tirto.id - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, total utang jatuh tempo Indonesia pada 2025-2029 mencapai Rp3.748,24 triliun. Jika dirinci, utang jatuh tempo pada 2025 tercatat sebesar Rp800,33 triliun dan Rp803,19 triliun pada 2026.
Kemudian, pada 2027 utang jatuh tempo yang harus dibayarkan pemerintahan Presiden terpilih Prabowo Subianto senilai Rp802,61 triliun dan pada 2028 Rp719,81 triliun. Di akhir masa jabatannya, Prabowo-Gibran harus kembali membayar utang jatuh tempo yang Diperkirakan sebesar Rp622,3 triliun.
“Hantu yang paling menyeramkan adalah kewajiban terkait dengan utang pemerintah, kewajiban penyelamatan BUMN dan sektor publik pada APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) 2025,” kata ekonom dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng, kepada Tirto, Senin (1/7/2024).
Perlu diketahui, total utang jatuh tempo 2025-2029 itu setara dengan 44 persen dari utang pemerintah pada posisi 30 April 2024 yang sebesar Rp8.338,43 triliun. Dengan proporsi utang terdiri dari 70,75 persen atau Rp5.889,20 triliun Surat Berharga Negara (SBN) domestik, 17,20 persen atau Rp1.433,90 triliun SBN valuta asing (valas) dan 12,06 persen atau Rp1.005,32 triliun dari pinjaman.
“Di tahun-tahun mendatang, tidak akan mudah bagi Indonesia,” imbuh Salamuddin.
Tidak mudahnya kondisi Indonesia terlihat dari pendapatan negara yang semakin tertekan. Salamuddin bilang, pos-pos penerimaan seperti pendapatan bagi hasil minyak, komoditas, penerimaan pajak, hingga sektor konsumsi kompak lesu di tahun ini.
“Perkiraan penurunan pendapatan negara dalam tahun mendatang disampaikan oleh Fitch Ratings Singapura. Mereka memperkirakan rasio pendapatan pemerintah umum turun menjadi 14,6 persen pada 2024 dari 15,0 persen pada 2023, terendah dalam kategori 'BBB' dan jauh di bawah median 21,3 persen,” jelas Salamuddin.
Belum lagi, di lima bulan pertama 2024, APBN telah mencatatkan defisit sebesar Rp21,8 triliun, karena belanja negara meningkat lebih cepat ketimbang pendapatan negara. Realisasi belanja negara hingga Mei 2024 tercatat senilai Rp1.145 triliun, sedangkan pendapatan negara hanya mencapai Rp1.123,5 triliun.
“Meskipun pemerintah sudah memiliki alokasi rencana penerbitan surat utang untuk membiayai defisit, pemerintah perlu waspada dengan kondisi global. Terutama saat bank sentral menyesuaikan suku bunga acuan, karena mungkin akan ada penyeduaian (suku bunga) di level yang lebih tinggi,” ujar ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet.
Pasalnya, dengan penyesuaian bunga SBN, ongkos pembiayaan yang harus dikeluarkan pemerintah untuk membayar imbal hasil akan semakin besar.
Terpisah, dalam rapat Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (Banggar DPR) RI, Selasa (25/6/2024) lalu, Direktur Jenderal Anggaran Kemenkeu, Isa Rachmatarwata, mengungkapkan, sejumlah anggaran Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 telah dialokasikan untuk pembayaran utang yang banyak diterbitkan pemerintah selama periode Pandemi Covid-19 berikut bunganya.
Dia mengakui, pada 2025 nanti, pemerintah akan dibebani oleh dua pos pengeluaran besar, subsidi dan pembayaran bunga utang. Meski begitu, pihaknya telah memastikan alokasi anggaran pembayaran bunga utang telah dilakukan dengan tepat.
“Ini konsekuensi dari kita melakukan banyak penerbitan surat utang untuk memitigasi Pandemi yang buntutnya masih ada di 2025. Alokasi anggaran sudah dilakukan untuk membuat pengelolaan pembayaran bunga utang dapat tepat waktu dan tepat jumlah,” kata Isa.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Intan Umbari Prihatin