Menuju konten utama

Memupuk Pungli, 'Jalan Tikus' Menuju Korupsi yang Lebih Besar

Banyak faktor membuat pungli semakin langgeng meski sudah hadir sistem berbasis digital.

Memupuk Pungli, 'Jalan Tikus' Menuju Korupsi yang Lebih Besar
Ilustrasi suap. FOTO/IStockphoto

tirto.id - Transformasi sektor layanan publik lewat digitalisasi sistem nyatanya belum mampu memberantas praktik pungutan liar (pungli). Kecanggihan sistem berbasis elektronik dalam pelayanan publik masih juga diakali oleh operator nakal alias pekerja di baliknya. Sikap permisif pada pungli sebagai korupsi kecil-kecilan (petty corruption), bakal membuka 'jalan tikus' korupsi dengan skala lebih besar.

Gambaran di atas dibeberkan baru-baru ini oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Komisi antikorupsi tengah menggencarkan penerapan sistem berbasis digital di pelabuhan untuk mencegah pungli. Meski demikian, Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK sekaligus Koordinator Pelaksana Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK), Pahala Nainggolan, memandang penerapan tersebut tidak membuat praktik pungli menghilang.

“Kalau dibilang masih ada pungli enggak, ya, masih. Namanya sistem manusia yang bikin,” kata Pahala kepada wartawan di Gedung Merah Putih KPK, Selasa (2/6/2024).

Meski begitu, dia mengatakan, digitalisasi sistem bakal membuat pelayanan birokrasi dapat dipangkas. Imbasnya, indeks logistik Indonesia dapat turun mengacu data Bank Dunia.

Pandangan KPK tak sepenuhnya salah. Hadirnya digitalisasi dalam sistem pelayanan publik memang bakal membantu memangkas birokrasi yang berbelit. Idealnya, bahkan sistem elektronik harus mampu mencukur ongkos pelayanan yang panjang.

Namun, nyatanya transformasi digital tidak bisa disandarkan menjadi satu-satunya solusi. Transformasi perlu turut digalakkan pada level birokrat atau manusia yang bekerja di balik sistem tersebut. Mental antikorupsi harus disuburkan agar tidak lagi permisif pada korupsi kecil-kecilan.

Indeks persepsi korupsi Indonesia

Pekerja membersihkan gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (25/4/2024). Berdasarkan Transparency International skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada tahun 2023 di angka 43 dengan peringkat 115 atau merosot dari tahun sebelumnya di peringkat 110. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/nym.

Peneliti dari Transparency International Indonesia (TII), Bagus Pradana, menyatakan sejatinya kehadiran digitalisasi pelayanan publik punya tujuan utama untuk meningkatkan efisiensi, transparansi, dan mengurangi peluang terjadinya praktik korupsi seperti pungli. Namun yang terjadi sebaliknya, beberapa faktor justru membuat pungli semakin langgeng meski sudah hadir sistem berbasis digital.

“Menurut kami faktor yang menghambat utamanya adalah proses adaptasi. Jadi, adaptasi sistem dan SDM sumber daya manusia itu kan butuh proses ya,” kata Bagus kepada Tirto, Rabu (3/7/2024).

Adaptasi sumber daya manusia yang beralih kepada sistem terbaru membuat pembiasaan memakan waktu. Di sini pentingnya para pelayan publik atau pelaksana sistem, harus ikut beradaptasi secara andal dan berintegritas.

Selanjutnya, faktor kelemahan sistem digital itu sendiri yang membuat praktik pungli masih eksis. Jadi, digitalisasi masih membuka celah korupsi kecil-kecilan meski sudah diterapkan.

“Bisa jadi karena adaptasi itu lama, kemudian justru muncul celah pungli baru. Misalnya ada calo untuk digital seperti itu, kalau kita bicara pelabuhan kan mungkin ada calo-calo tiket digital untuk kapal,” terang Bagus.

Menurut Bagus, pungli juga masih subur akibat kurangnya pengawasan terhadap sistem yang dijalankan. Absennya pengawasan dan penegakan hukum yang tegas, merupakan faktor yang sering menjadi pembuka pintu pungli. Tanpa pengawasan dan penegakan hukum yang tegas di lapangan, maka pungli akan tetap terjadi.

“Meski satu sistem sudah didigitalisasi, perangkatnya sudah ada, tapi seringkali yang terjadi di Indonesia, yang rutin terjadi di Indonesia adalah pengawasannya itu kurang, penegakan hukumnya itu kurang,” ungkap dia.

Pemerintah sendiri sebetulnya cukup perhatian terhadap fenomena pungli yang masih menjangkit dalam pelayanan publik. Itulah mengapa dihadirkan upaya pemberantasan pungutan liar yang dikoordinir di bawah Kementerian Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam). Pemerintah kemudian membentuk satuan tugas (satgas) Saber Pungli sejak 2016.

Satgas Saber Pungli diresmikan Presiden Joko Widodo lewat Perpres 87/2016 tentang. Saber Pungli sempat mengawal sejumlah program pemerintah seperti jaminan kesehatan, subsidi, hingga kebijakan harga BBM.

Menurut Bagus, satgas Saber Pungli yang dibentuk pada 2016 memang sudah berhasil mengungkap beberapa kasus pungutan liar. Kendati demikian efektivitas kerja satgas perlu dipertanyakan karena pungli masih terus hadir. Terutama, soal tindak lanjut temuan satgas yang masih harus dievaluasi dalam kerja-kerjanya.

Satgas memang memiliki sejumlah tantangan seperti political will penegakan hukum dari kementerian/lembaga yang menaunginya yakni Kemenko Polhukam. Di sisi lain, tantangan juga datang dari mengakarnya mentalitas pungli di birokrasi pemerintahan yang harus tegas dibasmi oleh satgas Saber Pungli.

“Memang sekarang ada kebutuhan urgensi melakukan pembenahan, terutama mental di kalangan birokrat Indonesia. Pembinaan mental di birokrat ini yang krusial kalau kita bicara soal pungli,” kata Bagus.

Pembenahan Mental & Integritas

Peneliti Pusat Studi Anti-Korupsi (SAKSI) Fakultas Hukum (FH) Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, memandang pembenahan mental antikorupsi tidak bisa dilakukan di level individu birokrasi namun sudah harus menyasar sistem. Masuknya sistem digital dalam kerja pelayanan sektor publik tetap tidak menutup celah pungli jika mental korup masih bercokol di badan instansi.

“Soal mental tentu penting, tapi mentalitas juga sangat ditentukan oleh sistem, nilai, dan perilaku sekaligus. Tidak bisa bergantung pada orang perorangan, tapi pendekatannya mesti by system,” kata pria yang akrab disapa Castro ini kepada reporter Tirto.

Bagaimana pun, kata Castro, digitalisasi sektor pelayanan publik tetap harus dipantau dan dievaluasi. Sebab tetap ada tahapan dimana interaksi antarmuka terjadi, khususnya saat ada verifikasi faktual di bagian hilir proses.

Selama ini menurutnya tim Saber Pungli belum berjalan efektif, karena terlalu bergantung pada momentum. Satgas cenderung kencang di awal saat perkara muncul, namun malah kendor di belakang saat penindakan.

“Konsistensinya tidak terjaga dengan serius,” ujar Castro.

Sementara itu, Mantan Penyidik KPK, Yudi Purnomo, menilai sesempurna apapun sistem digital tetap ada celah memerlukan bantuan manusia. Maka patut digarisbawahi bukan hanya sistem elektronik saja yang harus memiliki integritas baik.

Sistem mumpuni dengan manusia yang buruk dalam menjalankannya maka bakal percuma. Apalagi birokrat yang tidak berintegritas seringkali memakai kewenangannya untuk ditukar dengan uang sehingga mereka tak segan-segan mengakali sistem.

“Pungli itu merupakan korupsi juga entah itu menerima suap, memeras, atau itu gratifikasi. Petty corruption terjadi bukan karena gaji yang enggak cukup, tapi karena jabatan yang melekat pada mereka digunakan untuk menambah penghasilan,” kata Yudi kepada reporter Tirto.

Logika pelaku pungli adalah setiap melakukan layanan harus menerima bayaran. Mereka lupa kalau pekerjaan yang dilakukan sudah mendapatkan bayaran resmi dari instansi. Maka satgas Saber Pungli punya peran penting seharusnya dalam melakukan penindakan.

“Sistem yang bagus, pendidikan antikorupsi, itu omong kosong saja jika tidak ada penindakan. Ini akan memberikan efek jera kepada yang lain yang ingin melakukan korupsi walaupun jumlahnya kecil,” tegas Yudi.

Ilustrasi korupsi

Ilustrasi korupsi. FOTO/ Getty Images

Peneliti Transparency International Indonesia (TII), Alvin Nicola, memandang tidak optimalnya pencegahan korupsi yang dilakukan pemerintah selama ini terjadi akibat cuma fokus pada pendekatan administratif. Digitalisasi sektor layanan publik atau pembentukan satgas Saber Pungli tetap terjun pada jurang kegagalan yang sama, sebab tutup mata pada persoalan utama yakni korupsi politik.

“Serta tidak mendukung kinerja penegakan hukum. Ini ibarat memperbaiki hilir tetapi membiarkan persoalan hulu,” ujar Alvin kepada reporter Tirto.

Selain itu, kata Alvin, kegagalan efektivitas pendekatan ini adalah minimnya kepemimpinan (leadership). Persoalan ini ditambah kurangnya keterlibatan para pemangku kepentingan di bidang hukum, dalam hal ini Kemenko Polhukam dan Kemenkumham. Begitu pula semakin sempitnya ruang keterlibatan organisasi masyarakat sipil melakukan pengawasan kebijakan antikorupsi.

“Ke depan amat penting memperkuat iklim pencegahan korupsi yang lebih berorientasi pada kebijakan yang bukan hanya ‘sent’, namun juga ‘delivered’. Terutama yang menyasar korupsi politik dan penegakan hukum,” terang Alvin.

Beberapa waktu lalu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam), Hadi Tjahjanto, berharap birokrat di institusi pemerintah menjalankan pelayanan publik seperti hujan yang jatuh dari langit. Seperti hujan, jelas Hadi, pelayanan kepada publik harus lancar dan diterima tanpa harus ada embel-embel pungli di dalamnya.

Hal ini disampaikan Hadi dalam acara “Optimalisasi Sinergitas Satgas Saber Pungli Guna Penguatan Indeks Perilaku Antikorupsi melalui Interoperabilitas Siduli dan SP4N Lapor!” di Jakarta, Rabu (12/6/2024) lalu.

“Pungutan liar itu ada kan karena kurangnya integritas pelaksana layanan,” kata Hadi.

Dia mengingatkan bahwa nilai Indeks Perilaku Antikorupsi (IPAK) yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023 mengalami penurunan dari angka 3,93 menjadi 3,92. Penurunan IPAK tersebut, diminta mesti dievaluasi penyebabnya.

Padahal, angka IPAK menggambarkan pandangan masyarakat terhadap perilaku korupsi kecil-kecilan (petty corruption) termasuk pungli. Hadi menargetkan nilai IPAK bisa mencapai skor 5 yang artinya praktik pungli atau korupsi kecil-kecilan bisa sepenuhnya dibasmi di akhir pemerintahan Presiden Jokowi.

Baca juga artikel terkait KORUPSI atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Hukum
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Anggun P Situmorang