tirto.id - Mencermati fakta-fakta yang terkuak dalam sidang lanjutan kasus korupsi eks Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL) seharusnya sudah cukup membuat seseorang darah tinggi.
Pasalnya, mantan Gubernur Sulawesi Selatan itu tak cuma menggarong duit negara untuk kepentingan pribadi, tetapi juga menitipkan kolega hingga keluarganya bekerja di Kementan.
SYL mengangkat cucunya, Andi Tenri Bilang alias Bibie, sebagai tenaga ahli di Biro Hukum Kementan. Dia juga mengangkat rekan satu partainya di Nasdem, Joice Triatman, sebagai staf khusus Mentan.
Tentu tak cukup di situ kelakuan SYL yang bikin geleng-geleng kepala. Dia juga mengangkat seorang biduan, Nayunda Nabila Nizrinah, menjadi tenaga honorer di Kementan. Parahnya, Nayunda cuma bekerja dua hari namun tetap menerima gaji penuh sepanjang 2021.
Nayunda juga menerima berbagai pemberian dari SYL, seperti emas hingga tas dan uang saku serta THR. Jangan ditanya, semuanya duit Kementan alias uang negara yang digondol SYL. Adapun cucu SYL yakni Bibie, diberikan gaji tambahan hingga mencapai Rp10 juta per bulan. Padahal gaji Bibie mulanya hanya Rp4 juta per bulan, namun sang Kakek tersayang merasa kurang dengan nominal tersebut.
Bentuk Nyata KKN di Sektor Pemerintahan
Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal, memandang apa yang dilakukan SYL merupakan bentuk korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di sektor pemerintahan. Padahal, idealnya lembaga atau perusahaan – apalagi institusi negara – harus merekrut tenaga kerja sesuai dengan kapasitas individu dan prinsip meritokrasi.
“Tanpa prinsip itu maka akan berdampak terhadap kinerja institusi tersebut dan juga akan kontraproduktif terhadap kondisi ketenagakerjaan sekarang yang ditandai dengan meningkatnya pengangguran di kalangan Gen Z,” ujar Faisal kepada reporter Tirto, Kamis (30/5/2024).
Apa yang dilakukan SYL merupakan sebuah ironi tersendiri di tengah sulitnya kelompok usia produktif rentang 15-24 tahun (Gen Z) mengakses lapangan pekerjaan.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), hampir 9,9 juta penduduk usia muda tidak memiliki kegiatan produktif alias NEET. Proporsinya mencapai 22,25 persen dari total penduduk usia 15-24 tahun secara nasional.
Survei angkatan kerja BPS per Februari 2024 menunjukan, dari 149,38 juta angkatan kerja, ada 7,20 juta orang yang menganggur atau sekitar 4,28 persen. Gen Z alias mereka yang berada di usia produktif menyumbang angka pengangguran terbesar. Jumlahnya mencapai 1,2 juta orang (16.82 persen).
Menurut Faisal, SYL cuma menambah preseden buruk dan stigmatisasi pada angkatan kerja Gen Z. Ditambah, akan muncul pemikiran dari pencari kerja bahwa praktik KKN adalah jalan satu-satunya agar bisa diterima bekerja.
Angkatan kerja kelompok Gen Z bisa jadi memandang dalam dunia kerja, kedekatan dengan pejabat, keluarga, hingga orang dalam adalah jalan pintas meraih karir.
“Tentu saja bagi perekonomian ini menjadi buruk juga secara makro, karena berarti akan menurunkan produktivitas ketika KKN atau kedekatan diutamakan dibandingkan dengan meritokrasi. Nah jadi artinya orang yang terpilih itu bukan orang yang terbaik dari sisi kapasitas dan juga integritas,” jelas Faisal.
Ketika produktivitas suatu institusi dan perusahaan rendah, maka pertumbuhan ekonomi juga akan sulit mengalami peningkatan. Hal ini menurut Faisal, pertumbuhan ekonomi berpengaruh juga pada total productivity factor.
Adapun produktivitas kinerja suatu entitas lembaga atau perusahaan, erat kaitannya dengan sumber daya manusia yang memiliki kapasitas dan integritas.
“Pemilihan seseorang dalam satu posisi tertentu, apalagi posisi penting di dalam suatu institusi harus berdasarkan idealnya meritokrasi,” tegas Faisal.
Meritokrasi Kabur di Lembaga Pemerintah
Peneliti Transparency International Indonesia (TII), Alvin Nicola, menilai kelakuan SYL yang mengangkat keluarga hingga koleganya menjabat di Kementan membuktikan bahwa pengawasan akan prinsip meritokrasi – khususnya di instansi pemerintah – tidak berjalan.
Padahal sistem meritokrasi di instansi pemerintah sudah ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), serta dalam PP Nomor 11 tahun 2017 tentang Manajemen PNS.
“Padahal UU ini menerapkan sistem meritokrasi dalam perekrutan, pola karier, dan relasi kerja dalam birokrasi, untuk mengikis distorsi seperti senioritas, diskriminasi, dan favoritisme,” ujar Alvin kepada reporter Tirto, Kamis (30/5/2024).
Dari kasus SYL, Alvin memandang penegakan aturan yang ada saat ini sudah kalah oleh kepentingan transaksional yang lebih dominan menguasai birokrasi pemerintahan.
Di saat bersamaan, berulangnya kasus jual beli hingga titip jabatan menimbulkan pertanyaan apakah pemangku kepentingan terkait seperti Kementerian PAN-RB, KPK, Tim Nasional Pencegahan Korupsi, hingga Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) dan Ombudsman, sudah menjalankan peran pengawasan mereka secara serius atau belum.
“Ada sejumlah hal yang perlu terus didorong, termasuk memperkuat peran pengawas internal, yakni Inspektorat terkait dalam proses pengangkatan jabatan. Keterlibatan ini penting mulai dari mekanisme pengawasannya hingga siapa saja yang terlibat di dalamnya,” kata Alvin.
Selain itu, implementasi sistem merit perlu diikuti penerapan pedoman konflik kepentingan yang dapat menegakkan kode etik secara serius. Karena pada akhirnya, siklus koruptif berdampak panjang terhadap menurunnya kualitas pelayanan publik.
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Zaenur Rohman, menyatakan apa yang dilakukan SYL terhadap kolega dan keluarganya termasuk nepotisme.
Nepotisme secara implikasi hukum sulit ditemukan pasal pidananya, kata dia, namun ketika seseorang masuk institusi sebab konflik kepentingan dan menerima tambahan uang negara lebih dari haknya, sudah jelas itu tindak pidana korupsi.
“Itu tindak pidana, kenapa? Karena itu adalah keuangan negara atau bahkan itu mungkin uang dari vendor. Atau uang yang dikumpulkan dari para eselon satu yang kemudian disalahgunakan, itu tindak pidana,” kata Zaenur kepada reporter Tirto, Kamis (30/5/2024).
SYL dinilai melakukan penyalahgunaan kewenangan jabatan dengan meraup untung secara pribadi memakai duit negara. Masalahnya, modus-modus menitipkan jabatan seperti ini mudah ditemui di kementerian atau lembaga negara lain, meski tidak terungkap ke publik secara gamblang.
“Jadi itu termasuk modus korupsi, karena menyalahgunakan kewenangan dan merupakan keuangan negara juga. Terjadi karena memang tidak bisa membedakan ranah publik dan ranah privat,” ujar Zaenur.
Di sisi lain, perbuatan semacam yang dilakukan SYL, juga melanggar UU Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan.
Di dalam UU tersebut dijelaskan soal konflik kepentingan yang harus dihindari penyelenggara negara. Maka perbuatan SYL melanggar hukum administrasi, sekaligus melanggar hukum pidana sebab menggunakan uang negara melebihi apa yang sudah dianggarkan pemerintah untuk kepentingan pribadi.
“Maka harus dibuat mekanisme yang fair untuk mencegah adanya orang-orang titipan. Sebagaimana misalnya rekrutmen CASN sudah relatif lebih baik daripada rekrutmen untuk honorer, untuk tenaga ahli atau untuk staf khusus yang masih rawan,” jelas Zaenur.
Indonesia Emas 2045 Hanya Mimpi Bila Masih Ada KKN
Perilaku lancung pejabat publik yang seenak jidat menggondol duit negara demi anggaran tambahan untuk keluarga atau koleganya yang dititipi jabatan, tentu membawa kerugian.
Selain kerugian negara akibat tindak korupsi, perilaku ini juga menutup kesempatan talenta berkapasitas dan berintegritas untuk memasuki dunia kerja lewat sistem merit yang sehat. Mimpi Indonesia Emas 2045 hanya omong kosong belaka jika perilaku ini tetap dipelihara di lingkungan instansi pemerintah.
Pasalnya, Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P. Sasmita, menilai saat ini peluang angkatan kerja baru menjadi pengangguran bakal semakin tinggi ke depan. Masalahnya, pertumbuhan angkatan kerja baru sudah melebihi daya serap perekonomian nasional.
Selain pertumbuhan ekonomi yang stagnan, tingkat incremental labour output ratio (ILOR) Indonesia juga cukup rendah. Penyerapan tenaga kerja per 1 persen pertumbuhan semakin hari semakin menurun. Ini terjadi terutama karena disrupsi teknologi dan investasi baru lebih banyak masuk ke sektor non tradable.
“Investasi di sektor teknologi dan start up yang cenderung lebih sesuai dengan karakter Gen Z tidak terlalu ekspansif. Bahkan belakangan banyak yang gulung tikar sehingga menambah potensi pengangguran di Generasi Z,” ujar Ronny kepada Tirto.
Sementara itu, Peneliti Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI) Fakultas Hukum (FH) Universitas Mulawarman (Unmul), Herdiansyah Hamzah, menegaskan praktik memasukkan orang dalam akan membuka lebar pintu korupsi. Hal ini sudah dikualifikasikan sebagai konflik kepentingan yang menjadi pintu masuk dari perbuatan korupsi.
“Dalam UNCAC [United Nations Convention against Corruption] konflik kepentingan diatur rigid sebab menjadi praktik kotor yang menyuburkan korupsi. Karena itu, semestinya para pejabat berusaha menghindarinya, jika tidak, kasus [korupsi] serupa pasti terjadi di mana-mana,” ujar Herdiansyah.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Bayu Septianto