Menuju konten utama
Kasus Kekerasan Seksual

Saat Desakan Ekonomi & Kejahatan Siber Picu Kekerasan pada Anak

Seto Mulyadi memandang apa yang dilakukan R terhadap anaknya bukan saja kekerasan seksual, namun juga suatu bentuk tindak pidana pada anak.

Saat Desakan Ekonomi & Kejahatan Siber Picu Kekerasan pada Anak
Ilustrasi kekerasan seksual kepada anak. FOTO/Istock

tirto.id - Kasus dugaan tindak pidana asusila yang dilakukan seorang ibu muda berinisial R (22), terhadap anak laki-lakinya yang berusia lima tahun membuat gempar. Polda Metro Jaya yang menangani kasus ini sudah menetapkan R sebagai tersangka. Peristiwa ini bermula dari video viral di media sosial yang berisi adegan perempuan dewasa melakukan perbuatan asusila terhadap anak di bawah umur.

R (22) menyerahkan diri ke polisi, Minggu (2/6/2024) malam. Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Ade Ary Syam, menuturkan peristiwa dalam video berawal dari 28 Juli 2023 sekitar pukul 18.00 WIB ketika R dihubungi oleh seseorang di media sosial Facebook. Akun bernama Icha Shakila menawarkan pekerjaan kepada R.

“Kemudian pemilik akun Facebook Icha Shakila (DPO) membujuk tersangka untuk mengirimkan foto tanpa busana dengan iming-iming akan dikirimkan sejumlah uang,” ucap Ade dalam keterangan tertulis, Senin (3/6/2024).

Setelah itu, pada 30 Juli 2023, R diminta lagi membuat video dengan gaya dan skenario dari pemilik akun Facebook Icha Shakila. Dia juga mendapat ancaman apabila tidak membuat video yang diminta oleh akun tersebut, maka foto tanpa busana miliknya yang pernah dikirim akan disebarluaskan.

“Kemudian pada hari itu juga tanggal 30 Juli 2023 tersangka mengikuti perintah dari akun Facebook Icha Shakila untuk membuat video yang bermuatan pornografi antara tersangka dengan anak kandungnya,” ungkap Ade.

Diakui R, dia melakukan itu karena desakan kebutuhan ekonomi. Dia juga dijanjikan akan dikirim uang sejumlah Rp15 juta oleh akun Facebook bernama Icha Shakila tersebut. Polisi juga tengah memburu akun Facebook yang mengancam dan memaksa R melakukan dugaan tindakan pidana asusila ini.

Ilustrasi Kekerasan Seksual

Ilustrasi Kekerasan Seksual. FOTO/iStockphoto

Saat ini, R disangkakan dengan Pasal 45 ayat (1) jo Pasal 27 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2024 tentang perubahan kedua UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan atau Pasal 29 jo Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dan atau Pasal 88 jo Pasal 76 UU Nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Korban anak mendapatkan trauma healing yang dilakukan bersama Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). UPTD Pemkot Tangerang Selatan, memaparkan bahwa kondisi korban anak ceria dan tidak mencari ibunya ketika mendapatkan pendampingan. Namun, belum dilakukan pemeriksaan psikis lebih lanjut karena pertimbangan psikologis korban.

Kelindan desakan ekonomi dengan kejahatan kekerasan seksual berbasis elektronik (KBSE) menjadi momok di lingkup keluarga. Keadaan ekonomi lemah dapat menjadi pintu masuk pemicu tindakan kekerasan – baik verbal, fisik, atau psikis. Meski bukan faktor tunggal, kerap ditemui kasus kekerasan seksual pada perempuan dan anak di lingkup rumah tangga atau dilakukan orang terdekat korban, sebab alasan ekonomi.

Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), Seto Mulyadi, memandang apa yang dilakukan R terhadap anaknya bukan saja kekerasan seksual, namun juga suatu bentuk tindak pidana pada anak. Korban anak dalam hal ini berpotensi mengalami guncangan jiwa dan runtuh harga dirinya ketika tumbuh dewasa menyadari peristiwa memilukan ini.

“Berpotensi menjadi korban bullying di masa depan, maka ini juga kekerasan psikologis. Hukuman ditambah 1/3 dari hukuman asal karena dilakukan keluarga yang seharusnya melindungi anak,” kata pria yang akrab disapa Kak Seto ini kepada reporter Tirto, Senin (3/6/2024).

Kak Seto memandang, korban anak diperdaya dan dilibatkan lewat bujuk rayu relasi orang tua dan anak. Dia menegaskan desakan ekonomi tidak seharusnya menjadi pembenaran melakukan perbuatan kekerasan dan kejahatan pada anak dan keluarga. Kak Seto berharap korban anak mendapatkan haknya untuk pemulihan dan keadilan.

“Ini kejahatan dan bukan cuma kekerasan, karena sekadar untuk dapat sesuatu yang tidak berhubungan dengan kebaikan anak,” sebut dia.

Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik

Komnas Perempuan turut memberi atensi pada kasus ini dan merasa prihatin atas apa yang terjadi. Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi, memandang kasus ini menunjukkan kompleksitas tindakan kekerasan seksual, baik yang menimpa perempuan dan anak akibat dipicu oleh penggunaan teknologi, informasi dan komunikasi.

“Kasus ini harus dianalisa dan ditangani secara utuh dan komprehensif, agar penangganan kasus ini memenuhi hak anak atas keadilan dan pemulihan, serta memastikan tumbuh kembangnya tidak terganggu,” ujar Siti Aminah kepada reporter Tirto, Senin (6/3).

Komnas Perempuan menilai, setidaknya ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam kasus ini. Pertama, ada perempuan sebagai korban kejahatan seksual berbasis elektronik berupa diperdaya iming-iming uang agar mengirimkan foto telanjang, disertai ancaman penyebaran konten intim.

Selain itu, terdapat anak yang menjadi korban kekerasan seksual dan penyebaran konten intim. Selanjutnya, seorang ibu yang menjadi perempuan yang berkonflik dengan hukum. Komnas Perempuan meminta aparat penegak hukum menganalisis dan memandang kasus ini secara utuh.

“Juga memenuhi hak perempuan yang berkonflik dengan hukum. Mempertimbangkan latar belakangnya,termasuk pengalaman ketidakadilan gender yaitu perkawinan anak dan korban kekerasan seksual berbasis elektronik,” ujar Siti Aminah.

Komnas Perempuan mendesak polisi memeriksa pihak yang memperdaya dan mengancam R di media sosial Facebook. Sebab akun itu melakukan pengancaman yang menyebabkan kekerasan terhadap anak, dan membuat R sebagai perempuan berurusan dengan hukum (PBH).

“Terkait sangkaan terhadap PBH sebaiknya UU Perlindungan Anak diperkuat dengan UU Nomor 12 tahun 2022 tentang TPKS agar hak anak yang ada dalam UU Perlindungan Anak dilengkapi dengan UU TPKS,” jelas Siti Aminah.

TARGET PENURUNAN KEMISKINAN EKSTREM

Warga beraktivitas di kawasan Kebon Melati, Jakarta, Kamis (17/2/2022). ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha/rwa.

Kemiskinan, kata Siti Aminah, memang diakui sebagai salah satu faktor kriminogen. Namun, tidak dapat digeneralisir bahwa kemiskinan dan tekanan ekonomi merupakan penyebab tunggal dan utama terjadinya kejahatan.

Sebab kejahatan serupa kasus ini bisa terjadi di kalangan yang tak mengalami kemiskinan. Faktor kemiskinan berkelindan dengan faktor-faktor lain seperti gender, usia, relasi kuasa, tingkat pendidikan, serta teknologi informasi dan komunikasi.

“Dalam kasus ini PBH melakukan dugaan kekerasan seksual karena ancaman penyebaran konten tubuhnya. Konten inilah yang dijadikan alat untuk memaksa si ibu melakukan apa yang diperintahkan terhadap anak yang powerless,” ujar dia.

Kasus ini menjadi contoh pentingnya literasi digital untuk berhati-hati dan waspada terhadap jebakan kejahatan eksploitasi keuntungan seksual. Termasuk yang dilakukan oleh pedofilia dengan meminta foto, video atau aktivitas seksual terhadap anak.

Komnas Perempuan mencatat jumlah kasus kekerasan seksual pada Mei 2022 sampai Desember 2023 mencapai 4.179 kasus. Laporan paling banyak adalah kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE) yang mencapai 2.776 kasus. Diikuti 623 kasus pelecehan seksual dan sisanya adalah kasus pemerkosaan.

“Maka masyarakat tidak menyebarkan kembali SS tangkapan layar atau video anak, karena hal tersebut juga melanggar hak anak sebagai korban. Begitu pun [tidak] menyebarkan akun atau identitas anak dan ibunya,” tutur Siti Aminah.

Dukungan pada Korban

Komisioner KPAI, Dian Sasmita, meminta pemerintah daerah melakukan dukungan tenaga profesional seperti psikolog dan juga Pekerja Sosial (Peksos) untuk menyelamatkan korban anak dalam kasus ini. Kasus ini berpotensi meninggalkan memori buruk pada korban anak dan sangat melekat di otak sehingga berpengaruh pada tumbuh kembang korban.

“Konvensi Hak Anak Pasal 39 mewajibkan negara mengambil langkah langkah rehabilitatif untuk membantu anak korban. Pelaksanaan upaya tersebut dilakukan tanpa diskriminasi dan mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak,” ujar Dian dalam keterangannya, Senin (3/6/2024).

Selain itu, kelangsungan hidup dan perkembangan maksimal korban anak harus dijamin, dan pandangan anak harus dihormati. Karenanya, korban anak wajib mendapatkan pendampingan, dukungan pemulihan dan rehabilitasi yang berkelanjutan.

“Tidak [boleh] berbasis proses hukum, namun hingga dinyatakan ananda X [korban anak] sudah pulih oleh psikolog terkait,” kata Dian.

Merespons kasus ini, Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian PPPA, Nahar, menegaskan pihaknya mengawal kasus ini sekaligus menjamin hak korban anak untuk pemulihan. Adapun bagi ibu korban yang menjadi perempuan berurusan dengan hukum, harus ditangani dengan prinsip keadilan dan komprehensif oleh aparat penegak hukum.

“Karena ini ada yang memerintahkan maka polisi harus melakukan penyelidikan juga. Maka ini juga yang melakukan perintah dan ancaman pada ibu itu, maka bisa dijerat hukum,” kata Nahar dihubungi reporter Tirto, Senin (6/3) malam.

Nahar memandang selain tindakan kekerasan seksual pada anak, kasus ini juga merupakan kejahatan eksploitasi anak. Korban diperdaya karena orang tua dijanjikan dengan sejumlah uang dari pihak ketiga. Dia menambahkan, jika diperlukan, korban anak bisa dibawa ke rumah aman (safe house) selama mendapatkan pendampingan dan pemulihan dari UPTD yang menangani.

“Perlu dipastikan korban anak didampingi dan ditangani secara baik. Tentu saja identitas atau wajah pribadi korban beredar dan berisiko terhadap tumbuh kembang anak di masa depan, maka masyarakat jangan menyebarluaskan,” seru Nahar.

Baca juga artikel terkait KEKERASAN SEKSUAL atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Hukum
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Anggun P Situmorang