Menuju konten utama

Lubang Jebakan di Balik Wacana Student Loan Kemendikbud

Sejumlah kalangan menilai skema pinjaman pendidikan atau student loan merupakan bentuk komersialisasi pendidikan yang paling berbahaya.

Lubang Jebakan di Balik Wacana Student Loan Kemendikbud
ilustrasi Perguruan Tinggi. foto/istockphoto

tirto.id - Morat-marit masalah biaya kuliah tinggi belakangan ini akan semakin kusut, jika pemerintah mengegolkan wacana pinjaman pendidikan atau student loan tanpa aturan matang. Sejumlah kalangan menilai skema pinjaman pendidikan hanya akan membuat masalah baru.

Alih-alih merombak regulasi yang menjadi akar masalah biaya kuliah tinggi – termasuk uang kuliah tunggal (UKT) dengan angka selangit – pemerintah malah membuka lubang jebakan utang bagi generasi bangsa.

Wacana skema pinjaman pendidikan toh masih berpeluang dilanjutkan. Dalam agenda rapat di DPR bersama Komisi X, Selasa (21/5/2024) pekan lalu, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek), Nadiem Makarim, menyatakan wacana student loan masih dalam tahap pembahasan di Kemendikbud. Dia juga menambahkan bahwa saat ini, wacana tersebut bakal dibahas cukup panjang bersama kementerian di luar bidang pendidikan.

Direktur Institute For Demographic and Poverty Studies (IDEAS), Yusuf Wibisono, menilai skema pinjaman pendidikan merupakan wacana kapitalisme yang bertentangan dengan semangat konstitusi. Skema pinjaman pendidikan disebut cacat konstitusional sebab bertentangan dengan mandat UUD 1945 untuk menjamin hak pendidikan warga negara.

“Konstitusi sejak awal telah memberi amanat bahwa salah satu intervensi terpenting negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa,” ujar Yusuf kepada reporter Tirto, Senin (27/5/2024).

Implikasi tugas konstitusi ini, kata Yusuf, memandatkan negara menyelenggarakan layanan pendidikan yang berkualitas dan merata untuk semua anak bangsa. Kuliah murah bahkan gratis, memang secara jelas bakal membutuhkan dukungan anggaran yang masif. Namun, manfaat dari pendidikan tinggi bagi perekonomian jauh lebih besar daripada biaya yang ditanggung pemerintah dan masyarakat.

“Kewajiban konstitusi bahwa anggaran pendidikan minimal 20 persen dari APBN dan APBD, sejatinya adalah jendela kesempatan yang besar untuk mendorong tingkat partisipasi pendidikan tinggi, terutama mahasiswa dari kelas bawah di PTN,” ucap Yusuf.

Akar masalah dari biaya UKT perguruan tinggi negeri melonjak drastis ada pada Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 2 tahun 2024. Aturan tersebut hanya mengatur biaya UKT untuk kelompok 1 dan 2, sisanya bisa ditetapkan pihak kampus sesuai kebutuhan. Terutama bagi PTN-BH memang memiliki keluwesan otonomi di bidang sumber daya manusia, aset, dan keuangan dibandingkan PTN dengan pengelolaan keuangan badan layanan umum (BLU) dan PTN satuan kerja (satker). Hal ini sebagaimana tercantum dalam UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi.

Dalam Permendikbud anyar tersebut, kampus yang bukan PTN-BH harus mendapatkan persetujuan kenaikan UKT dari Kemendikbud Ristek terlebih dahulu, sebelum disodorkan ke mahasiswa.

Sementara untuk PTN-BH peraturan bisa lebih longgar, cukup berkonsultasi saja dengan Kemendikbud Ristek. Hal ini yang membuat besaran UKT bagi mahasiswa baru di sejumlah perguruan tinggi negeri naik berkali-kali lipat serta mengundang gelombang protes yang masif.

“Ironisnya, semakin mahal biaya kuliah tak selalu berkorelasi dengan mutu penyelenggaraan pendidikan tinggi yang semakin baik,” terang Yusuf.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menyatakan skema pinjaman pendidikan alias student loan merupakan bentuk komersialisasi pendidikan yang paling berbahaya. Mahasiswa, kata Bhima, seakan diajari berutang besar sejak dini. Namun, begitu lulus antara gaji dengan beban cicilan utang yang harus dibayar pun bisa saja tidak sebanding.

“Akibatnya, banyak lulusan perguruan tinggi yang bekerja tapi sebenarnya di bawah standar biaya hidup layak. Kondisi ini menyebabkan pemiskinan calon tenaga kerja secara struktural,” kata Bhima kepada reporter Tirto, Senin.

Amerika Serikat (AS) merupakan salah satu negara yang menerapkan skema pinjaman pendidikan bagi mahasiswa. Kendati demikian, Bhima menilai program ini di AS malah gagal. Bahkan salah satu program yang dilakukan pemerintah Presiden AS Joe Biden saat ini adalah menghapus beban mahasiswa yang terjebak utang skema pinjaman pendidikan.

“Dari sisi lembaga keuangan khususnya bank, student loan masih punya beberapa hambatan salah satunya kepastian mendapatkan pekerjaan setelah lulus perguruan tinggi di Indonesia yang cukup rendah,” tutur Bhima.

Raker TPPO berkedok magang di Jerman

Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Makarim (kiri) menyampaikan paparan dalam rapat kerja bersama Komisi X DPR di kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (3/4/2024). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/tom.

Ketidakpastian lapangan pekerjaan yang layak membuat risiko kredit macet skema pinjaman pendidikan menjadi besar. Data BPS pada Agustus 2023 menunjukkan bahwa tingkat pengangguran terbuka bagi lulusan perguruan tinggi mencapai 5,18 persen. Selain itu, persentase penyerapan tenaga kerja lulusan universitas baru 10,3 persen.

“Artinya tidak semua lulusan perguruan tinggi terserap di pasar tenaga kerja. Jadi dari segi bisnis risiko student loan cukup tinggi. Ada kekhawatiran tingkat gagal bayar,” jelas Bhima.

Wacana yang beredar saat ini, pinjaman pendidikan memang memiliki beberapa skema. Ada skema kredit jangka panjang dengan hak tanggungan, dengan tenor pembayaran yang sudah ditentukan sejak awal. Selain itu, ada pula skema pinjaman berbasis pendapatan, di mana cicilan pembayaran utang akan ditentukan dengan level pendapatan setelah lulus.

Bhima berujar, sebaiknya pemerintah tak melanjutkan wacana skema pinjaman pendidikan. Terlebih, jika skema pinjaman nantinya diambil alih oleh pihak ketiga seperti perusahaan swasta di bidang pinjaman daring. Adapun bila nantinya konsep pembiayaan pinjaman didapat melalui APBN atau Himbara, justru akan membebani anggaran negara.

“Apalagi kalau ujungnya nanti ada penghapusan utang student loan karena mahasiswa kesulitan bayar. Itu beban APBN jangka panjang lebih besar lagi,” tutur Bhima.

Solusi Alternatif, Bukan Utama

Peneliti Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad, mengingatkan bahwa skema pinjaman pendidikan adalah solusi alternatif dan bukan jalan keluar utama untuk membenahi biaya perguruan tinggi yang membengkak. Di sisi lain, PTN-BH yang memiliki kewenangan mencari sumber pembiayaan mandiri pun seharusnya menjadikan keputusan menambah besaran UKT sebagai jalan terakhir.

“Perguruan tinggi memiliki sumber pendapatan yang bisa meningkatkan income. Kan punya aset rata-rata itu seperti gedung atau hotel, kan bisa dikelola pihak ketiga menjadi sumber income. Ada pula dana voluntary dari alumni,” jelas Tauhid kepada reporter Tirto, Senin.

Namun yang terpenting, kata dia, pemerintah harus memberikan anggaran yang besar bagi perguruan tinggi dari APBN bidang pendidikan. Pasalnya, Tauhid melihat anggaran untuk perguruan tinggi justru sangat kecil dan cenderung stagnan. Di Indonesia, anggaran pendidikan tinggi hanya mencakup 0,6-1,6 persen dari APBN, jauh dari angka standar yang ditetapkan UNESCO sebesar 2 persen dari APBN.

Sementara itu, Tauhid menekankan jika skema pinjaman pendidikan diterapkan, harus dipastikan aturan yang ada nanti, tidak membebani mahasiswa dan keluarganya. Salah satu cara yang dapat meringankan beban tersebut bisa dengan menyubsidi bunga pinjaman bagi mahasiswa.

“Konsep yang akan sangat membantu mahasiswa adalah tanpa bunga. Itu harus ditanggung pemerintah, apalagi kita punya dana abadi pendidikan. Jadi itu perlu ditanggung,” tegas Tauhid.

MAHASISWA GUNADARMA TUNTUT KERINGANAN BIAYA KULIAH

Sejumlah mahasiswa melakukan aksi di depan Kampus D, Universitas Gunadarma, Depok, Jawa Barat, Senin (27/7/2020). ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha/pras.

Pengamat pendidikan dari Fakultas Ilmu Pendidikan dan Psikologi Universitas Negeri Semarang (UNNES), Edi Subkhan, menilai skema pinjaman pendidikan memang bisa menjadi solusi biaya kuliah tinggi. Namun, dia mengingatkan, ada risiko besar di baliknya yang dapat berubah menjadi simalakama sewaktu-waktu.

Student loan ini seolah menunjukkan ketidakseriusan pemerintah dalam membiayai pendidikan tinggi negeri, karena mestinya di PTN apapun statusnya porsi pembiayaan dari pemerintah harus besar,” ujar Edi kepada reporter Tirto, Senin.

Kalau skema student loan yang dipilih harus melunasi pinjaman sebelum mahasiswa lulus, artinya mahasiswa berpotensi tidak fokus studi, sebab harus cari uang melunasi utang. Adapun jika skema student loan yang dipilih merupakan pembayaran setelah lulus, maka ada beban ganda karena mahasiswa harus memenuhi kebutuhan sehari-hari dan berumah tangga sambil melunasi utang masa kuliah.

“Pemerintah bisa menambah proporsi subsidi ke kampus PTN agar UKT turun, bisa juga memperbanyak beasiswa. Perhitungannya, kalau pemerintah menambah subsidi dan UKT turun, maka makin banyak kalangan menengah ke bawah bisa mengakses pendidikan tinggi negeri,” terang Edi.

Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Perlindungan Konsumen OJK, Friderica Widyasari Dewi, mengaminkan bahwa skema pinjaman biaya pendidikan dengan bunga rendah seharusnya hanya menjadi salah satu alternatif. Kiki, sapaan akrabnya, memandang skema student loan memerlukan kajian matang oleh berbagai pihak, termasuk pihak perbankan.

“Misalnya, term and condition-nya dipermudah. Misalnya, nanti kalau membayar bisa setelah dia bekerja dan lain-lain. Jadi term and condition-nya bisa dibahas untuk semua pihak bisa dengan win-win solution,” ujar Kiki dikutip dari Antaranews, Senin.

Di sisi lain, apabila pemerintah memiliki skema lain yang memungkinkan biaya UKT menjadi terjangkau, langkah ini dinilai Kiki jauh lebih baik. Sementara skema pinjaman pendidikan jika ingin dilanjutkan maka harus tetap mempertimbangkan tujuan utama, yakni membantu mahasiswa hingga lulus kuliah.

“Tiap produk keuangan itu tidak tentu cocok untuk semua orang, termasuk seperti student loan ini kan menjadi satu alternatif saja yang bisa dipilih oleh mahasiswa,” ujar Kiki.

Baca juga artikel terkait UKT atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Maya Saputri