tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menjadi disorot publik. Kali ini mencuat setelah Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata, mempersoalkan loyalitas pegawai yang menurut membuat sulit pimpinan KPK.
"Sedikit saja saya menekankan ini, sulitnya menjadi pimpinan KPK. Karena apa? Saya nggak tahu penyelidik, penyidik, pegawai KPK itu loyal ke siapa," kata Alex di kompleks Gedung Parlemen saat rapat dengan Komisi III di Jakarta, Senin (1/7/2024).
Alex menilai, hal itu tidak lepas dari status para pegawai yang banyak dipinjam dari berbagai kesatuan di luar KPK. Menurutnya, para pegawai yang bertugas di KPK sewaktu-waktu atau bisa kembali ke kesatuannya masing-masing. Mereka, tambah Alex, berharap mendapat promosi di instansi asalnya.
"Kalau mereka lebih loyal ke pimpinan asalnya, itu sangat manusiawi," ujarnya.
Maka itu, ia mendorong agar ada aturan baru yang mengatur masalah loyalitas pegawai yang bekerja di KPK.
"Kalau masih ada loyalitas ganda, saya pikir ke depan siapapun pimpinannya tidak akan bisa seperti itu (menjaga loyalitas pegawai kepada KPK), saya jamin," kata Alex.
Pernyataan Alex dikritik oleh peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Diky Anandya. Menurutnya, permasalahan yang diutarakan Alex bukan masalah baru. Ia yakin masalah loyalitas ganda para penyelidik, penyidik, maupun penuntut umum di KPK diakibatkan faktor eksternal maupun internal.
Di sisi internal, kata dia, masalah loyalitas tidak lepas dari kegagalan pimpinan KPK dalam mengelola pegawai.
"Dari sisi internal, ICW melihat pimpinan KPK sering kali tidak memiliki wibawa yang cukup untuk menghentikan semua kisruh yang terjadi di internal lembaga," kata Diky, Selasa (2/7/2024).
Menurutnya, masalah klasik mengenai loyalitas ganda penyelidik dan penyidik, juga posisi lainnya, sejatinya dapat diatasi jika Pimpinan KPK dapat mengambil kebijakan untuk merekrut penyidik sendiri atau independen sesuai Pasal 43 dan Pasal 45 UU KPK. Pelaksanaan pasal 43 dan pasal 45 UU KPK akan membuat KPK tidak bergantung pada pegawai dari lembaga penegak hukum lain.
Sementara itu, di sisi eksternal, Diky menyinggung soal posisi penyelidik dan penyidik dari luar instansi KPK yang berimbas pada masalah independensi penegakan hukum. Ia mencontohkan kasus eks Wamenkumham. Eddy Hiariej, yang tidak berjalan optimal.
"Kami mencurigai bahwa terdapat pejabat struktural di Kedeputian Penindakan yang sengaja menghambat penanganan perkara tersebut," kata Diky.
Ia menambahkan, selain masalah penanganan perkara, kondisi eksternal juga mengakibatkan hilangnya independensi KPK dalam mengurus sumber daya manusianya sendiri. Ia menyinggung bahwa ada satu pejabat struktural di Kedeputian Penindakan KPK yang hendak dikembalikan ke instansi asal di masa lalu.
Akan tetapi, pejabat tersebut batal dikembalikan karena instansi asal memperpanjang penugasan. Padahal, pejabat tersebut disinyalir memiliki permasalahan serius, khususnya berkenaan dengan upaya menghambat banyak perkara.
Maka itu, permasalahan SDM menjadi pekerjaan rumah dan tantangan berat bagi pimpinan KPK periode 2024-2029. Ia mengatakan, permasalahan klasik dan laten seperti isu loyalitas ganda seharusnya bisa diminimalisasi seiring dengan penguatan strategi manajemen kelembagaan yang tepat.
Selain itu, ICW menilai masalah loyalitas ganda bukan hanya masalah pimpinan, melaikan juga pemerintah. Ia mendorong agar legislatif dan pemerintah mau mengembalikan independensi KPK dengan merevisi UU KPK yang ada saat ini.
"Tak cukup itu, presiden sebagai panglima pemberantasan korupsi juga diharapkan dapat memimpin orkestrasi pemberantasan korupsi, salah satunya dengan menjamin independensi penegakan hukum yang dilakukan oleh KPK," kata Diky.
Sementara itu, menurut Ketua YLBHI, M. Isnur, permasalahan loyalitas sudah menjadi perbincangan lama di internal KPK, bahkan masuk dalam cetak biru kelembagaan KPK di masa depan lewat kehadiran penyidik independen.
Maka itu, kata dia, wajar bila Novel Baswedan dan sejumlah penyidik kepolisian di KPK pada masa lalu mundur dari Korps Tribrata akibat dugaan intervensi penyidikan dari kepolisian.
"Jadi pentingnya KPK memiliki penyidik dan struktur yang independen, apalagi level pimpinan. Jangan sampai pimpinan itu merupakan wakil lembaga," kata Isnur, Selasa (3/7/2024).
Isnur mengatakan, kasus Firli adalah kecelakaan sejarah karena purnawirawan bintang 3 itu adalah utusan Polri. Kemudian, kinerja pimpinan saat ini tidak lepas dari permasalahan pimpinan di periode 2019-2024. Ia mencontohkan Alex Marwata pernah melamar di KPK, tetapi gagal diterima. Kemudian, Firli juga menjadi pimpinan padahal melanggar etik berat.
Isnur mendorong agar pansel saat ini mencari kandidat yang berintegritas dan tidak memiliki latar belakang melanggar aturan maupun kelembagaan. Selain itu, DPR dan pemerintah juga harus bertanggung jawab atas revisi UU KPK yang dinilai membawa masalah dan melemahkan lembaga antirasuah.
"Jokowi dalam hal ini sangat bertanggung jawab atas melemahnya KPK, dan tentu kita menyerukan waktu itu Perppu pengembalian undang-undang ke undang-undang yang lama, termasuk juga pengembalian para penyidik yang sudah dibuang melalui TWK (Tes Wawasan Kebangsaan), jadi penting sekali mengembalikan KPK seperti situasi yang lama," kata Isnur.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Irfan Teguh Pribadi