tirto.id - Satu per satu aliran dana korupsi mantan Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo (SYL), terkuak di meja hijau di ruang sidang PN Tindak Pidana Korupsi, Jakarta Pusat. Uang hasil korupsi SYL dengan nilai total Rp44,5 miliar itu, mengalir untuk kepentingan keluarga mulai dari istri, anak, hingga cucunya.
Dalam dakwaan SYL, duit hasil korupsi tersebut digunakan untuk kepentingan istrinya sebesar Rp938 juta. Kemudian untuk kepentingan keluarga SYL sebesar Rp992 juta, keperluan pribadi SYL Rp3,33 miliar, dan kado undangan Rp381 juta.
Dalam persidangan hakim kembali menemukan fakta-fakta baru. Mantan ajudan SYL, Panji Hartanto, yang dihadirkan sebagai saksi mengungkap aliran dana korupsi SYL digunakan untuk pembelian senjata api sebagai kado ulang tahun putri SYL, Indira Chunda Thita Syahrul atau Thita.
Pembelian senjata api tersebut menggunakan dana dari Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian, sesuai arahan dari SYL. Panji mengakui, dirinya berinisiatif meminta uang ke Ditjen Tanaman Pangan untuk membeli senjata api. Ini didasari pada kebiasaan yang dilakukan anak SYL, Thita yang kerap meminta uang dari anggaran Ditjen Tanaman Pangan.
Selain itu, cucu SYL, Andi Tenri Bilang Radisya Melati alias Tenri alias Bibie, juga turut menikmati uang panas tersebut. Bibie yang notabene magang di Kementerian Pertanian digaji hingga Rp10 juta karena memiliki surat keputusan (SK) sebagai tenaga ahli Biro Hukum Kementan.
Sebelumnya juga terungkap biaya khitanan cucu SYL ditanggung oleh Kementerian Pertanian. Hal ini diungkap eks Kepala Bagian Rumah Tangga Biro Umum dan Pengadaan Kementan, Abdul Hafidh, dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (29/4/2024).
Awalnya, Hakim Anggota, Ida Mustikawati, mendalami anggaran Kementan yang dikeluarkan Biro Umum untuk kepentingan SYL. Salah satunya, hakim mengungkap ada anggaran untuk biaya khitanan anak dari Kemal Redindo, Putra SYL. Meskipun begitu, nilai aliran dana biaya khitanan tersebut besarnya tidak diketahui.
Tidak hanya itu, SYL juga menggunakan uang Kementerian Pertanian untuk renovasi rumah pribadi. Ihwal renovasi rumah pribadi, terungkap dalam persidangan melalui pernyataan dari saksi Sub Koordinator Pemeliharaan Biro Umum dan Pengadaan Kementan, Ignatius Agus Hendarto. Ia bertugas pada bagian pemeliharaan gedung dan bangunan.
Ignatius menyampaikan, dirinya bertugas dalam pemeliharaan rumah dinas dan kantor pusat, bukan rumah pribadi. Namun, menurut Ignatius, ia melakukan renovasi di rumah pribadi SYL atas permintaan dari atasannya dan pihak SYL.
Dalam renovasi tersebut biaya yang dikeluarkan adalah Rp52,7 juta untuk perbaikan taman, Rp40 juta untuk CCTV, Rp17 juta untuk gorden rumah, dan Rp48 juta untuk AC, smart tv, dan air purifier.
Tidak hanya itu, dalam persidangan juga terungkap SYL sering memberikan uang, tas Balenciaga hingga membantu membayar cicilan apartemen biduan, Nayunda. Penyanyi dangdut itu pun mengaku pernah meminta menjadi pegawai honorer di Kementerian Pertanian. Permintaan tersebut disampaikan kepada cucu SYL, Andi Tenri Bilang Radisya alias Bibie.
Miskin Moralitas
Apa dilakukan SYL tentu mencerminkan sikap 'miskinnya'. Bukan miskin secara keuangan, namun miskin dalam persoalan moralitas dan sikap tidak tahu malu. Karena faktanya, SYL sendiri sebenarnya bukan orang tidak berharta melainkan memiliki kekayaan cukup besar.
Berdasarkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara atau LHKPN jumlah kekayaan SYL yang dilaporkan pada 2022 mencapai Rp20,05 miliar. Kekayaan yang dilaporkan SYL mengalami peningkatan sebanyak Rp442,5 juta dalam kurun waktu satu tahun terakhir. Sebelumnya, pada 31 Desember 2021, kekayaannya sebesar Rp19,61 miliar.
“Ini kalau bahasa Jawa-nya celamit ya, atau kalau bahasa sunda-nya culamitan nih. Mungkin Bahasa Indonesia-nya secara sederhana adalah ketamakan,” ujar Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Zaenur Rohman saat berbincang dengan Tirto, Rabu (29/5/2024).
Pakar hukum pidana Universitas Mulawarman (Unmul), Orin Gusta Andinia, mengatakan cikal bakal perilaku korupsi diawali dengan mementingkan kepentingan diri atau kelompok termasuk keluarga sehingga merugikan kepentingan publik.
Semakin tinggi jabatan maka semakin luas juga kewenangan yang bisa disalahgunakan, termasuk semakin banyak orang dekat yang terlibat yang menerima keuntungan dari penyalahgunaan itu. Bahkan, tidak menutup kemungkinan di luar keluarga masih bisa mendapatkan keuntungan.
“Kalau memang yang terungkap di fakta persidangan [SYL], bukan sesuatu yang terlalu mengejutkan. Karena sudah terlalu banyak praktik buruk dalam menduduki jabatan atau kekuasaan. Mulai dari institusi kecil sampai besar bahkan sampai ke jabatan di pemerintahan,” kata Orin kepada Tirto, Rabu.
KPK Perlu Dalami Peran Keluarga
Di luar dari masalah aliran dana, kata Zaenur, justru meminta KPK mendalami peran keluarga SYL. Apakah keluarga itu sekadar menikmati atau justru jangan-jangan juga turut aktif mengatur para pejabat di Kementerian Pertanian.
“Kalau seperti itu, aktif mengatur para pejabat, maka saya pikir yang melakukan itu harus dijerat dengan pasal korupsi sebagai pelaku penyerta, pasal 55,” ujar Zaenur.
Dia mengatakan jika memang sekadar menerima dari SYL, mungkin wajar. Sebab, SYL sendiri sebagai anggota atau kepala keluarga yang menafkahi. Namun, kalau pemberiannya berasal dari para pejabat di Kementerian Pertanian, maka para penerima ini dalam hal ini keluarga SYL dapat dijerat dengan pasal 5 Undang-Undang TPPU sebagai TPPU pasif.
“Kenapa? Karena menerima harta yang berasal atau patut diduga dari kejahatan. Nah, inilah yang harus dikejar oleh KPK,” ujar Zaenur.
Selain itu, Zaenur juga meminta KPK menelusuri rekam jejak SYL ke belakang selama menjabat sebagai Gubernur Sulawesi Selatan. Karena perilaku SYL yang seperti ini diduga tidak berkembang ketika menjadi menteri saja, bisa jadi saat ia menjabat sebagai kepala daerah.
“Apakah ketika yang bersangkutan menjabat di Provinsi Sulawesi Selatan ini juga punya perilaku serupa? Dan ini juga menjadi kesempatan bagi KPK untuk membongkar. Apakah ada korupsi-korupsi lain yang dilakukan oleh SYL?,” ungkap Zaenur.
Dia menuturkan sangat mungkin ada bentuk-bentuk korupsi lain di Kementerian Pertanian. Atau juga di tempat sebelumnya di mana SEL menjabat. Baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota selama belum kedaluwarsa waktunya.
“Dan ini sangat mungkin adalah perilaku yang tumbuh karena berbagai bentuk pembiaran selama bertahun-tahun kemudian. Tapi akar masalahnya ini tetap adalah tidak bisa membedakan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan kedinasan,” ungkap Zaenur.
Lebih lanjut, Peneliti Transparency International Indonesia (TII), Alvin Nicola, mengatakan kasus SYL ini menjadi bentuk nyata gagalnya sistem birokrasi RI dalam mengadang arus konflik kepentingan. Maka, sudah saatnya presiden terpilih selanjutnya memilih kursi menteri yang punya rekam jejak integritas yang tidak diragukan, bahkan jika memungkinkan tidak berasal dari partai politik.
“Intinya harus ada due diligence yang ketat, karena tanpa itu sama saja seperti bagi-bagi kue kekuasaan dan tak berdampak bagi efektivitas pemerintahan,” ungkap Alvin.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Intan Umbari Prihatin