Menuju konten utama

Saat Angka Kemiskinan di Wilayah Penghasil Tambang Masih Tinggi

Fenomena tingkat kemiskinan di daerah tambang ini merupakan isu kompleks yang perlu diselesaikan secara holistik.

Saat Angka Kemiskinan di Wilayah Penghasil Tambang Masih Tinggi
Foto udara alat berat memuat batu bara di tempat penampungan batu bara, tepi Sungai Batanghari, Muaro Jambi, Jambi, Kamis (20/6/2024). ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan/foc.

tirto.id - Potensi akan Sumber Daya Alam (SDA) yang berlimpah, sewajarnya dapat menyejahterakan warganya. Sayangnya, ini belum terjadi di sebagian wilayah atau provinsi dengan perekonomian penghasil tambang. Karena faktanya angka kemiskinan, kesejahteraan, dan pengangguran di daerah pertambangan masih cukup tinggi.

“Secara umum, capaian indikator kemiskinan, ketimpangan, dan pengangguran di provinsi dengan dominasi sektor pertambangan masih belum memuaskan,” ujar Deputi Ekonomi Kementerian PPN/Bappenas, Amalia Adininggar Widyasanti, pada acara ‘Diskusi dan Peluncuran Riset Greenpeace,’ di Jakarta, Rabu (26/6/2024)

Mengutip booklet tambang nikel 2020 [PDF], sedikitnya terdapat tujuh provinsi tempat berdirinya tambang nikel berdasarkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang dikantongi perusahaannya. Di antaranya Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat.

Dari beberapa wilayah itu hampir seluruh provinsi pertambangan yang disebutkan di atas mengalami peningkatan persentase kemiskinan sepanjang September 2022-Maret 2023. Hanya ada dua provinsi dengan penurunan persentase kemiskinan, yakni Papua Barat dan Papua. Hal ini bisa dilihat melalui laporan kemiskinan yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) hingga Maret 2023.

Jika diperhatikan, jumlah penduduk miskin di Papua Barat pada Maret 2023 mencapai 214,98 ribu orang (20,49 persen), posisi ini turun 7,38 ribu orang (0,94 persen) dibandingkan September 2022. Sementara jika dibandingkan dengan Maret 2022, jumlah penduduk miskin turun 3,80 ribu orang.

Penduduk miskin di Provinsi Papua pada Maret 2023 tercatat mencapai 915,15 ribu orang. Dibandingkan keadaan September 2022, jumlah penduduk miskin juga mengalami penurunan sebesar 21,2 ribu orang. Sementara jika dibandingkan dengan September 2021, jumlah penduduk miskin menurun sebanyak 8,17 ribu orang.

Sementara lima provinsi lainnya justru mengalami peningkatan. Maluku misalnya, presentase penduduk miskin di wilayah tersebut pada Maret 2023 sebesar 16,42 persen atau 301,61 ribu orang. Posisi ini naik 0,19 persen poin (4,95 ribu orang) terhadap September 2022 dan naik 0,45 persen poin terhadap Maret 2022.

Di Maluku Utara, angka kemiskinan pada Maret 2023 mencapai 83,80 ribu orang. Dibandingkan September 2022, jumlah penduduk miskin naik 1,66 ribu orang. Sementara jika dibandingkan dengan Maret 2022, jumlah penduduk miskin naik sebanyak 3,93 ribu orang.

Sedangkan untuk Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Selatan angka kemiskinan pada Maret 2023 dibandingkan September 2022 masing-masing berada di 321,53 ribu orang (naik 6,79 ribu orang), 395,66 ribu orang (naik 5,95 ribu orang), dan 788,85 ribu orang (naik sebesar 1,141 ribu orang).

Amalia menuturkan, provinsi dengan sektor pertambangan yang masih memiliki masalah kemiskinan memang masih terjadi seperti di Sulawesi Tengah dan Maluku Utara. Penyebabnya, produk pertambangan yang dihasilkan belum mampu untuk di hilirisasi, melainkan hanya mengekspor bahan mentah.

“Sulawesi Tengah masih ada masalah kemiskinan, juga di Maluku Utara,” imbuh Amalia.

Di luar itu, menurut Amalia, terdapat lima provinsi dengan pembagian perekonomian sektor pertambangan terbesar di Tanah Air. Di antaranya adalah Kalimantan Timur 43,1 persen, Provinsi Papua 39,6 persen, Kalimantan Utara 34,1 persen, Kalimantan Selatan 30,8 persen, Sumatra Selatan 26,6 persen. Sektor tambang di wilayah disebutkan tersebut didominasi emas dan batu bara.

“Daerah yang dengan dominasi sektor pertambangan ternyata masih memang menghadapi tantangan, kita akui,” ungkap dia.

Beda dengan Bappenas, Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kemenko Marves, Septian Hario Seto, justru mengatakan secara tren atau data terakhir 2023, angka kemiskinan di area pertambangan angkanya menurun. Meskipun diakui sempat naik saat pandemi COVID-19.

“Memang sempat naik karena COVID, tapi 2023 trennya menurun,” ujar dia kepada Tirto, Kamis (27/6/2024).

Septian lantas membandingkan data persentase penduduk miskin dari 2015 ke 2023 untuk Sulawesi Tengah misalnya, turun dari 14,66 persen di 2015 menjadi 12,41 persen di 2023. Kemudian Maluku Utara dari 6, 84 persen di 2015 menjadi 6,46 persen di 2023.

Selanjutnya untuk di Kabupaten Morowali angka kemiskinannya turun dari 15, 8 persen di 2015 menjadi 12,31 persen di 2023. Dan Halmahera Tengah turun dari 15,23 persen di 2015 menjadi 11,44 persen di 2023.

Sementara untuk angka gini ratio-nya sendiri untuk Sulawesi Tengah juga tercatat turun dari 0,374 di 2015 menjadi 0,304 di 2023. Sedangkan di Maluku Utara turun dari 0,320 di 2015 menjadi 0,300 di 2023.

“Saya tidak tahu data Bappenas dari mana,” ujar dia.

KEBIJAKAN PELARANGAN EKSPOR NIKEL

Kendaraan truk melakukan aktivitas pengangkutan ore nikel ke kapal tongkang di salah satu perusahaan pertambangan di Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, Rabu (6/11/2019). ANTARA FOTO/Jojon/foc.

Masalah Kompleks

Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Melky Nahar, mengatakan sedari awal pertambangan itu adalah model ekonomi yang padat modal dan teknologi. Maka ia tidak akan berdampak pada kesejahteraan warga lokal.

“Yang untung, ya, tentu saja para pelaku bisnis dan elite politik yang punya kewenangan menerbitkan izin dan terlibat secara langsung dan tidak langsung dalam rantai bisnis pertambangan,” jelas dia kepada Tirto, Kamis (27/6/2024).

Bappenas, kata Melky, semestinya paham itu, dan dengan demikian mesti merancang dan merencanakan pembangunan yang bottom up, bukan top down.

“Kami kemudian menangkap pesan bahwa Bappenas, sebagaimana institusi lainnya, memang bekerja untuk melayani kepentingan pemodal. Ia tak peduli dengan sektor lain yang banyak menyerap lapangan kerja, semisal pertanian dan perikanan. Semua mau diserahkan kepada investor,” kata dia.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Energy Watch, Daymas Arangga Radiandra, melihat fenomena tingkat kemiskinan di daerah tambang ini merupakan isu kompleks yang perlu diselesaikan secara holistik. Karena ada beberapa faktor penyebab yang setidaknya perlu diidentifikasi dalam persoalan ini.

Pertama, kata Daymas, biasanya sektor pertambangan sering kali didominasi oleh perusahaan berskala besar yang keuntungannya tidak selalu ke masyarakat lokal. Akan tetapi, justru terkonsentrasi di tingkat perusahaan atau pemegang saham.

Kedua, kata dia, keterbatasan lapangan pekerjaan. Meskipun sektor pertambangan dapat menciptakan dan menyerap lapangan pekerjaan, seringkali posisi-posisi tersebut membutuhkan keahlian khusus yang tidak dimiliki oleh masyarakat sekitar.

“Hal ini menyebabkan masyarakat lokal hanya mendapatkan pekerjaan low-skilled/unskilled labour dengan upah rendah atau tidak mendapatkan pekerjaan sama sekali,” kata dia kepada Tirto, Kamis (27/6/2024).

Kepala Center of Food, Energy and Sustainable Development di Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Abra Talattov, menambahkan, masih tingginya angka kemiskinan di daerah penghasil tambang ini merupakan bentuk tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah. Karena pertambangan ini sebetulnya menjadi isu sektor yang sangat diandalkan pemerintah. Terutama dalam sumber pundi pendapatan negara, baik dalam bentuk pajak maupun Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

“Sebetulnya secara modalitas untuk mendanai pembangunan maupun pemerataan kesejahteraan di daerah-daerah sektor pertambangan itu sudah memadai dari hasil pendapatan maupun royalti yang dikembalikan kepada negara,” kata Abra saat dihubungi Tirto, Kamis (27/6/2024).

Namun, kata Abra, persoalan di lapangan justru terjadi ketidakcocokan antara sumber pendapatan dengan belanjanya. Padahal seharusnya penerimaan yang berasal dari sektor pertambangan ini bisa difokuskan untuk meningkatkan kesejahteraan dan pendapatan masyarakat di area sektor pertambangan.

“Nah ini saya melihat kebijakan pemerintah ini belum ada yang fokus ke arah sana,” ujar dia.

Presiden tinjau proyek hilirisasi SGAR

Presiden Joko Widodo (kedua kiri) didampingi Menteri BUMN Erick Tohir (kiri), Direktur Utama PT Mineral Industri Indonesia (Persero) Hendi Prio Santoso (kedua kanan) dan Direktur Utama PT INALUM Danny Praditya saat meninjau Smelter Grade Alumina Refinery (SGAR) Phase 1 di Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat, Rabu (20/3/2024). ANTARA FOTO/Jessica Wuysang/rwa.

Dia mencontohkan penerimaan lain yang berasal dari cukai rokok. Selama ini, penerimaan di sektor cukai rokok sebagian digunakan atau diarahkan untuk mendanai sektor kesehatan. Semestinya, pendapatan dari sektor pertambangan ini juga perlu ada komitmen tegas dari pemerintah, minimal ada alokasi yang dedicated untuk kesejahteraan masyarakat di area tambang.

“Nah ini yang saya melihat akhirnya pemerintah daerah ketika mendapatkan PAD (Pajak Asli Daerah) bagi hasilnya dari sektor pertambangan dana itu digunakan untuk macam keperluan. Dan justru tidak fokus kepada pembangunan dan dikembalikan ke pada daerah area pertambangan. Itu dari sisi kebijakan,” jelas dia.

Selain dari sisi kebijakan, menurut Abra, ada tanggung jawab sosial juga dari pungutan di sektor pertambangan untuk bisa turut berperan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Salah satunya adalah perlunya rekrutmen tenaga kerja lokal.

“Makanya yang menimbulkan ketimpangan dan kemiskinan itu tetap tinggi di daerah pertambangan karena penyerapan tenaga kerja bagi masyarakat lokal masih belum memadai,” ujar Abra.

Dalam konteks ini, selalu alasan perusahaan adalah masyarakat lokal dianggap belum punya kapasitas dan memiliki skill cukup untuk bisa support sektor pertambangan, khususnya jika kita bicara hilirisasi pabrik smelter. "Selalu argumentasi seperti itu," imbuhnya.

Padahal seharusnya dari awal ketika pemerintah memberikan konsesi dan mau menggelar karpet merah bagi investor pertambangan, di peta jalannya mesti ada koneksi bagaimana pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) di wilayah setempat.

Pengembangan SDM tersebut, kata Abra, nantinya akan menyambung juga dengan support pemerintah dalam sektor pendidikannya seperti apa. Terutama untuk meningkatkan kapasitas dan kualitas SDM masyarakat setempat, sehingga nantinya bisa berdaya dan berkontribusi di sektor pertambangan.

“Itu kan kita punya harapan sektor pertambangan di daerah itu nantinya dalam jangka panjang bisa dikelola oleh warga setempat, pengusaha lokal, dengan adanya keterlibatan mereka sejak awal,” kata dia.

Hanya saja mungkin, kata Abra, dalam fase awal-awal Indonesia masih butuh investor luar. Tetapi dalam jangka panjang pemerintah harus punya target jelas sampai berapa puluh tahun nantinya akan ada transfer of Investment menuju pengusaha lokal.

“Jadi mereka [masyarakat dan pengusaha lokal] menjadi raja di negerinya sendiri dan bukan tamu di tempatnya sendiri,” kata dia.

Kemudian hal lain yang perlu juga dilihat adalah bagaimana efek multiplier dari sektor pertambangan itu bisa dirasakan oleh masyarakat sekitar khususnya bagi UMKM. Karena pertanyaan apakah selama ini dalam rantai bisnis di sektor pertambangan ada keterkaitan dengan pergerakan sektor riil ataupun UMKM di daerah setempat?

“Untuk kebutuhan dasar misalkan untuk makanan dan keperluan pekerja di sektor pertambangan apakah selama ini juga sudah disupport oleh UMKM daerah setempat. Artinya peran dari pemerintah daerah juga untuk bisa fasilitasi bisa memastikan UMKM juga turut merasakan manfaat dari geliat ekonomi sektor pertambangan di daerah tersebut,” jelas dia.

Baca juga artikel terkait KEMISKINAN atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz