Menuju konten utama

Nestapa Ojol: Lemah Terhadap Perlindungan & Dipaksa Ikut Tapera

CORE menilai kewajiban iuran Tapera tidak bisa disamaratakan untuk kalangan pekerja dengan penghasilan menengah ke bawah.

Nestapa Ojol: Lemah Terhadap Perlindungan & Dipaksa Ikut Tapera
Pengemudi ojek online menunggu penumpang di kawasan Pasar Anyar, Kota Tangerang, Banten, Rabu (11/3/2020). ANTARA FOTO/Fauzan/foc.

tirto.id - Bintang, terlihat kesal ketika mendengar rencana ojek online (ojol) akan diwajibkan ikut iuran program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Bukannya membantu, program tersebut justru akan memberatkan dirinya dan para kawan seprofesi lainnya.

Bagi Bintang, ini bukan soal berapa nominal potongannya. Tetapi, bagaimana bentuk keadilan pemerintah terhadap pekerja di sektor ini. Bintang mengakui saat ini yang dibutuhkan para pengemudi ojek online yaitu perlindungan pekerja secara komprehensif.

“Kami butuh aturan yang melindungi baik sifatnya sosial dan bentuk lainnya. Bukan justru dengan Tapera,” kata Bintang saat berbincang dengan Tirto, Selasa (4/6/2024).

Iuran Tapera yang bakal diwajibkan diprediksi bakal menjadi beban. Apalagi dalam hal ini, seluruh iuran akan dibebankan sepenuhnya kepada pekerja mandiri termasuk ojol.

Besaran potongan upah untuk Tapera tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang perubahan atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat. Menurut pasal 15 PP tersebut besaran simpanan peserta Tapera adalah 3 persen dari gaji atau upah.

Sekat Pelindung Ojol

Pengemudi Gojek menggunakan sekat pelindung saat uji coba penggunaannya pada armada Gojek di Shelter Gojek Stasiun Sudirman, Jakarta, Rabu (10/6/2020). tirto.id/Andrey Gromico

Bagi peserta Tapera pekerja, potongan 3 persen dibayarkan oleh pekerja sebesar 2,5 persen dan perusahaan 0,5 persen. Sementara itu, bagi peserta Tapera pekerja mandiri membayar iuran sendiri secara penuh.

“Ini cuma jadi beban! Sementara penghasilan [kami] saja tidak menentu,” ucap Bintang dengan sedikit nada kecewa.

Berdasarkan kebijakan Tapera terkini, ojek online dan kurir berpotensi wajib ikut Tapera. Tapera awalnya hanya diberlakukan untuk PNS dan ASN. Namun, setelah ada revisi, Tapera juga berlaku untuk pegawai BUMN, BUMD, TNI, Polri hingga pegawai swasta mencakup pekerja sektor informal dan freelance.

“Ojol masuk dalam kategori pekerja mandiri,“ ujar Kepala Divisi Komunikasi dan Badan Sekretariat, Mungki Indriati Pratiwi, saat dikonfirmasi Tirto, Selasa.

Berdasarkan PP Nomor 25 Tahun 2020 Pasal 5, disebutkan peserta Tapera adalah pekerja dan pekerja mandiri. Definisi pekerja mandiri adalah setiap warga negara Indonesia yang bekerja dengan tidak bergantung pada pemberi kerja untuk mendapatkan penghasilan.

Berkaca dari definisi tersebut, dapat diartikan pekerja mandiri adalah pekerja yang tidak menerima upah bulanan dari pemberi kerja. BP Tapera menyebut akan memperluas kepesertaan Tapera dengan menargetkan pekerja mandiri, termasuk pekerja informal dan pegawai honorer atau kontrak. Ini artinya, pengemudi ojol dan kurir berpotensi masuk dalam kategori pekerja informal yang juga wajib ikut Tapera.

“Saat ini kami Kementerian Ketenagakerjaan sedang menyusun regulasi teknis dalam bentuk Permenaker mengenai pengaturan tentang ojol,” ujar Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja, Indah Anggoro Putri.

Ditolak Asosiasi

Ketua Umum Asosiasi Pengemudi Ojek Online Garda Indonesia, Igun Wicaksono, mengatakan pihaknya menolak jika ojol dipaksa atau masuk dalam kategori pekerja mandiri yang diwajibkan ikut iuran Tapera. Alasannya karena selama ini pengemudi ojol sudah dibebankan berbagai iuran wajib dari aplikator.

“Kami jelas menolak iuran Tapera bagi ojol,” tegas Igun saat dihubungi Tirto, Selasa.

Igun menuturkan, penghasilan ojol saat ini bisa dihitung jari mulai dari harian maupun secara bulanan. Driver ojol bisa mengantongi hanya sekitar 30-40 persen selama bulanan dari hasil bersih penghasilan narik.

Selebihnya, penghasilan tersebut mengalir untuk biaya potongan aplikasi sebesar 15 persen, biaya operasional kendaraan sekitar 30 persen, potongan pajak penghasilan (PPh) 5 persen. Jika dipaksakan untuk tetap ikut iuran Tapera, maka sama saja akan membunuh penghasilan ojol.

“Ojol ini sudah banyak dibebankan. Maka jika iuran ini berlaku maka akan berdampak luas bagi mereka,” ucap Igun.

Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menilai sangat tidak bijak apabila penghasilan ojol dipotong untuk ikut iuran Tapera. Sebab, penghasilan pengemudi online tidak menentu dan mereka harus membayar ke aplikasi transportasi online-nya.

“Sangat dimungkinkan penghasilan bersih mereka justru masih di bawah UMR,” ujar Huda kepada Tirto, Selasa.

AKSI DAMAI PENGEMUDI OJOL GOJEK

Pengemudi ojek online yang tergabung dalam Paguyuban Gojek Driver Jogjakarta (Pagodja) melakukan aksi damai di depan kantor Gojek, Umbulharjo, Yogyakarta, Kamis (24/3/2022). ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko/hp.

Belum lagi, jika dihitung dengan biaya penyusutan kendaraan, akan lebih kecil lagi pendapatannya. Apa yang mereka dapatkan, otomatis akan berkurang lagi apabila ditambah potongan Tapera.

“Jadi Kemnaker sangat tidak bijak apabila mengharuskan penghasilan driver ojek online dipotong untuk Tapera,” ujar Huda.

Pengamat Ketenagakerjaan Universitas Gadjah Mada (UGM), Tadjudin Nur Effendi, menuturkan rencana kebijakan iuran wajib bagi ojol tidak masuk akal. Dia pun mempertanyakan bagaimana mekanisme penarikan iuran terhadap ojol yang notabene pendapatan mereka tidak tetap seperti pekerja formal umumnya.

“Mereka membuat hal-hal tidak masuk diakal. Ojol ini kan penghasilan tidak tetap seperti pegawai bulanan. Penghasilan mereka tidak tetap bisa naik bisa tidak dan bisa berkurang. Kalau mau ditarik bagaimana menetapkannya?” ujar Tadjudin saat dihubungi Tirto, Selasa.

Selama ini, kata Tadjudin, mereka (ojol) juga tidak pernah mendapatkan gaji oleh aplikator. Pun jika dipotong langsung oleh aplikator iuran Taperanya, tidak mungkin bisa. Karena penghasilan ojol sendiri tidak pernah dikontrol langsung oleh aplikator.

“Selama ini kan aplikasi atau aplikator hanya kontrol kinerja mereka bagaimana mereka baik atau tidak di lapangan, dapat bintang lima atau satu kan gitu. Itu dilihat dari kinerja itu. Kalau dipotong bagaimana caranya. Kalau gini kan jadi tidak masuk akal semua,” ujar Tadjudin.

Berdampak Turunkan Daya Beli

Lebih lanjut, Tadjudin mengatakan, jika iuran Tapera berlaku wajib bagi seluruh pekerja gig di sektor platform digital, termasuk ojol, kurir paket, dan pekerja lainnya bisa berdampak kepada penurunan daya beli. Pekerja gig istilah yang digunakan untuk menggambarkan pasar pekerjaan yang didominasi oleh pekerjaan sementara, freelance, dan kontrak independen.

“Mereka tidak memikirkan seolah kebijakan ini baik padahal implikasinya besar loh. Bisa saja dampaknya daya beli masyarakat menurun,” ujar Tadjudin.

Dia mengatakan, jika daya beli masyarakat turun, maka efeknya berlanjut terhadap pertumbuhan ekonomi. Karena selama ini, daya beli masyarakat umumnya adalah konsumsi. Dia menilai konsumsi masyarakat penyumbang utama pertumbuhan ekonomi domestik hamper 60 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Tadjudin membandingkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I-2-24 sebesar 5,11 persen yang didorong kelompok pengeluaran konsumsi rumah tangga. Kelompok ini memiliki andil 54,93 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), atau tumbuh 4,91 persen dibanding periode sama tahun lalu. Konsumsi rumah tangga juga telah berkontribusi 2,62 persen terhadap angka pertumbuhan ekonomi.

Jika melihat trennya, konsumsi rumah tangga pada periode Januari-Maret itu memang meningkat menjadi 4,91 persen secara year on year (yoy) dari 4,47 persen yoy pada kuartal IV-2024. Pertumbuhan ini menyusul adanya Pemilu 2024 dan terjadinya pergeseran bulan Ramadhan atau bulan puasa dari kuartal kedua sebelumnya ke kuartal pertama di tahun ini.

“Kalau konsumsi turun jelas pertumbuhan ekonomi kita menurun secara nasional. Efeknya tidak dihitung mereka [pemerintah],” ungkap Tadjudin.

Demo Gojek

Ribuan ojek online menggelar demonstrasi Gedung MPR/DPR, Senayan, Jakarta Jumat (28/2/2020). tirto.id/Andrey Gromico

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal, mengatakan kewajiban iuran Tapera ini memang tidak bisa disamaratakan untuk kalangan pekerja dengan penghasilan menengah ke bawah. Sebab, posisinya daya beli mereka sudah terbatas saat ini.

“Karena kita tahu dari beberapa indikator tingkat upah pekerja riil saat ini negatif. Lebih sedikit,” ujar Faisal kepada Tirto.

Faisal menuturkan sudah banyak biaya hidup lainnya seperti harga pangan relatif tinggi inflasinya. Pada Maret 2024, inflasi pangan atau volatile food tercatat hingga 8,5 persen secara tahunan atau year-on-year (yoy). Inflasi tersebut menyumbang dampak paling besar terhadap kelompok masyarakat miskin.

“Lalu ditambah lagi kalau mereka ada cicilan lain, berarti kan relatif terbatas. Jadi mereka akan sangat memilih atau berpikir kemudian [jika dipaksa ikut iuran Tapera],” ujar Faisal.

Di sisi lain, Anggota Komisi IX DPR RI, Nurhadi, meminta kepada Kementerian Ketenagakerjaan sebagai salah satu institusi pembentuk regulasi turunan Peraturan Pemerintah (PP), dapat melakukan kajian evaluasi terlebih dulu secara mendalam. Mengingat posisi teman-teman driver ojol masuk kategori mandiri, karena sifatnya adalah kerja kemitraan.

“Kami akan mengawal proses rencana Kemenaker dalam membuat regulasi turunan dari PP Nomor 21 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Tapera, agar tidak menimbulkan kerancuan dan kebingungan di kalangan masyarakat,” ujar Nurhadi dalam pernyataanya.

Baca juga artikel terkait TAPERA atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Intan Umbari Prihatin