cukup besar," ungkap Eisha dalam Diskusi Publik INDEF: Warisan Utang untuk Pemerintahan Mendatang, Jakarta, Kamis (4/7/2024).
Menurutnya, dalam persentase belanja pemerintah saat ini, masih dinilai cukup tinggi untuk pembayaran bunga utang dibandingkan belanja produktif untuk modal, yang berimplikasi kepada pertumbuhan ekonomi.
"Ke depan RAPBN 2024-2025 akan ada banyak utang jatuh tempo, ini juga masih cukup tinggi untuk pembayaran bunga utang dibandingkan belanja pegawai dan belanja modal, yang harusnya produktif untuk pertumbuhan ekonomi ke depan," ujarnya.
Belanja modal pemerintah yang dialokasikan berkisar 10-11 persen jika dibandingkan pembayaran bunga utang memiliki jarak cukup besar sehingga kurang mendorong pertumbuhan ekonomi untuk pemerintahan selanjutnya.
"Bayangkan, belanja modal kecil tetapi pembayaran bunga utangnya besar, nah ini rasanya agak masih kurang mendorong pertumbuhan," tutur Eisha.
Di samping itu, data juga menunjukkan bahwa selama pemerintahan Presiden Joko Widodo, rata-rata defisit fiskal mengalami pelebaran (-2.8 persen), salah satu faktornya adalah kondisi pandemi COVID-19.
Di luar itu, data menunjukkan pada periode pemerintahan saat ini memiliki kecenderungan defisit yang lebih besar dibandikan dengan pemerintahan sebelumnya.
RAPBN di masa transisi memiliki kecenderungan defisit fiskal yang berbeda-beda setiap periode pergantian pemimpin. Pada RAPBN 2005, usulan defisit anggaran 0,8 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), pada RAPBN 2010 memiliki usulan defisit anggaran 1,6 persen dari PDB.
Kemudian, pada RAPBN 2015 memiliki usulan defisit anggaran 2,32 persen dari PDB, RAPBN 2020 memiliki usulan defisit anggaran di rentang 1,52-1,75 persen dari PDB, dan di RAPBN 2025 memiliki usulan defisit anggaran di rentang 2,29-2,82 persen dari PDB, atau yang terbesar sepanjang dua dekade terakhir.
Penulis: Faesal Mubarok
Editor: Irfan Teguh Pribadi