tirto.id - Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) menolak diwajibkannya para guru mengikuti program tabungan perumahan rakyat (Tapera). Penolakan tersebut bukan tanpa alasan, tapi berdasarkan kajian.
Koordinator Nasional P2G, Satriawan Salim, menyebutkan para guru cemas atas rencana Tapera. Utamanya, para guru swasta dan honorer atau non-aparatur sipil negara (ASN). Mereka tergolong sebagai pekerja mandiri.
“Para guru swasta dan honorer merasa cemas karena lagi-lagi akan terjadi pemotongan gaji,” kata Satriawan dalam keterangan yang diterima, Kamis (6/5/2024).
Kemudian, para guru mencemaskan apakah dana Tapera bisa dicairkan atau tidak. Sebab, kata Satriawan, belum jelas apakah ada yang sudah terbukti bisa mendapatkan rumah setelah menabung di Tapera.
Lalu, kondisi kesejahteraan guru masih belum stabil. Bahkan bisa dikatakan minimalis, dengan gaji yang termasuk paling rendah dibanding profesi lain. Survei Kesejahteraan Guru yang dilakukan oleh P2G pada 2024 menunjukan bahwa 42,4 persen guru gaji per bulannya di bawah Rp2 juta.
Dari survei yang sama ditemukan 74,3 persen penghasilan guru honorer atau kontrak di bawah Rp2 juta rupiah. Sementara itu, gaji guru yang berkisar antara Rp2juta-Rp3 juta sebesar 12,3 persen, Rp3juta-Rp4 juta sebanyak 7,6 persen, Rp4-Rp5 juta sebanyak 4,2 persen dan di atas Rp5 juta hanya 0,8 persen.
Sedangkan, UU Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat, menyebutkan bahwa setiap pekerja dan pekerja mandiri yang berpenghasilan paling sedikit sebesar upah minimum wajib menjadi peserta.
“Nah, jika guru tersebut berada di wilayah provinsi dengan upah minimum Rp2 juta, seperti Jawa Tengah dan DIY, mereka dianggap layak ikut Tapera. Padahal dengan gaji sekecil itu, mereka masih harus dipotong Tapera dan banyak potongan lainnya,” sebut Satriwan.
Alasan lain, para guru khawatir dan menolak adalah takut nasib Tapera akan seperti asuransi Asabri dan Jiwasraya yang dikorupsi besar-besaran.
Kabid Advokasi P2G, Iman Zanatul Haeri, menyatakan bahwa gaji guru non-ASN banyak dipotong dengan berbagai jenis potongan. Tapera akan menjadi beban tambahan bagi guru dengan gaji yang sangat kecil.
“Coba bayangkan, dengan gaji hanya Rp2 juta, lalu dipotong BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan, Iuran Wajib Bulanan Organisasi Profesi Guru, Koperasi Sekolah, pemotongan karena ada utang, dan lainnya. Ditambah Tapera untuk tabungan perumahan yang rumahnya juga belum jelas,” ucap Iman.
Karena itu, P2G menrekomendasikan sejumlah hal agar tapera tidak menjadi beban tambahan bagi guru. Pertama, pemerintah sebaiknya membuat program kredit perumahan guru yang murah dan terjangkau.
Kedua, pemerintah seharusnya membuat standar upah minimum guru yang berlaku secara nasional. Hal ini akan meringankan guru yang gajinya banyak dipotong. Ketiga, Iman melanjutkan, pemerintah hendaknya tidak mempersulit profesi guru.
“Justru UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen memerintahkan negara agar memenuhi hak-hak guru di antaranya, guru berhak memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial. Yang terjadi sekarang malah sebaliknya, penghasilannya sangat minimum dengan potongan-potongan yang maksimum,” urai Iman.
Penulis: Muhammad Naufal
Editor: Abdul Aziz