tirto.id - Hakim Agung nonaktif, Gazalba Saleh, lolos dari jeratan Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) mengabulkan eksepsi Gazalba Saleh dalam perkara penerimaan gratifikasi dan pencucian uang.
Gazalba sebelumnya didakwa menerima gratifikasi sebesar Rp650 juta dan melakukan pencucian uang dari hasil tindak pidana korupsi. Dalam catatan Tirto, pada 2023 Gazalba juga bebas dari dakwaan Jaksa Penuntutan Umum (JPU) KPK.
Dalam putusan kali ini, Ketua Majelis Hakim, Fahzal Hendri, menilai jaksa tak memiliki kewenangan menuntut Gazalba Saleh.
"Majelis Hakim mengadili, mengabulkan nota keberatan dari tim penasihat hukum terdakwa Gazalba Saleh," kata Fahzal Hendri, dalam sidang putusan sela di Pengadilan Tipikor Jakarta dikutip Antara.
Fahzal menjelaskan salah satu alasan Majelis Hakim mengabulkan nota keberatan Gazalba, yakni tidak terpenuhinya syarat-syarat pendelegasian penuntutan dari Jaksa Agung RI selaku penuntut umum tertinggi sesuai asas single prosecution system (sistem penuntutan tunggal).
Majelis hakim berpendapat Direktur Penuntutan KPK tidak memiliki kewenangan sebagai penuntut umum dan tidak berwenang melakukan penuntutan perkara tindak pidana korupsi dan TPPU dalam kasus Gazalba Saleh. Sebab itu, penuntutan dan surat dakwaan penuntut umum KPK tidak dapat diterima.
Untuk itu, majelis hakim memerintahkan Gazalba dibebaskan dari tahanan segera setelah putusan sela diucapkan serta membebankan biaya perkara kepada negara.
Namun Fahzal menuturkan, putusan sela yang diberikan majelis hakim tidak masuk kepada pokok perkara atau materi sehingga apabila jaksa penuntut umum KPK sudah melengkapi administrasi pendelegasian wewenang penuntutan dari Kejaksaan Agung, maka sidang pembuktian perkara bisa dilanjutkan.
Keputusan Janggal
Putusan tersebut pun menuai kritikan dari pegiat antikorupsi maupun ahli hukum. Pegiat Antikorupsi PUKAT UGM, Zaenur Rohman, menilai ada yang janggal dari keputusan yang diambil majelis hakim.
Zaenur menuturkan di dalam UU Kejaksaan No 11 tahun 2021, dikatakan kejaksaan itu satu dan tidak terpisahkan. Tetapi bukan berarti ketika seorang jaksa KPK ingin menuntut di dalam sebuah persidangan harus izin atau menerima pelimpahan kekuasaan dari Jaksa Agung.
"Kenapa? karena kewenangan dari jaksa penuntut umum KPK itu sudah diberikan oleh undang-undang KPK bahwa KPK itu bertugas melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan," kata Zaenur.
Kedua, Zaenur, menuturkan, jaksa KPK bisa melakukan peyidikan dan penuntutan dengan mengambil alih perkara di kepolisian dan kejaksaan. Dia menilai tidak logis ketika KPK harus meminta izin ke lembaga lain sementara mereka bisa menuntut maupun menyidik sesuai kewenangan undang-undang yang dimiliki.
Hal itu pun tercatat dalam UU KPK pada UU 19 tahun 2019 tentang kewenangan pengambilalihan penyidikan dan penuntutan.
"Jadi jangan kan izin, enggak perlu KPK bahkan bisa mengambil alih perkara Kejaksaan Agung. Jadi sama sekali tidak benar alasan dari majelis hakim PN Jakarta Pusat ketika menerima eksepsi dari Gazalba Saleh," kata Zaenur.
Zaenur pun mendorong KPK melakukan upaya perlawanan hukum dengan mengajukan banding ke pengadilan tinggi. Pembuktian harus dilanjutkan jika banding menyatakan putusan eksepsi pengadilan negeri tidak dapat diterima.
Selain itu, Zaenur mendorong agar badan pengawas MA maupun Komisi Yudisial untuk turun dalam memantau kasus ini. Dia menilai perlu ada atensi selain dari KPK agar melihat kasus secara murni dalam kacamata hukum.
Tidak hanya Zaenur, Ahli Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menduga hakim justru terkesan mencari alasan padahal tahu perbedaan KPK dan kejaksaan. Dia juga menuturkan, pertimbangan majelis hakim tidak berdasarkan hukum.
Hakim menganggap jaksa KPK yang bertugas di KPK belum menerima pendelegasian dari Jaksa Agung. Fickar menilai, penuntutan KPK tetap sah karena UU KPK memberi wewenang penegakan hukum dan upaya paksa termasuk pendakwaan dan penuntutan kasus korupsi pada terdakwa lewat jaksa KPK.
Selain itu, dia juga mengingatkan UU Kejaksaan menyatakan semua jaksa adalah satu-kesatuan, termasuk jaksa yang bertugas di KPK. Oleh karena itu, KPK seharusnya tetap memproses hukum karena putusan terkesan nyeleneh dan mencari alasan.
Lebih lanjut, Fickar melihat hakim lemah dalam menafsirkan ketentuan sehingga KY harus turun tangan. Selain itu, KPK bisa melawan proses hukum lewat banding atau peninjauan kembali sebagai upaya hukum luar biasa.
Komisi Yudisial pun turun tangan dalam kasus Gazalba Saleh. Juru Bicara Komisi Yudisial (KY), Mukti Fajar Nur Dewata, memastikan mereka akan turun untuk menelusuri kebenaran isi putusan tersebut.
Walaupun tidak masuk pada teknis yudisial, KY akan menjadikan putusan sebagai pintu masuk ke dalam penelusuran kasus Gazalba Saleh. Mukti mengungkapkan KY dihadapkan pada aturan tidak boleh menilai suatu putusan pengadilan.
"Meskipun KY tidak bisa menilai suatu putusan, tetapi putusan dapat menjadi pintu masuk bagi KY untuk menelusuri adanya pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH)," kata Mukti, Selasa.
Dia juga menambahkan KY tidak bisa masuk ke dalam ranah teknis yudisial. KY menghargai hakim yang memiliki kewenangan penuh dan independen dalam setiap mengadili perkara. KY berwenang menganalisa sebuah putusan jika telah berkekuatan hukum tetap.
"Komisi Yudisial (KY) menaruh perhatian mengenai putusan majelis hakim yang mengabulkan eksepsi hakim agung nonaktif GS, sebagai inisiatif KY karena menjadi perhatian publik. Namun KY tidak berwenang untuk masuk wilayah pertimbangan hakim sebab sudah masuk ke ranah teknis yudisial," kata Mukti.
Putusan Majelis Hakim Mempengaruhi KPK
Sementara itu, Komisioner KPK, Alexander Marwata, mengaku heran dengan pertimbangan hakim yang mengabulkan eksepsi. Dia menilai aksi hakim sama dengan mencabut wewenang pimpinan yang mengangkat dan memberhentikan jaksa.
"Sekali pun hakim merdeka dan independen dalam memeriksa dan mengadili, bukan berarti seenaknya sendiri membuat putusan dengan mengabaikan UU dan praktik yang selama 20 tahun diterima. Direktur Penuntut KPK direkrut lewat proses rekruitmen. Dirtut diangkat dan diberhentikan oleh pimpinan. SK selaku dirtut ditandatangani oleh pimpinan. Bukan oleh jaksa agung," tutur Alex.
Lebih lanjut, Alex menilai, dengan putusan hakim agar dirtut KPK memperoleh pendelegasian wewenang dari Jaksa Agung sama saja dengan mengebiri independensi kewenangan KPK dalam melakukan penuntutan.
"UU KPK memberikan mandat kepada pimpinan KPK untuk melakukan penuntutan perkara korupsi yang ditangani KPK. Jadi pimpinan KPK yang mendelegasikan kewenangan penuntutan kepada jaksa/dirtut KPK, bukan Jaksa Agung," ungkap Alex.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Intan Umbari Prihatin