tirto.id - Pemerintah tengah mengkaji untuk menunda implementasi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Isyarat penundaan ini disampaikan oleh Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Basuki Hadimuljono, usai mendengar seluruh masukan dan protes dari berbagai elemen masyarakat, buruh, dan pengusaha.
Basuki mengatakan, Undang-Undang yang menjadi dasar penerbitan PP 21 Tahun 2024, yakni Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 telah terbit sejak 2016. Tetapi, dia mengakui sosialisasi kepada masyarakat tidak berjalan maksimal sehingga tak heran muncul banyak gelombang penolakan.
“Menurut saya pribadi, kalau memang ini belum siap, kenapa kita harus tergesa-gesa? Kenapa kita harus saling berbenturan gini?” ujar Basuki saat ditemui di Kompleks Parlemen usai rapat kerja bersama Komisi V DPR RI, Kamis (6/6/2024).
Basuki menuturkan seharusnya Badan Pengelola (BP) Tapera harus memupuk terlebih dulu kepercayaan masyarakat kepada mereka. Mengingat yang selama ini dipermasalahkan adalah soal kepercayaan.
"Jadi effort-nya dengan kemarahan ini saya menyesal betul," imbuh Basuki.
Dalam PP 21/2024, pemerintah mewajibkan pekerja baik mandiri maupun swasta ikut menjadi peserta Tapera. Sebagai konsekuensi keikutsertaan menjadi peserta itu, para pekerja harus membayar iuran 3 persen dari gaji. Rinciannya adalah 0,5 persen dibayar pengusaha sementara 2,5 persen dibayar pekerja. Sedangkan bagi pekerja mandiri iuran 3 persen ditanggung secara pribadi.
Namun di tengah jalan, kebijakan tersebut justru banyak penolakan. Selain karena masalah 'kewajiban' ada beberapa hal-hal teknis yang menurut Basuki tidak tersampaikan dengan baik. Salah satunya, bagi sudah memiliki rumah mereka bisa mengambil iuran atau tabungan Tapera tersebut.
"Sosialisasi ini yang kami mungkin juga lemah, belum begitu kuat. Jadi, kalau apalagi DPR, MPR minta diundur, menurut saya, saya sudah kontak dengan Bu Menteri Keuangan juga, kita akan mundur,” kata Basuki.
Jika diperhatikan, setiap kali terjadi gelombang protes terhadap kebijakan yang dianggap tidak pro terhadap rakyat, pemerintah selalu meredam dengan sikap 'penundaan'. Padahal menunda itu bukan berarti menyelesaikan akar masalah dari kebijakan yang sudah disusun.
Dalam catatan Tirto, di akhir-akhir masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ada beberapa kebijakan yang ditunda akibat adanya berbagai desakan atau penolakan. Misalnya permasalahan kenaikan uang kuliah tunggal (UKT) dan sertifikasi wajib halal bagi UKM.
Penundaan kenaikan UKT diputuskan Menteri Pendidikan, Budaya, Riset dan Teknologi, Nadiem Makarim, setelah dirinya mendengar aspirasi semua pihak soal UKT, termasuk bertemu dengan para rektor sehari sebelum bertemu Jokowi. Nadiem mengakui kenaikan UKT di beberapa daerah mencemaskan.
Serupa dengan UKT, kewajiban sertifikasi halal bagi pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) juga ikut ditunda dari sebelumnya Oktober 2024, menjadi 2026. Keputusan tersebut, diambil dalam Rapat Internal Percepatan Kewajiban Sertifikasi Halal dan Perkembangan RPP Jaminan Produk Halal yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Merdeka.
Aturan wajib sertifikat halal pada 2026 berlaku untuk usaha mikro dengan nilai penjualan mencapai Rp1-2 miliar dan usaha mikro kecil dengan nilai penjualan Rp15 miliar. Sementara, untuk pelaku usaha dengan nilai penjualan di atas Rp15 miliar, sertifikasi halal ini, tetap berlaku mulai 17 Oktober 2024 mendatang.
Bukan Hanya Ditunda, Sebaiknya UU Direvisi
Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menilai, penundaan iuran Tapera tidak akan menyelesaikan akar permasalahan dan gelombang protes masyarakat. Dia menuturkan sebaiknya Undang-Undang harus direvisi total terutama soal pekerja mandiri dan pekerja swasta hanya bersifat sukarela.
"Jadi jangan kemudian di 2027 muncul lagi isunya mau diwajibkan menabung di Tapera. Perdebatan soal ini harus diakhiri," kata Bhima kepada Tirto, Jumat (7/6/2024)
Bhima mengatakan, pemerintah dalam hal ini harus melihat masalah fundamental perumahan seperti mahalnya suku bunga, ketidakmampuan menyediakan lahan murah, dan tidak mampu mengatur spekulasi lahan. Jika semua itu belum teratasi maka tidak akan menyelesaikan persoalan perumahan rakyat.
"Kalau masalah fundamentalnya belum beres, masyarakat tetap akan skeptis soal Tapera," imbuh Bhima.
Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menambahkan penundaan pelaksanaan iuran wajib Tapera ini telah menjadi bukti gelombang penolakan dilakukan aktivis dan masyarakat didengar oleh pemerintah. Artinya, implementasi untuk pendaftaran peserta Tapera belum akan dilakukan hingga waktu tertentu.
Tetapi, Celios terus mendesak pemerintah untuk mengubah kebijakan terkait dengan Tapera. Karena, perubahan aturan diperlukan untuk mengganti diksi kewajiban menjadi sukarela.
"Kemudian sistem tabungan dan investasi pun diubah menjadi lebih likuid dengan pengambilan dana yang fleksibel, bukan lagi untuk dana pensiun atau hari tua," kata Nailul, kepada Tirto, Jumat (7/6/2024).
Bila perlu, pihaknya juga akan mendorong atau mengambil langkah hukum untuk melakukan Judicial Review ke Mahkamah Agung (MA) hingga Mahkamah Konstitusi (MK) terkait peraturan perundangan terkait Tapera.
"Atau kita mendesak pemerintah mengeluarkan revisi UU hingga PP terkait Tapera," ujar Nailul.
Alasan yang Melatari Tapera Ditolak
Direktur Institute For Demographic and Poverty Studies (IDEAS), Yusuf Wibisono, melihat terbitnya kebijakan mewajibkan iuran Tapera yang diperluas ke pegawai swasta dan pekerja mandiri telah mendapat banyak penolakan keras. Ini terjadi bahkan tidak hanya dari sisi pekerja namun juga dari pengusaha.
"Ada banyak alasan yang melatari hal ini," ujar Yusuf kepada Tirto, Jumat (7/6/2025).
Alasan pertama, karena kebutuhan terhadap pembiayaan perumahan tidak dialami semua pekerja. Dia menilai sebagian besar masyarakat sekitar 82 persen sudah terkategori memiliki rumah sendiri dan hanya sekitar 18 persen keluarga Indonesia yang terkategori belum memiliki rumah.
"Sebagian besar pekerja akan merasa dirugikan jika diwajibkan membayar iuran dalam waktu panjang, dan menghadapi ketidakpastian tentang jumlah dana yang akan mereka terima di masa depan," kata Yusuf.
Kedua, soal tata kelola pengelolaan dana publik oleh pemerintah selama ini buruk sehingga wajar jika kepercayaan publik terhadap program iuran Tapera ini rendah. Karena, jika berkaca pengalaman dari program Bapertarum tidak sedikit peserta yang setelah pensiun mengalami kesulitan mengambil dana tabungan mereka.
Terlihat dalam beberapa tahun terakhir, publik melihat terbongkar kasus-kasus mega korupsi dalam pengelolaan dana publik yang mengakibatkan kerugian hingga puluhan triliun rupiah di Jiwasraya, Asabri, dan Taspen.
Persoalan ketiga, pekerja dan pengusaha sudah dibebani dengan potongan yang banyak. Mulai dari potongan PPh 21, iuran jaminan kesehatan, ketenagakerjaan hingga cadangan untuk pesangon. Program Tapera, ini justru akan menjadi beban baru.
"Tambahan potongan untuk Tapera ini akan semakin memberatkan pekerja dan pengusaha," ujar Yusuf.
Keempat, dia menilai kebijakan tersebut tidak sesuai dengan waktu saat ini. Yusuf menilai pasca Undang-Undang Cipta Kerja, kenaikan upah buruh sangat rendah, bahkan tak mampu sekedar mengimbangi inflasi.
Dengan daya beli dan kesejahteraan yang semakin menurun dalam empat tahun terakhir di bawah rezim Undang-Undang Cipta Kerja, maka pemotongan gaji pekerja untuk Tapera akan semakin menekan daya beli pekerja yang sudah lemah.
Lebih jauh, kebijakan ini juga akan menambah beban dan memperburuk daya saing pengusaha. Tanpa kebijakan ini saja daya saing dunia usaha banyak yang sudah lemah, bahkan tidak sedikit pabrik besar yang harus melakukan PHK massal karena mengalami kebangkrutan.
"Selayaknya pemerintah meninjau ulang kebijakan potongan untuk Tapera ini dan lebih berfokus pada upaya langsung untuk memenuhi kebutuhan rumah 18 persen keluarga Indonesia menuju zero backlog," kata Yusuf.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Intan Umbari Prihatin