Menuju konten utama

Kans MK Kabulkan Uji Materi UU Tapera: Tabungan Bukan Kewajiban

Charles mengatakan frasa "wajib iuran Tapera" bertentangan dengan konsep tabungan yang ranahnya adalah hak warga negara.

Kans MK Kabulkan Uji Materi UU Tapera: Tabungan Bukan Kewajiban
Perwakilan buruh yang tergabung dalan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Sulsel berorasi saat berunjuk rasa di depan kantor DPRD Sulawesi Selatan di Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis (20/6/2024). ANTARA FOTO/Arnas Padda/foc.

tirto.id - Kebijakan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang belakangan menjadi bola panas bagi pekerja dan dunia usaha resmi digugat ke Mahkamah Konstitusi. Seorang karyawan swasta bernama Leonardo Olefins Hamonangan dan pelaku usaha Ricky Donny Lamhot Marpaung resmi mengajukan permohonan uji materi atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).

Gugatan didaftarkan pada Selasa (18/6/2024). Permohonan tercatat dalam Akta Pengajuan Permohonan Pemohon (AP3) nomor 75/PUU/PAN.MK/AP3/06/2024.

Pemohon mempermasalahkan dan menggugat Pasal 7 ayat (1) yang berbunyi: Setiap Pekerja dan Pekerja Mandiri yang berpenghasilan paling sedikit sebesar upah minimum wajib menjadi Peserta. Gugatan juga dilayangkan ke Pasal 7 ayat (3), berbunyi: Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) telah berusia paling rendah 20 tahun atau sudah kawin pada saat mendaftar.

Pemohon juga menggugat Pasal 72 ayat (1) terkait sanksi administratif bagi peserta hingga pemberi kerja dengan pembekuan izin usaha dan pencabutan izin usaha.

Kedua pemohon menilai UU Tapera berpotensi merugikan karena unsur kewajiban di dalam kepesertaan tabungan perumahan. Pemohon juga menyoroti pemotongan gaji sebesar 3 persen untuk simpanan Tapera.

Pemotongan dari tabungan pegawai ataupun pelaku usaha juga dinilai sebagai beban finansial karena pekerja sudah mendapat banyak potongan gaji untuk jaminan sosial.

Tidak hanya itu, kedua pemohon juga menyoroti Pasal 7 ayat (3) yang memiliki ketidakpastian hukum soal siapa yang harus menjadi peserta Tapera. Pemohon menilai tidak semua pekerja memerlukan program dari Tapera.

Poin penting yang ditekankan oleh pemohon yakni program Tapera yang belum menjadi kebutuhan penting. Urgensi kepesertaan Tapera tak bisa disamakan dengan BPJS yang diperlukan masyarakat, terutama yang sewaktu-waktu terbebani dengan biaya rumah sakit dan obat.

Lebih lanjut, adanya program Tapera diproyeksikan akan berakibat pada dampak berkurangnya minat masyarakat menjadi pelaku usaha, karena sektor non formal tersebut juga diwajibkan menjadi peserta.

Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menilai gugatan ini sudah cukup tepat karena memang frasa 'wajib peserta' bermasalah dan menimbulkan kerugian bagi peserta, dan ekonomi secara makro. Maka sudah benar diubah ke dalam frasa sukarela alih-alih kewajiban.

“Jika konsepnya sukarela, maka yang ingin menjadi peserta Tapera adalah mereka yang mendapatkan manfaat dari tabungan tersebut,” ujar dia kepada Tirto, Senin (24/6/2024).

Sedangkan, kata Huda, tidak ada manfaat bagi peserta BP Tapera yang hanya menjadi penabung. Maka tidak ada unsur keadilan jika frasanya adalah 'wajib. "Sudah selayaknya diganti frasanya," pinta Huda.

Sedari awal, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan, mengatakan kebijakan Tapera bagi pekerja ini telah melanggar hak konstitusi rakyat dalam menentukan pilihan atas kebutuhannya sendiri. Dia bahkan menyebut rezim saat ini terus membuat peraturan tanpa memikirkan kepentingan rakyat.

“Di ujung kekuasaannya, Jokowi masih mau menambah beban rakyat, menambah derita rakyat. Dengan cara memaksa rakyat menabung untuk perumahan rakyat," kata Anthony, kepada Tirto, Senin (24/6/2024).

Perubahan PP tentang penyelenggaraan Tapera

Petugas melayani peserta tabungan perumahan rakyat (Tapera) di Kantor Pelayanan Badan Pengelola Tapera, Jakarta, Kamis (30/5/2024). Presiden Joko Widodo menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang perubahan atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Tapera sebagai upaya untuk meningkatkan efektivitas penyelenggaraan dan akuntabilitas pengelolaan dana Tapera. ANTARA FOTO/Bayu Pratama S/nym.

Tabungan Tapera Harus Sukarela, Bukan Wajib!

Anthony mengatakan, apa yang dilakukan Leonardo Olefins Hamonangan dan Ricky Dony Lamhot Marpaung selaku pemohon I dan II yang mengajukan uji materi atau menggugat ke MK sudah cukup tepat. Sebab, pada prinsipnya jika Tapera sifatnya adalah iuran tabungan, maka tidak diwajibkan.

“Tabungan tidak boleh diwajibkan kepada rakyat,” tegas Anthony.

Oleh karena itu, Anthony mendesak pemerintah untuk membatalkan kebijakan yang tidak manusiawi itu. Hal ini karena telah melanggar hak masyarakat.

“Menabung adalah pilihan. Pilihan untuk konsumsi hari ini atau konsumsi di masa depan. Pilihan tersebut merupakan hak rakyat. Tidak ada pihak lain, termasuk pemerintah, yang boleh merampas hak tersebut, dengan alasan apa pun,” tegas dia.

Pakar Hukum Tata Negara (HTN) dari Universitas Andalas (Unand), Charles Simabura, juga menilai langkah uji materi UU Tapera di MK sudah tepat. Sebab, dia melihat frasa wajib iuran Tapera bertentangan dengan konsep tabungan yang ranahnya adalah hak warga negara.

“Ini bukan suatu seperti pajak, iuran atau pungutan yang bersifat wajib sebagai bentuk partisipasi warga negara,” jelas dia kepada Tirto.

Menurut dia, kebijakan Tapera ini bertentangan dan melanggar konstitusi. Hal ini karena kebijakan tersebut memberikan beban tambahan bagi masyarakat dengan nomenklatur tabungan yang mestinya sukarela.

“Jadi jika akan didefinisikan sebagai tabungan. Maka tidak boleh bersifat wajib,” imbuh dia.

Sementara itu, pakar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada (UGM), Yance Arizona, mengatakan UU Tapera jelas melanggar prinsip Free Prior and Informed Consent (FPIC), yang mewajibkan pemerintah untuk memberikan informasi yang berimbang. Di mana pemerintah harusnya secara terbuka dan memberikan keleluasaan bagi warga untuk ikut atau tidak ikut dalam program yang dijalankan oleh pemerintah.

“Saya menilai JR (Judicial Review) ini sudah tepat karena suatu kebijakan pemerintah yang memberikan beban kepada warga seharusnya dibuat dengan proses konsultasi dan partisipasi warga," jelas dia kepada Tirto, Senin (24/6/2024).

Aksi buruh tolak Tapera di Surabaya

Sejumlah pengunjiuk rasa dari berbagai elemen buruh membentangkan poster saat unjuk rasa di Surabaya, Jawa Timur, Kamis (13/6/2024). ANTARA FOTO/Didik Suhartono/tom.

Peluang Dikabulkan Besar

Yance melanjutkan, dengan cacatnya proses maupun materiil kebijakan Tapera, maka tentu pengujian UU ini memiliki peluang untuk dikabulkan. Apalagi, kata dia, jika dilihat UU ini berkaitan dengan permasalahan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Hak Ekosob) yang agak jauh dari nuansa politik elektoral.

“Dalam pengujian undang-undang seperti ini kita bisa berharap MK akan lebih objektif," jelas dia.

Namun, lanjut dia, semuanya juga akan sangat tergantung dengan bagaimana para pemohon menyampaikan bukti dan ahli yang bisa memberikan keyakinan kepada hakim konstitusi untuk mengabulkan permohonannya.

Senada dengan Yance, Charles juga meyakini MK akan kabulkan gugatan pemohon tersebut. Karena dalam pemahaman awam saja, jelas itu membebani para pekerja. Kecuali beban tersebut dialihkan menjadi tanggung jawab negara melalui subsidi misalnya.

Pernyataan keduanya juga diamini oleh Nailul Huda. Menurut Huda, dengan penjelasan yang tepat, maka gugatan atau uji materi UU Tapera ini bisa dikabulkan. Terlebih pada awalnya konsep tabungan ini adalah konsep sukarela.

“Jadi sukarela mau nabung di mana saja, di bank, bawah bantal, koperasi, bahkan BP Tapera. Maka konsep sukarela sudah tepat dibandingkan konsep wajib,” kata Huda.

Terlepas dari itu, Komisioner Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera), Heru Pudyo Nugroho, mengatakan pihaknya menghormati aspirasi masyarakat untuk mengajukan judicial review terhadap UU Nomor 4/2016. BP Tapera juga akan mengikuti prosesnya di MK dengan dikoordinasikan oleh kementerian terkait.

“BP Tapera menghormati aspirasi masyarakat untuk mengajukan judicial review terhadap UU No 4/2016," imbuh Heru kepada Tirto, Senin (24/6/2024).

Baca juga artikel terkait TAPERA atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Hukum
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz