Menuju konten utama

Indeks Perilaku Antikorupsi 2023 Jeblok, Pencegahan Tak Efektif?

Hasil IPAK 2023 sejalan dengan hasil Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia juga merosot tajam. Hal ini bukti budaya korupsi di Indonesia masih menjamur.

Indeks Perilaku Antikorupsi 2023 Jeblok, Pencegahan Tak Efektif?
Ilustrasi suap. FOTO/IStockphoto

tirto.id - Mimpi menggenjot budaya antikorupsi di masyarakat dan birokrasi pemerintah terbukti masih perlu upaya ekstra. Berdasarkan rilis terbaru Badan Pusat Statistik (BPS), nilai Indeks Perilaku Antikorupsi (IPAK) Indonesia 2023, mengalami penurunan dibandingkan dengan IPAK tahun 2022, menjadi sebesar 3,92. Tahun lalu, nilai IPAK yang dirilis BPS mencatat angka 3,93.

IPAK merupakan indeks yang mengukur tingkat perilaku antikorupsi masyarakat dengan skala 0-5 pada level nasional. Semakin tinggi nilai IPAK atau mendekati 5, maka semakin tinggi budaya antikorupsi. Sebaliknya, semakin rendah nilai IPAK, maka semakin menunjukkan budaya permisif korupsi di masyarakat.

Skor IPAK disusun berdasarkan dua dimensi, yaitu indeks persepsi dan indeks pengalaman. Pelaksana Tugas (Plt) Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti menjelaskan data yang dikumpulkan dalam riset IPAK mencakup pendapat atau persepsi terhadap kebiasaan di masyarakat yang berhubungan dengan layanan publik dalam hal penyuapan, gratifikasi, pemerasan, nepotisme, serta sembilan nilai anti korupsi, termasuk kejujuran dan tanggung jawab.

“IPAK mengukur perilaku petty corruption atau korupsi skala kecil yang dialami langsung oleh masyarakat, tidak mencakup grand corruption,” kata Amalia di Kantor BPS, Jakarta, Senin (6/11/2023).

Hasil IPAK 2023 menunjukkan, nilai Indeks Persepsi 2023 sebesar 3,82 atau meningkat 0,02 poin dibandingkan tahun 2022. Sebaliknya, Indeks Pengalaman 2023 menunjukKan angka 3,96 yang berarti menurun sebesar 0,03 poin dibanding Indeks Pengalaman 2022 (3,99).

Angka IPAK 2023 sebesar 3,92 juga berarti tidak tercapainya angka IPAK yang ingin dicapai tahun ini berdasarkan target dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).

Amalia menyatakan perlu adanya pendidikan antikorupsi yang lebih masif di masyarakat, terutama dalam mengakses pelayanan publik.

“Hal ini memperlihatkan tingkat perilaku antikorupsi menurun. Capaian IPAK 2023 ini masih di bawah target RPJMN 2023 sebesar 4,09,” ujar Amalia.

Jika melihat ke belakang, angka IPAK semenjak 2020 memang belum mencapai target RPJMN. Meskipun, gap antara hasil IPAK dan target yang ingin dicapai cenderung semakin kecil tiap tahunnya.

Sebagai perbandingan, RPJMN menargetkan IPAK tahun 2020 dengan skor 4, sedangkan hasil yang didapat adalah 3,84. Sementara di tahun 2021 dan 2022, target IPAK di RPJMN masing-masing sebesar 4,03 dan 4,06. Sedangkan pencapaian IPAK tahun 2021 adalah 3,88 dan di tahun 2022 sebesar 3,93.

Konferensi Pers KPK kasus korupsi Kementan

KPK umumkan tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi di Kementerian Pertanian (Kementan), Rabu (11/10/2023). (Tirto.id/Ayu Mumpuni)

Pelayanan Publik Semakin Koruptif

Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Zaenur Rohman menilai, hasil IPAK 2023 menunjukkan secara keseluruhan perilaku antikorupsi di Indonesia mengalami penurunan. Artinya, kata dia, upaya untuk mewujudkan Indonesia yang semakin bersih dari korupsi belum menunjukkan hasil.

“Jadi kalo dilihat dari penyusunnya, ada dua yaitu indeks pengalaman dan indeks persepsi. Persepsi berbasis pemahaman masyarakat, jadi masyarakat sebetulnya sudah antikorupsi ditunjukan dengan naiknya indeks persepsi tetapi di sisi lain, pelayanan publiknya semakin korup,” kata Zaenur dihubungi reporter Tirto, Selasa (7/11/2023).

Zaenur menyatakan, budaya antikorupsi di Indonesia semakin hari bukan semakin baik, tapi justru mengalami perburukan. Mengapa ini terjadi? Skor indeks pengalaman yang mengalami penurunan dalam IPAK 2023 menjadi alasannya.

“Ini adalah pengalaman praktek korupsi yang ditemui masyarakat dalam satu tahun terakhir. Jadi masyarakat ternyata menemui berbagai praktik korupsi ketika masyarakat mengakses pelayanan publik, dalam satu tahun terakhir ini semakin banyak karena turun (skornya),” terang Zaenur.

Ia menilai masih ada masalah besar soal perilaku koruptif di birokrasi pelayanan publik. Zaenur menyoroti hal ini, karena negara Indonesia tidak akan bisa maju jika masih ada pelayanan publik yang korup kepada masyarakat.

“Perlu ada reformasi birokrasi dalam memberi pelayanan publik, memperketat pengawasan dan memperbaiki sistem kesejahteraan pelaksana birokrasi,” saran Zaenur.

Di sisi lain, menurut Zaenur, tergerusnya independensi dan merosotnya performa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat ini juga berpengaruh terhadap spirit antikorupsi pada penyelenggara negara yang kedodoran.

Seperti diketahui, saat ini pimpinan KPK diduga melakukan pemerasan terkait penanganan kasus korupsi di lingkup Kementerian Pertanian (Kementan).

Hingga saat ini, perkara tersebut masih dalam pengusutan pihak kepolisian dan ditangani Dewan Pengawas KPK. Nama Ketua KPK Firli Bahuri, diduga tersandung dalam pusaran kasus pemerasan ini.

“Contohnya, (mereka) penyelenggara negara jadi tidak ada teladan, dan kedua tidak ada yang ditakutkan,” jelasnya.

Elite Partai Politik Akar Masalah

Peneliti dari Transparency International Indonesia (TII), Alvin Nicola menilai, hasil IPAK 2023 membongkar dua hal. Pertama, klaim pemerintah saat ini bahwa agenda pencegahan korupsi berbasis digitalisasi, debirokratisasi, dan regulasi terbukti tidak efektif.

“Karena hasil IPAK menunjukkan petty corruption (korupsi kecil) soal akses pelayanan publik, tidak seperti itu faktanya,” kata Alvin dihubungi reporter Tirto, Selasa (7/11/2023).

Kedua, kata Alvin, hasil IPAK 2023 sejalan dengan hasil Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia yang juga merosot tajam. Ini menunjukkan bahwa budaya korupsi di Indonesia baik dalam skala kecil maupun skala besar, masih sering ditemui.

“Ternyata matching tuh di semua tingkatan korupsi, kita masih punya problem besar ya secara sistem maupun soal permisifnya warga terhadap bentuk-bentuk korupsi itu,” terang Alvin.

Pada Januari 2023, Transparency International merilis hasil Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang dihasilkan dari survei terhadap 180 negara. Hasilnya, IPK Indonesia tahun 2022 berada di peringkat 110 dari 180 negara atau mendapatkan skor 34.

Hasil ini menunjukkan penurunan empat poin dari IPK tahun 2021, di mana Indonesia mendapat skor 38. Capaian IPK tahun 2022 juga disebut sebagai penurunan paling drastis sejak 1995. Alvin menyatakan hasil IPK terbaru itu merupakan penurunan paling tajam sejak era Reformasi.

“Bagi kami sebenarnya dan dikonfirmasi hasil IPK selama ini, kenapa hasil ini selalu stagnan atau menurun drastis, karena memang pemerintah tutup mata ya soal korupsi politik. Ini masih menjadi akar masalah di negara kita, tapi itu semua masih diabaikan,” jelas Alvin.

Ia menambahkan, skor IPAK 2023 yang dikeluarkan BPS memotret pengalaman langsung warga dalam mengakses layanan publik, seperti layanan kesehatan, dokumen kependudukan, dan lainnya yang masih dimintai pungli.

Selain itu, pemberitaan soal elite politik yang ditangkap KPK juga memperkaya persepsi publik dalam melihat situasi korupsi saat ini di Indonesia.

Alvin menilai, perilaku koruptif di lingkup elite berpengaruh pada budaya antikorupsi di Indonesia. Akar masalah koruptif di politik, menurutnya, berasal dari konflik kepentingan yang semakin marak di tubuh elite.

“Partai politik cenderung tidak demokratis secara internal dan hal itu enggak diatur dan cenderung diabaikan pemerintah,” ungkap Alvin.

Alvin mendesak pemerintah membenahi korupsi di lingkup politik, dan berhenti tutup mata pelayanan publik yang buruk dan tidak inklusif. Semua itu, menurut dia, berakar dari proses politik di Indonesia yang tidak sehat.

“Penting untuk melakukan demokratisasi Undang-Undang soal parpol dan kepemiluan. Dan juga soal konflik kepentingan yang perlu diregulasi lebih ketat,” tegasnya.

Pendaftaran bakal calon anggota DPRD Kediri

Petugas keamanan melintas di depan poster lambang partai politik peserta Pemilu 2024 saat pendaftaran bakal calon anggota DPRD di KPU Kediri, Jawa Timur, Rabu (10/5/2023). ANTARA FOTO/Prasetia Fauzani/nz

Krisis Kepercayaan pada Penegak Hukum

Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Azmi Syahputra menilai perilaku koruptif elite memiliki pengaruh bagi masyarakat. Umumnya, karena perilaku pemegang kekuasaan tersebut jadi tontonan yang tidak baik bagi publik.

“Meskipun demikian bagi para pegiat antikorupsi yang banyak pengalaman tidak kaget, sebab beberapa kasus korupsi sarat dengan kepentingan,” ujar Azmi dihubungi reporter Tirto, Selasa (7/11/2023).

Azmi menambahkan, masih ada krisis kepercayaan masyarakat atas kinerja KPK saat ini. Termasuk masih maraknya praktik curang Aparat Penegak Hukum (APH), yang membuat budaya antikorupsi semakin sulit dicapai.

“APH hanya sebatas memanfaatkan laporan masyarakat, sehingga membuat semangat juang antikorupsi masyarakat agak kendor, lelah melihat perilaku dan peristiwa masalah di internal institusi penegak hukum itu sendiri,” kata Azmi.

Ia meminta pemerintah dan komisi antirasuah memiliki kemauan besar dalam mengungkap budaya korupsi. Apalagi, kata Azmi, pada lembaga KPK yang perlu berperilaku tegas melakukan tindakan terhadap pelanggaran yang dilakukan internal mereka.

“Diperlukan juga membangun kesadaran masyarakat dengan sosialisasi edukasi budi pekerti dan antikorupsi sejak usia dini,” ujar Azmi.

Baca juga artikel terkait KORUPSI atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Hukum
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Maya Saputri