Menuju konten utama

Demi Indonesia Emas, Pendidikan Berkualitas adalah Kunci

"Kerja-kerja kolaboratif seperti PFoE penting dirawat untuk mempercepat peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia."

Demi Indonesia Emas, Pendidikan Berkualitas adalah Kunci
Ilustrasi topi kelulusan dengan kertas gelar di atas setumpuk buku. FOTO/iStock

tirto.id - Aspek pendidikan dan sumber daya manusia memegang peranan penting untuk mewujudkan Visi Indonesia Emas 2045 sebagai “Negara Nusantara Berdaulat, Maju, dan Berkelanjutan”. Tanpa pendidikan dan sumber daya berkualitas, ikhtiar mencapai sasaran utama Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 boleh jadi bakal berakhir jauh api dari panggangan.

Lewat Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), pemerintah menetapkan lima sasaran utama RPJPN 2025-2045. Pertama, Pendapatan per kapita setara negara maju. Kedua, Kemiskinan menuju 0% dan ketimpangan berkurang. Ketiga, Kepemimpinan dan pengaruh di dunia internasional meningkat. Keempat, Daya saing sumber daya meningkat. Terakhir, Intensitas emisi GRK menuju net zero emission.

“Kemarin dan esok”, kata penyair W.S. Rendra, “adalah hari ini”. Maksudnya, masa kini kita dibentuk oleh semua tindakan di masa silam dan masa depan kita ditentukan oleh semua perilaku serta tindakan hari ini. Masa depan yang gilang gemilang benar-benar akan menjadi masa depan yang gilang gemilang jika kita bersungguh-sungguh mengupayakannya sejak saat ini.

Dalam konteks pendidikan, temuan Policy Forum on Education (PFoE) mendapati adanya delapan tantangan dalam dunia pendidikan Indonesia saat ini. Tanpa penanganan yang tepat, semuanya akan sangat berpengaruh terhadap kelangsungan Generasi Emas Indonesia 2045 nanti.

Adapun delapan tantangan dalam dunia pendidikan kiwari versi PFoE itu adalah inklusivitas pendidikan, kompetensi guru dan dosen, kurikulum dan metode belajar-mengajar, ekosistem pembelajaran yang dinamis, digitalisasi pendidikan, keterlibatan orang tua dan masyarakat umum, kepemimpinan yang berdampak dan bermakna, serta pengembangan soft skills.

Urgensi Pendidikan Anak Usia Dini

Dalam kehidupan setiap orang, idealnya pendidikan berlangsung sejak masa kanak-kanak, sejak belia, sedini mungkin. Pendidikan dini tak ubahnya sebuah fondasi sekaligus akar yang menentukan manis-masamnya buah pendidikan seseorang di masa depan. Sebab itu, jika pendidikan diyakini sebagai sebuah investasi, investasi terbaik adalah investasi dalam pendidikan usia dini.

“Tingkat keuntungan tertinggi dalam pengembangan anak usia dini berasal dari investasi sedini mungkin, sejak lahir hingga usia lima tahun, pada keluarga kurang mampu,” ungkap peraih Nobel Ekonomi 2002, James J. Heckman.

Lewat penelitiannya, Heckman membuktikan bahwa investasi pada pendidikan usia dini, usia yang kerap disebut sebagai masa emas kehidupan manusia, menciptakan hasil pendidikan, kesehatan, sosial, dan ekonomi yang lebih baik sehingga meningkatkan pendapatan dan mengurangi kebutuhan belanja sosial yang mahal di masa depan.

Dalam pandangan Heckman, investasi 1 dolar AS dapat mendatangkan keuntungan hingga 13 dolar AS di kemudian hari. Pendidikan usia dini yang berkualitas juga berpengaruh terhadap peningkatan kelulusan SMA perempuan dari 13% menjadi 25%. Selain itu, penghasilan laki-laki dewasa juga bisa meningkat antara 19 ribu dolar AS hingga 24 ribu dolar AS, jika di masa belia ia terpapar pendidikan yang berkualitas.

Di Indonesia, Angka Partisipasi Kasar (APK) PAUD 2023 baru mencapai 45,87%, jauh dari target 90% yang ditetapkan pemerintah pada tahun 2024. Adapun angka partisipasi PAUD untuk rentang 3-4 tahun mencapai 36,94%, sedangkan untuk kategori 5-6 tahun mencapai 77,62%.

Lepas dari persentase di atas, Direktur The Southeast Asian Ministers of Education Organization (SEAMEO CECCEP) Prof. Via Adriany menyebut salah satu tantangan besar dalam pendidikan usia dini adalah belum dimasukkannya PAUD sebagai bagian dari program wajib belajar. Fenomena ini bahkan terjadi di Asia Tenggara, bukan hanya di Indonesia. Meski begitu, Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) ini memberi apresiasi terhadap Program Transisi PAUD SD yang diluncurkan pemerintah baru-baru ini. Salah satu poin dalam program tersebut adalah dihapuskannya program calistung (baca tulis hitung) saat anak usia PAUD hendak masuk SD.

“Dengan adanya payung kebijakan yang jelas, diharapkan adanya perubahan paradigma di kalangan orang tua bahwa PAUD tidak identik dengan kegiatan akademik, tapi sebuah kesempatan untuk menstimulasi seluruh aspek perkembangan anak, bukan aspek kognitifnya saja.”

Prof. Vina menambahkan, jika anak diberi kesempatan untuk mengembangkan seluruh aspek perkembangannya, termasuk perkembangan emosi dan sosialnya, anak akan menjadi lebih siap untuk memasuki fase-fase kehidupan berikutnya.

“Kajian-kajian dalam bidang Ilmu Psikologi Perkembangan justru menunjukkan bahwa jika anak merasa terpenuhi kebutuhan emosi dan sosialnya, terpenuhi rasa amannya, mereka cenderung memiliki perkembangan yang lebih optimal,” sambung Prof. Vina, Senin (11/12/2023).

Upaya memperjuangkan pendidikan usia dini yang ideal jelas merupakan upaya yang belum terlihat ujungnya. Zaman berubah dengan segala tantangan dan dinamikanya, tapi perhatian pemerintah bagi sektor PAUD masih terkesan setengah hati. Dalam alokasi dana pendidikan, misalnya, hasil penelitian UNICEF Indonesia menemukan bahwa anggaran yang diberikan bagi sektor ini hanya berkisar di angka 0,9% dari total anggaran pendidikan. Jumlah yang terlalu kecil untuk menstimulasi perkembangan anak di masa “Golden Age” mereka.

Urgensi Peningkatan Kompetensi Dasar Anak-Anak Usia Sekolah Dasar

Upaya menghasilkan generasi emas tentu memerlukan intervensi dari hulu ke hilir. Karenanya, selain menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas melalui pendidikan anak usia dini, peningkatan kompetensi dasar anak-anak usia sekolah dasar juga tak kalah penting.

"Berdasarkan Rapor Pendidikan 2023, kita masih melihat ruang besar untuk peningkatan kompetensi literasi dan numerasi anak Indonesia, meskipun telah terjadi kemajuan signifikan sepanjang tahun,” kata Margaretha Ari Widowati, Direktur Program Pengembangan Lingkungan Pembelajaran Tanoto Foundation.

Ari menjelaskan, khusus untuk jenjang Pendidikan Dasar, di 2023 masih sekitar 61,53% siswa Indonesia yang memenuhi kompetensi minimum literasi dari 53,42% pada 2021, serta hanya 46,67% yang memenuhi kompetensi minimum numerasi dari 30,66% pada tahun 2021.

Dalam konteks global, data Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2022 menyebut tingkat literasi siswa Indonesia berada di peringkat ke-72 dari 79 negara, dengan jumlah 436 poin, sedangkan rata-rata dunia adalah 497 poin.

“Ini adalah masalah yang tidak bisa kita abaikan, mengingat pendidikan berkualitas berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat. Perlu ada ekosistem dan lingkungan pembelajaran yang dinamis untuk dapat mendukung perkembangan siswa di sekolah,” sambung Ari.

Ari menambahkan, hasil riset kolaborasi antara Tanoto Foundation dengan SMERU Research Institute terkait dampak penerapan pembelajaran aktif di Kabupaten Paser, Kalimantan Timur dalam 3 tahun terakhir menunjukkan bahwa guru dan orang tua berperan penting dalam peningkatan kemampuan belajar dan hasil belajar siswa.

Lewat Program PINTAR (Pengembangan Inovasi untuk Kualitas Pembelajaran) Tanoto Foundation melatih kepala sekolah dan guru di sejumlah sekolah untuk meningkatkan kualitas pembelajaran yang menarik bagi siswa dan manajemen sekolah. Selain itu, program ini juga melibatkan orang tua siswa agar saling berbagi pengetahuan dan pengalaman untuk mendukung proses pembelajaran anak.

Hasilnya, siswa-siswa di sekolah yang menerapkan pembelajaran aktif mengalami peningkatan kemampuan pembelajaran sebesar 10% dibandingkan sekolah yang tidak. Lalu, peningkatan kualitas guru sebesar 27% ikut berkontribusi meningkatkan performa siswa sebesar 39%.

Demi mencapai Indonesia Emas 2045, Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Diponegoro Prof. Dr. Soekidjo Notoatmodjo mengatakan bahwa di samping faktor pendidikan, faktor kesehatan juga punya andil sekaligus dampak yang sama penting, lebih-lebih dalam kaitannya dengan kualitas tenaga kerja Indonesia di masa depan.

“Secara umum, kualitas pendidikan dan kesehatan dapat mewakili kualitas tenaga kerja, karena dengan pendidikan dan kesehatan yang baik, seseorang akan bertambah keterampilannya dalam bekerja serta meningkatkan kualitas sumber daya manusianya. Pada akhirnya, pekerjaan yang didapatkannya menjadi lebih baik, kualitas hidup meningkat, pertumbuhan ekonomi semakin bagus karena masyarakat memiliki kesempatan lebih baik untuk menghasilkan pendapatan,” ungkap Prof. Dr. Soekidjo.

Infografik Kunci Pendidikan Indonesia

Infografik Kunci Pendidikan Indonesia. tirto.id/Mojo

Masalah-Masalah Lain Pendidikan

Euforia kelulusan SMA hanya bertahan sekejap mata dalam hidup Sekar Ayu Berliana. Tahun 2020, tak lama setelah Badan Kesehatan Dunia menyatakan Covid-19 sebagai pandemi, ayah Sekar kehilangan pekerjaan. Keinginan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi pun mesti ditangguhkan, seolah memberi tamparan bagi pola pikir yang selama ini Sekar yakini.

“Pada saat itu, saya tidak terpikir sedikitpun untuk tidak berkuliah. Karena menurut saya, itu adalah common sense, ya. Semua orang setelah lulus SMA ya mau kuliah,” ungkap Sekar, Rabu (13/12/2023).

Perubahan status sang ayah dari pekerja menjadi pengangguran turut berpengaruh terhadap cara orang mengajukan pertanyaan kepada Sekar. Jika sebelum sang ayah di-PHK orang-orang bertanya tentang kampus mana yang bakal Sekar tuju, setelah ayahnya tidak lagi bekerja pertanyaan yang sampai di telinga kepada Sekar lebih sering bernada meragukan. “Sekar, jadi kuliahkah?”

Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023 menyebut partisipasi pendidikan tinggi penduduk Indonesia di rentang usia 19-24 tahun mencapai 36,74%, meningkat dari 35,82% pada tahun sebelumnya. Dalam konteks Sekar, kehilangan akses pembiayaan untuk melanjutkan pendidikan tinggi karena sang ayah kehilangan pekerjaan akhirnya terselesaikan lewat peran lembaga filantropi.

Sekar merupakan Tanoto Scholar (sebutan untuk penerima beasiswa Tanoto Foundation) yang berkuliah di Universitas Diponegoro. Sekar percaya, lingkaran setan kemiskinan dapat diputus lewat pendidikan tinggi berkualitas. Sebab itu, ia pun berharap agar akses terhadap pendidikan tinggi lebih merata, dan perguruan tinggi terus berbenah meningkatkan kualitasnya demi membentuk generasi penerus bangsa.

“Ingat, tidak boleh ada satu pun anak yang tertinggal. Semua berhak atas akses yang sama, yang baik, yang setara, untuk mendukung perkembangannya. Lalu, setelah akses diberikan, kualitas ditingkatkan, penting untuk membekali mahasiswa dengan keahlian-keahlian masa kini. Tentunya skill yang dibutuhkan tahun ini dengan 10 tahun lalu berbeda, bukan? Kurikulum perlu disesuaikan agar dapat menjawab kebutuhan profesional terkini,” sambung Sekar di auditorium Perpustakaan Nasional.

Selain Sekar, di tempat dan panggung yang sama tampil juga Alfred Boby Tangkonda (guru dari Nusa Tenggara Timur), Nissi Taruli (teman Tuli, pengajar, aktivis), dan Gusman Yahya (Perhimpunan Filantropi Indonesia). Keempatnya mewakili Policy Forum on Education (PFoE) memaparkan tantangan pendidikan terkini sekaligus menyampaikan komunike atau rekomendasi kebijakan bagi siapa pun yang kelak menjadi pemimpin negeri ini.

PFoE sendiri merupakan forum kolaborasi antara The Conversation, Tanoto Foundation, UNICEF, Puskapa UI, SEAMEO CECCEP, SMERU, Indonesia Mengajar, Inspirasi, Center for Digital Society UGM, INOVASI, Quizizz, PSPK, Rumah Kepemimpinan, CSIS, CIPS, Filantropi Indonesia, KIPIN, dan Article 33 Indonesia. Semua yang terlibat berkolaborasi untuk sama-sama mengurai dan memberi solusi atas berbagai tantangan pendidikan Indonesia saat ini.

Rangkaian kegiatan PFoE dibuka dengan mengundang publik mengirimkan paper tentang 8 tema pendidikan mutakhir, mulai dari implementasi child-centered approaches dalam Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), tantangan pendidikan di era kecerdasan buatan, sampai design thinking dalam pendidikan.

Berikutnya, PFoE menggelar lokakarya inovasi pendidikan di Riau, Jawa Tengah, Jambi, Sumatera Utara, dan Kalimantan Timur. Terakhir, forum ini menyusun komunike kebijakan terkait dunia pendidikan, didasarkan pada kesepakatan anggota forum mengenai kekuatan, tantangan, dan inovasi yang perlu menjadi perhatian para pemangku kepentingan pendidikan di Indonesia.

Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah Iwan Syahril menilai, kerja-kerja kolaboratif seperti PFoE penting dirawat untuk mempercepat peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia.

“Forum seperti ini mempertemukan berbagai macam pemangku kepentingan dari berbagai organisasi, termasuk dari masyarakat dan pemerintah. Yang terpenting, kita memiliki tujuan bersama, yaitu bagaimana murid-murid kita yang ada di sekolah saat ini bisa mendapat layanan yang semakin baik. PR kita masih banyak, tapi jika kita bisa bergotong royong, bisa satu tujuan, saya yakin kita bisa bergerak lebih cepat dari yang kita inginkan,” ungkap Iwan kepada tirto, Rabu (13/12).

Senada dengan Iwan, Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan BAPPENAS Amich Alhumami juga menyebut kerja-kerja kolaboratif seperti PFoE sebagai kerja-kerja yang melampaui pemerintahan. Maksudnya, kolaborasi semacam ini akan senantiasa bermanfaat dan relevan baik bagi pemerintah Indonesia sekarang maupun yang akan datang.

“Isu pendidikan yang sedemikian besar tidak bisa diselesaikan pemerintah semata. Semoga kegiatan-kegiatan kolaborasi seperti ini rutin dilakukan dan berkelanjutan,” ungkap Amich, Rabu (13/12/2023).

(JEDA)

Penulis: Tim Media Servis