Menuju konten utama

Dipakai Sekarang atau Buat Tabungan? Dilema Gen Z Terhadap Uang

Memprioritaskan kenyamanan, investasi pada pertumbuhan pribadi & kesehatan mental semasa muda tentu bagus, namun apa konsekuensinya buat masa pensiun kelak?

Dipakai Sekarang atau Buat Tabungan? Dilema Gen Z Terhadap Uang
Header Diajeng Soft Saving Gen Z. tirto.id/Quita

tirto.id - Nasihat keuangan lazimnya menganjurkan kita untuk berorientasi ke masa depan demi kehidupan pensiun yang layak.

Maka jangan heran apabila kemudian tak sedikit orang yang menganggap penting bekerja keras di masa muda agar dapat menyisihkan sejumlah pendapatannya untuk masa pensiun.

Nah, beberapa tahun belakangan, muncul tren menarik terkait ini. Pandangan soal kerja keras dan menyimpan uang secara agresif untuk bekal di hari tua ternyata mengalami pergeseran. Kalangan pekerja muda, terutama Gen Z, justru cenderung memilih untuk menerapkan soft saving. Apa itu?

Soft saving mengacu pada upaya menyisihkan lebih sedikit uang untuk masa depan dan memilih menggunakannya lebih banyak untuk kepentingan pada masa kini.

Yup, angkatan muda lebih memilih untuk mencapai keseimbangan hidup dan membelanjakan uang untuk hal-hal yang disukainya saat ini, seperti hobi atau pelesiran, alih-alih punya tabungan yang sumbernya harus diperoleh lewat usaha keras dengan mendapatkan promosi, mencari pekerjaan tambahan, atau menghemat pengeluaran.

"Gen Z tertarik untuk menikmati hidupnya sekarang dan merasakan kualitas hidup lebih baik,” terang Brittney Castro, perencana keuangan bersertifikat dan advokat keuangan konsumen di perusahaan financial software Intuit, dikutip dari situs Money Wise.

Pergeseran itu juga ditangkap dalam Studi Indeks Kemakmuran (2023) yang dikeluarkan oleh Intuit. Studi tersebut menemukan bahwa pendekatan investasi dan keuangan pribadi Gen Z memang lebih lunak dibandingkan generasi-generasi sebelumnya.

Diajeng Soft Saving Gen Z

Kolase seni kontemporer dari tiga tangan wanita dengan banyak tas belanja. FOTO/iStockphoto

Apa yang memicu generasi muda ini memilih untuk menjalani soft saving?

Keputusan Gen Z memilih soft saving salah satunya berkaitan dengan ketidakstabilan situasi global. Angkatan ini baru saja memulai perjalanan finansialnya, yang sayangnya harus terdampak oleh gejolak ekonomi—mulai dari pandemi, tingkat inflasi tinggi, gaji pas-pasan, hingga kenaikan suku bunga.

Akibatnya, situasi demikian tak jarang membikin pengeluaran sehari-hari generasi muda ini jadi tidak sebanding dengan pendapatan yang didapat. Gen Z hanya mampu menyisihkan sedikit uang, sementara mengejar ketertinggalan finansial jadi upaya yang melelahkan dan menegangkan.

Costumer Affairs menuturkan, Gen Z memiliki daya beli 86 persen lebih rendah dibandingkan generasi Baby Boomer pada kisaran usia 20-an.

Secara proporsional, generasi muda membayar jauh lebih besar untuk kebutuhan pokok seperti makanan, perumahan, dan bahan bakar—serta punya lebih banyak utang.

Kondisi ini mau tak mau memengaruhi cara dalam membelanjakan, menabung, berivestasi, dan memandang masa depan, yang akhirnya membikin anak muda semakin ragu-ragu menetapkan tujuan jangka panjang.

Tekanan finansial demikian bahkan dapat berdampak pada kesehatan mental!

Bankrate’s Money and Mental Health Survey baru-baru ini menyebutkan, sekitar 47 persen Gen Z (berusia 18-27 tahun) mengatakan uang berdampak negatif pada kesehatan mental mereka.

Akibatnya, mereka jadi berpotensi mengalami kecemasan, stres, khawatir, kurang tidur, bahkan sampai depresi.

Tekanan ini semakin terasa dengan kencangnya paparan media sosial. Tak sedikit Gen Z dan Milenial mengatakan bahwa mereka menganggap negatif kondisi keuangannya sendiri setelah melihat dan membandingkannya dengan unggahan orang lain di media sosial.

Unggahan yang berasal dari lingkaran pertemanan atau kalangan influencer ini kerap kali memamerkan pakaian mewah atau pengalaman liburan mahal, yang belum tentu mampu mereka jangkau.

Bagi generasi muda lainnya, paparan media sosial seperti itu justru menggiring pada meningkatnya biaya hidup akibat aktivitas belanja yang di luar jangkauan.

Menurut survei tahunan Gen Z dan Milenial oleh Deloitte (2023), dari 22.000 responden Gen Z dan Milenial di 44 negara, terungkap satu dari lima (20 persen) Gen Z menghabiskan lima jam atau lebih sehari di platform media sosial, sementara 17 persen Milenial menghabiskan lima jam atau lebih dalam sehari untuk menonton video.

"Sesi yang panjang untuk menggulir, menggeser, dan mengetuk jadi membikin otak kita memeriksa dan mengirimkan sinyal neurokimia tentang demotivasi dan kegagalan," ungkap Brittany Harker Martin, profesor kepemimpinan, kebijakan, dan tata kelola di University of Calgary.

Ketika akhirnya Gen Z merasa terbebani dengan berbagai tekanan finansial tersebut, jadilah mereka lebih mengutamakan pengalaman yang memprioritaskan kualitas hidup lebih baik, seperti pertumbuhan pribadi dan kesehatan mental, alih-alih menabung untuk masa depan.

"Ini lebih tentang kenyamanan, mengurangi stres, mengurangi tekanan untuk menabung demi masa depan dan menginvestasikan uang untuk pertumbuhan pribadi serta kesejahteraan mental," ungkap Castro.

Diajeng Soft Saving Gen Z

Sebuah tangan menempatkan hati ke dalam celengan. FOTO/iStockphoto

Di balik itu semua, selalu ada konsekunesi dari pilihan sebuah gaya hidup. Pilihan untuk menjalankan soft saving bukan tidak mungkin melahirkan generasi yang tidak siap menghadapi masa pensiun.

Pensiun, dalam arti sederhananya, adalah meninggallkan dunia kerja secara permanen.

Menariknya, potensi ketidaksiapan menghadapi masa tua dapat dipatahkan karena makna pensiun juga bergeser antargenerasi.

Laporan Intuit mengungkapkan, kekhawatiran tentang masa pensiun tidak terlalu jadi soal bagi generasi muda. Pasalnya, sebagian besar tidak ingin pensiun dini. Beberapa dari mereka bahkan enggan pensiun sama sekali.

Sekitar 41 persen Gen Z dan 44 persen Milenial cenderung ingin melakukan pekerjaan berbayar selama masa pensiun

Kendati demikian, Bola Sokunbi, pendiri Clever Girl Finance, tetap menyoroti soal pentingnya untuk melakukan persiapan.

Meski Gen Z punya gagasan berbeda mengenai kesejahteraan, Sokunbi menyarankan supaya mencapai keseimbangan antara kebahagiaan jangka pendek dan keamanan finansial jangka panjang.

“Masa depan tidak dapat diprediksi, sedangkan tingkat harapan hidup kita lebih tinggi dibandingkan generasi sebelumnya. Kita harus mampu menjaga masa depan kita,” kata Sokunbi.

Sokunbi meneruskan, "Dan sangat mungkin untuk melakukan soft saving sambil tetap menyisihkan sesuatu untuk masa depan.”

Nah, untuk tetap menikmati hidup sambil tetap menabung, salah satu hal yang bisa dilakukan adalah menyusun perencanaan keuangan.

Langkah ini dapat dimulai dengan budgeting atau membuat anggaran. Meski terkesan sulit, menetapkan anggaran adalah awal yang penting untuk mengetahui keinginan dan kebutuhanmu.

Kamu bisa membuat rencana pengeluaran bulanan ini di buku catatan, spreadsheet, atau aplikasi budgeting.

Jenis metode budgeting umumnya mencakup aturan 50-30-20, yang merupakan persentase untuk kebutuhan, keinginan, dan tabungan.

"Budgeting itu maksudnya menetapkan batasan dan melacak pengeluaran, sehingga membuat kamu tetap bertanggung jawab dan mengidentifikasi area mana yang bisa dikurangi," papar Greg McBride, CFA, kepala analis keuangan Bankrate.

Pada akhirnya, pilihan soal kualitas hidup dan kesehatan finansial jangka panjang lagi-lagi merupakan pilihan pribadi.

Seperti apa yang diungkapkan oleh Sokumbi, semuanya tergantung pada nilai dan keadaan individu.

Nah, dengan semua plus dan minusnya, mana yang akan kamu pilih?

Baca juga artikel terkait DIAJENG atau tulisan lainnya dari MN Yunita

tirto.id - Gaya hidup
Kontributor: MN Yunita
Penulis: MN Yunita
Editor: Sekar Kinasih