Menuju konten utama

Menimbang Untung Rugi Aturan Jaminan Sosial bagi Ojol dan Kurir

Pekerja berharap paling tidak asuransi dan BPJS Kesehatan diakomodasi oleh aturan baru perlindungan dan jaminan sosial pekerja kemitraan.

Menimbang Untung Rugi Aturan Jaminan Sosial bagi Ojol dan Kurir
Pemerintah menggodok aturan perlindungan dan jaminan sosial bagi pekerja kemitraan seperti ojol dan kurir.

tirto.id - Heru sedikit lega begitu mendengar bakal ada aturan baru soal perlindungan dan jaminan sosial dikhususkan bagi pekerja status kemitraan. Rancangan aturan ini, menjadi perhatian pemerintah dan akan menyasar seluruh pekerja gig di sektor platform digital, termasuk ojek online (ojol), kurir paket, dan pekerja lainnya. Pekerja gig istilah yang digunakan untuk menggambarkan pasar pekerjaan yang didominasi oleh pekerjaan sementara, freelance, dan kontrak independen.

Heru merupakan driver ojol. Selama kurang lebih enam tahun bekerja di jalan, pria berusia 32 tahun itu, tak pernah mendapatkan perlindungan dan jaminan sosial dari aplikator. Selama ini, pendapatannya hanya bergantung dari aplikasi atau penumpang saja.

"Dengan adanya ini [aturan baru] harapannya [kita] bisa lebih diperhatikan," ujar Heru saat berbincang dengan Tirto, Kamis (30/5/2024) malam.

Menurut Heru, paling tidak asuransi dan BPJS Kesehatan perlu ditekankan di dalam aturan baru nantinya. Sebab, dua hal tersebut menjadi penting bagi pekerja yang notabene banyak menghabiskan waktu di jalanan. Belum lagi melihat risiko kecelakaan di jalan cukup tinggi.

"Selama ini kan tidak ada. Kalau sakit ya kasarnya mau nggak mau pakai duit pribadi. Atau amit-amit kalau terjadi kecelakaan di jalan," imbuhnya.

Oleh karena itu, Heru berharap dengan adanya Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) baru diharapkan bisa lebih memperhatikan masalah perlindungan dan jaminan sosial dirinya bersama kawan-kawan di jalan.

Rancangan aturan baru bagi pekerja berstatus kemitraan ini memang tengah jadi pertimbangan Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah. Ini setelah menerima masukan dari Komisi IX yang mendorong dirinya untuk merevisi Permenaker Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja/Buruh di perusahaan untuk memasukkan pekerja kemitraan menjadi pekerja penerima jaminan sosial seperti THR.

"Mungkin di dalamnya mengatur tentang pemberian THR atau apa pun namanya yang diberikan oleh pengusaha aplikator kepada pekerja ojol, atau mereka yang berada dalam hubungan kemitraan," ujar Ida dalam rapat kerja bersama Komisi IX, Selasa lalu.

Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan, Anwar Sanusi, mengatakan rencana peraturan terkait tenaga kerja dengan hubungan kemitraan saat ini sedang dibahas dan akan dilakukan konsultasi dengan semua stakeholder. Paling tidak, kata Anwar, aturan ini mengatur tentang perlindungan kerja secara komprehensif.

"Mulai dari pelatihan kerja, hak dan kewajiban, jaminan sosial, keselamatan dan kesehatan kerja, sampai mekanisme penyelesaian perselisihannya," jelas Anwar saat dikonfirmasi Tirto.

Imbauan pemberian THR bagi ojek daring dan kurir paket
Pengemudi ojek daring menurunkan penumpang di Stasiun Pondok Cina, Kota Depok, Jawa Barat, Rabu (20/3/2024). ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/foc.

Hubungan Kerja Kemitraan Cukup Kompleks

Pengamat Ketenagakerjaan Universitas Gajah Mada (UGM), Tadjudin Nur Effendi, mengatakan aturan baru ini memang harus dibahas dengan seksama. Karena hubungan kerja kemitraan seperti aplikasi atau ojol ini cukup kompleks dan berbeda dengan hubungan kerja konvensional.

"Menurut hemat saya memang perlu kita berhati-hati, kalau tidak terjadi pro dan kontra," ujar Tadjudin saat dihubungi Tirto.

Dia mengatakan, dalam aturan baru nanti, hal pertama yang perlu dipikirkan itu adalah bagaimana status bekerjanya. Biasanya orang bekerja sebagai ojol, kurir paket, dan lainnya dianggap sebagai mitra atau pekerja lepas oleh perusahaan aplikator.

"Mereka tidak memiliki status karyawan tetap, mereka tidak menerima gaji, tunjangan, atau pun perlindungan sosial seperti asuransi kesehatan dan pensiun. Ini duduk perkara di sini," ujar dia.

Menurut Tadjudin, pekerja yang bersifat seperti kemitraan itu sifatnya adalah bebas atau fleksibel. Artinya mereka mau bekerja kapan saja, di mana saja, tidak ada aturan yang mengikat.

"Jadi kalau nanti diatur, fleksibilitas ini bisa hilang. Dan itu mengikat malah justru merugikan pekerja online. Dari kebebasan itu juga kalau misal diatur mereka tidak fleksibel lagi. Mengganggu dan akan menjadi beban. Itu perlu kita pikirkan," jelas dia.

Hal senada juga disampaikan oleh Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda. Menurut Huda, pekerja ojek online ini termasuk dari pekerja gig di mana dengan statusnya sebagai mitra memiliki fleksibilitas dan ketidakterikatan dengan perusahaan. Mitra dan perusahaan dalam hal ini mempunyai hubungan simbiosis mutualisme alias menguntungkan satu sama lain.

"Jadi jika nanti aturannya sama seperti pekerja konvensional saya khawatir malah ruh dari pekerja gig akan hilang," ujar Huda kepada Tirto.

Jika itu diatur, maka mereka bukan disebut mitra namun pekerja yang bisa membuat kerawanan terhadap PHK ataupun strategi efisiensi lainnya. Maka menurut Huda, aturan tersebut juga seharusnya bersifat tidak memberatkan pekerja maupun platform.

Huda sendiri sangat mendukung ada aturan mengenai perlindungan tenaga kerja ke driver ojek online. Sebab, aturan ini bisa membuat social safety net dari driver ojek online membaik. Namun, aturan khusus THR harus dirumuskan secara matang baik dasar penghitungan ataupun kemampuan dari platform-nya sendiri.

"Saya belum menemukan rumusan penghitungan yang matang. Kemudian, kemitraan ini apakah terbatas ke driver ojek online? Bagaimana dengan mitra Tokopedia? Mitra Bukalapak? Ini juga harus dijawab," jelas Huda.

Menjawab itu, Anwar Sanusi menegaskan bahwa aturan tersebut tidak hanya terbatas kepada ojol saja. Perhatian lebih ini berlaku untuk semua pekerja dengan status kemitraan. "Tentunya [ini berlaku] seluruh aktivitas menggunakan platform digital," jelas dia.

Ilustrasi Kurir Shopee

Ilustrasi kurir shopee. foto/IStockphoto

Aturan Harus Diikuti Sanksi

Ketua Umum Asosiasi Pengemudi Ojek Online Garda Indonesia, Igun Wicaksono, melihat bahwa rancangan peraturan menteri ketenagakerjaan (Permenaker) baru ini merupakan hal positif dan cukup bagus. Namun, tetap perlu ada hal yang harus digarisbawahi oleh pemerintah agar kemudian tidak berdampak kepada pekerja atau mitra.

"Bahwa permenaker ini tidak akan berdampak apa pun apabila tidak adanya sanksi baik administratif maupun sanksi hukum terhadap para pelaku industri di ekosistem transportasi daring ini," ujar dia saat dihubungi Tirto.

Igun mendesak agar permenaker baru ini mencantumkan poin-poin sanksi bagi pemberi kerja atau dalam hal ini aplikator. Jangan sampai niat baik dari aturan ini hanya sebatas sebagai mediasi antara pihak, baik pekerjaan maupun pemberi kerja.

"Kami sambut baik adanya permenaker ini. Jadi kami minta agar mencakup poin sanksi administratif ataupun hukum bagi pelanggar dari permen ini. Karena kalau tidak ada hal itu tidak akan berdampak kepada para rekan rekan kita," jelas dia.

Lebih lanjut, Igun mengatakan, permenaker ini harus mengacu kepada Undang-Undang (UU). Karena jika sudah mengacu dari UU Ketenagakerjaan maka, harus ada sanksinya nanti.

"Kalau dia permenaker tidak berdiri di atas UU hanya sebatas sebagai konsepsi hukum adat atau hukum berlaku sehari-hari saja, itu tidak akan berdampak kepada para pelaku industri ekosistem transportasi ini," katanya.

Pengamat Ketenagakerjaan Universitas Gajah Mada (UGM), Tadjudin Nur Effendi, melihat selama ini pekerja berstatus kemitraan sangat bergantung pada aplikasi untuk dapatkan pelanggan dan terima pembayaran. Dalam hal ini, aplikator bisa dengan bebas membuat aturan sendiri sesuai dengan keinginan mereka.

"Kadang-kadang kan mereka pakai rating bintang kalau kebanyakan dapat bintang satu sulit mereka. Karena dia tidak akan diberi pelanggan atau orang menggunakan aplikasi untuk memesan," ujar dia kepada Tirto.

Dari situ saja, kata dia, sudah ada semacam pembatasan dari aplikator. Kelihatannya fleksibel, tapi ada pembatasan. "Tentunya dalam hal ini harus ada perlindungan bagaimana pemerintah agar aplikator tidak semena-mena. Saya pikir ada pentingnya aturan dibuat pemerintah itu. Tapi harus hati-hati jangan sampai fleksibilitas hilang," ujar dia.

Menurut hemat dia, rencana pemerintah membuat perlindungan sosial itu memang diperlukan untuk perlindungan, dalam artian jika pekerja itu mendapatkan kesulitan. Misalnya ketika terjadi kecelakaan atau sakit.

"Maka peran pemerintah bagaimana mereka bisa dimasukan ke dalam asuransi kesehatan atau mungkin BPJS. Artinya perlindungan sosialnya, jangan batasi fleksibilitas nya," pungkas dia.

Baca juga artikel terkait OJEK ONLINE atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Anggun P Situmorang