tirto.id - Jangan lagi ada kultur kekerasan dalam penanganan perkara yang dilakukan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) ke depan. Jangan kasih ruang bagi impunitas dan kesewenang-wenangan, terhadap kasus dugaan pelanggaran yang dilakukan anggota polisi. Reformasi Polri wajib dijalankan agar tak menjadi jargon kosong berulang. Dibuktikan lewat aksi nyata menjamin keamanan, seraya melindungi, mengayomi, serta melayani masyarakat.
Kita berharap setidaknya kalimat-kalimat di atas dengan lantang dan berani diucapkan oleh Kepala Polri Jenderal (Pol), Listyo Sigit Prabowo, di momen HUT Bhayangkara Ke-78. Hari jadi Korps Bhayangkara, Senin (1/7/2024), mengangkat tema “Polri Presisi Mendukung Percepatan Transformasi Ekonomi yang Inklusif dan Berkelanjutan Menuju Indonesia Emas.” Sayangnya, momen besar itu tak diiringi refleksi terhadap persoalan berulang yang menjangkit tubuh Polri: kultur kekerasan.
Kasus Afif Maulana yang kini jadi sorotan, bocah berusia 13 tahun asal Padang yang diduga tewas lantaran disiksa polisi, seharusnya menjadi tamparan keras kinerja Polri. Sejak awal kasus bergulir, Polda Sumatra Barat (Sumbar) sibuk bersikap defensif atas tudingan ini.
Alih-alih memberikan rasa keadilan penuh pada keluarga korban, Kapolda Sumbar, Inspektur Jenderal Polisi Suharyono, malah tergesa-gesa menutup kasus Afif dengan kesimpulan tidak ada kekerasan yang dilakukan polisi. Polda Sumbar justru gagal fokus sebab berencana mencari orang yang pertama kali memviralkan keterangan bahwa Afif tewas di tangan polisi.
Padahal, Polda Sumbar turut mengakui ada 17 anggotanya yang melanggar prosedur sebab melakukan kekerasan. Awalnya, belasan orang ditangkap dan dibawa polisi karena dituding hendak tawuran. Terdapat anak-anak dalam rombongan yang diamankan ini. Mereka diduga mendapat sundutan rokok, ditendang, disetrum, dan dipaksa berguling hingga muntah saat diinterogasi polisi.
Kapolda Sumbar membantah Afif termasuk salah satu orang yang ikut ditangkap dan dibawa polisi. Afif disebut tewas akibat loncat dari Jembatan Kuranji yang membuat rusuknya patah. Keterangan tersebut bertentangan dengan hasil investigasi LBH Padang. Terdapat dugaan adanya benturan benda tumpul, luka lebam, dan bekas sepatu di perut mendiang Afif.
Selubung misteri kematian Afif yang diduga tewas akibat dianiaya polisi, cuma satu dari sekian banyak kasus serupa yang menyandung lembaga Kepolisian RI. Akar masalahnya ada pada kultur kekerasan yang masih terpelihara di lingkup polisi dalam penanganan dan penegakan perkara. Pembenahan kultural ini bukan hanya mendesak dijalankan, namun darurat dilakukan.
Komisioner Kompolnas, Poengky Indrarti, menilai reformasi kultural di tubuh Polri memang masih membutuhkan waktu, ketimbang reformasi struktural. Secara struktural memang saat ini kedudukan institusi Polri langsung berada di bawah Presiden, sebelumnya di Orde Baru masih di bawah Menhankam/Pangab.
“Karena mengubah mindset dan culture butuh waktu lama. Perlu contoh teladan pimpinan, bimbingan dan pembinaan pimpinan, serta pengawasan melekat pimpinan. Jika pimpinan atau atasan langsung cuek pada anak buah, pastilah anak buah elek-elekan,” kata Poengky kepada reporter Tirto, Selasa (2/7/2024).
Sistem reward and punishment dinilai penting diberlakukan dalam kerja polisi. Polisi yang bersikap baik dan tidak diapresiasi, khawatir mengalami demotivasi. Begitu juga, polisi yang melakukan kesalahan namun tidak dihukum secara tegas pasti akan rusak dan mengulangi perbuatannya.
Pengawasan internal Polri, kata Poengky, harus lebih tegas untuk mengikis kultur kekerasan. Bila diperlukan, dilakukan pengawasan lewat bantuan perangkat modern dalam mendampingi kerja-kerja polisi di lapangan.
“Pemasangan CCTV, video camera dan recorder di ruang interogasi, perlunya CCTV dan lampu terang di ruang tahanan, serta body camera atau dashboard camera bagi polisi yang bertugas,” jelas Poengky.
Sementara itu, peneliti ISESS bidang kepolisian, Bambang Rukminto, memandang momen reformasi yang memisahkan polisi dari tubuh TNI tidak berarti melunturkan kultur lama. Polri malah berperilaku seperti militer, kata dia, bahkan lebih militeristik saat ini dibanding ketika masih berada dalam naungan ABRI di era Orde Baru.
“Homo Orbanicus istilah [dari] Jalaludin Rahmat yakni kepribadian orang atau kelompok di era baru yang meniru perilaku atau kepribadian di era sebelumnya,” kata Bambang kepada reporter Tirto, Selasa (2/7/2024).
Terlebih, saat ini kurikulum pendidikan maupun peraturan Polri masih mengadopsi budaya militeristik Orde Baru. Menurut Bambang, contohnya adalah peraturan disiplin dan etik di tubuh Polri saat ini.
“Sebagai lembaga sipil, harusnya Polri tunduk pada hukum pidana sipil, tetapi faktanya masih ada benteng untuk melindungi anggotanya yang bersalah dari aturan sipil yakni lewat Perkap [Peraturan Kapolri] etik dan disiplin,” ujar Bambang.
Bambang menegaskan, Polri yang profesional tentunya harus bisa menjaga jarak dengan kepentingan-kepentingan di luar tupoksi. Baik dari kepentingan kekuasaan, ekonomi kapital, maupun kepentingan pribadi anggota-anggota polisi di dalamnya.
“Keteladanan itu sangat penting. Bagaimana menjadi penegak hukum profesional bila tidak menegakkan peraturan di internalnya sendiri? Karena faktanya banyak personel pelanggar aturan bahkan tervonis pidana tidak diberi sanksi tegas bahkan masih dilindungi,” terang Bambang.
Upaya Pembenahan
Direktur Imparsial, Gufron Mabruri, memandang untuk bisa menghilangkan kultur kekerasan di tubuh Polri memang diperlukan upaya sistemik. Penegakan hukum yang tegas terhadap anggota yang terbukti melakukan kekerasan hanya salah satu upaya saja.
Dengan kata lain, kata dia, hal tersebut tidak cukup jika tidak dibarengi upaya lain. Misalnya pendidikan dan pelatihan anggota soal hak asasi manusia, serta penguatan pengawasan secara berlapis baik dari internal maupun eksternal Polri.
Polri harus mampu menunjukkan sikap yang terbuka dan responsif, baik pada pandangan, kritik, maupun saran dari masyarakat. Polisi tidak boleh menutup diri, apalagi merespons keluhan masyarakat secara negatif.
Contohnya, dalam kasus kematian Afif Maulana di Padang, salah dan keliru jika yang polisi lakukan justru mengancam orang yang memviralkan kasus tersebut. Pasalnya, memviralkan kasus yang berkaitan dengan kinerja polisi merupakan bagian dari kontrol publik. Langkah polisi harusnya menindaklanjuti kasus ini, bukan sibuk mencari pihak yang memviralkan.
“Kepolisian perlu mendorong akuntabilitas dalam pelaksanaan tugasnya, termasuk ketika terjadi kesalahan, kekeliruan atau penyimpangan. Hal ini menunjukan bahwa kepolisian terbuka termasuk jika kritik dan masukan dari masyarakat,” tutur Gufron.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mendesak Polri dapat menghentikan kekerasan berlebih dan kesewenang-wenangan anggotanya kala bertugas. Aksi represif polisi atas kebebasan sipil dinilai terus berlangsung dan berpotensi melanggengkan impunitas bila Revisi Undang-Undang Polri yang tengah bergulir diloloskan.
“Kapolri seringkali menyatakan akan melakukan perbaikan dan reformasi di tubuh Polri. Tampaknya ini tidak kunjung terwujudkan,” kata Usman kepada reporter Tirto, Selasa (2/7/2024).
Amnesty International Indonesia mencatat dalam periode 2019-2023, sedikitnya 58 kasus penangkapan sewenang-wenang polisi terhadap 412 aktivis pembela HAM. Paling banyak yang ditangkap adalah aktivis politik Papua (174), aktivis mahasiswa (150), dan masyarakat adat (44). Sejumlah jurnalis, aktivis buruh dan lingkungan, hingga petani dan nelayan juga ditangkap saat menggunakan hak untuk berpendapat dan berkumpul.
Penggunaan kekuatan berlebihan seperti tindak kekerasan, serta penggunaan gas air mata dan meriam air juga masih dilakukan aparat polisi dalam menangani kebebasan ekspresi. Bahkan, kata Usman, aparat kepolisian mendominasi kasus-kasus penyiksaan terhadap warga sipil dalam beberapa tahun terakhir.
Pada periode Juli 2019 hingga Juni 2024, Amnesty International Indonesia mencatat aparat Polri terlibat atas dugaan 100 kasus penyiksaan dengan 151 korban dari total 142 kasus dengan 227 korban.
“Polri harus mengakui kalau mereka telah gagal dalam menegakkan hak asasi manusia. Pengakuan ini harus menjadi momentum bagi Polri untuk benar-benar memperbaiki diri,” kata Usman.
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menambahkan, selama periode Juli 2023 sampai Juni 2024 mereka menemukan angka peristiwa kekerasan dan dugaan pelanggaran HAM oleh Kepolisian mengalami peningkatan.
Sepanjang Juli 2023-Juni 2024, tercatat 645 peristiwa kekerasan yang melibatkan anggota Polri. 645 peristiwa kekerasan tersebut menyebabkan 759 korban luka dan 38 korban tewas. Selain itu dalam periode yang sama, tercatat 35 peristiwa extrajudicial killing yang menewaskan 37 orang. Jumlah peristiwa extrajudicial killing yang terjadi juga mengalami kenaikan dibanding tahun sebelumnya, walau jumlah korbannya berkurang.
“Secara umum dapat terlihat tiga faktor penyebab permasalahan yang membuat berbagai tindak kekerasan dan pelanggaran HAM terus terjadi, yakni adanya warisan budaya kekerasan Orde Baru serta minimnya pengawasan dan akuntabilitas serta ego sektoral antar lembaga penegakan hukum,” kata Koordinator KontraS, Dimas Bagus Arya.
Di sisi lain, alih-alih mengambil langkah konkret untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut, pemerintah bersama DPR pada Mei 2024 malah menginisiasi revisi UU Polri. KontraS memandang, substansi dari revisi UU Polri mengandung berbagai pasal yang akan memperburuk ragam masalah. Misalnya potensi terjadinya tumpang tindih kewenangan, malaadministrasi, serta pelanggaran HAM.
“Hal tersebut menunjukkan bahwa agenda revisi perundang-undangan termasuk yang berkaitan dengan sektor keamanan makin jauh dari kepentingan publik,” tegas Dimas.
Dalam sambutannya di acara HUT Bhayangkara ke-78 Polri di Lapangan Monas, Jakarta, Senin (1/7/2024), Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo, menyatakan komitmen Polri untuk terus mengabdi tanpa henti kepada masyarakat bangsa dan negara untuk kemajuan Indonesia.
Dalam momen itu, ia juga menyampaikan permohonan maaf sebab Polri masih banyak kekurangan dalam melaksanakan tugas. Listyo berkomitmen terus membuka ruang kritik bagi masyarakat demi perbaikan lembaga kepolisian.
“Kami terus berkomitmen untuk membuka ruang kritik saran serta aspirasi dalam rangka evaluasi dan perbaikan organisasi sehingga dapat terus melakukan setapak perubahan demi mewujudkan Polri yang dicintai sesuai harapan masyarakat,” ucap Listyo.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz