Menuju konten utama

Mudarat Besar di Balik Sikap Ngotot Pemerintah Lanjutkan Tapera

Bhima sebut pemerintah diuntungkan lewat Tapera karena dana investasi pegawai bakal dikelola untuk membeli surat utang negara.

Mudarat Besar di Balik Sikap Ngotot Pemerintah Lanjutkan Tapera
Pegawai aparatur sipil negara (ASN) melihat rumah siap huni yang dipasarkan sebuah pengembang perumahan di dekat kawasan Puspiptek, Tangerang Selatan, Banten, Kamis (17/6/2021). ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal/hp.

tirto.id - Sikap pemerintah yang kukuh melanjutkan program tabungan perumahan rakyat (Tapera) di tengah gelombang protes bakal berbuntut panjang. Hujan kritik yang datang dari kalangan pegawai dan perusahaan yang merasa terbebani skema Tapera seharusnya diakomodir. Memaksakan Tapera berjalan tanpa ada evaluasi skema program yang berbasiskan aspirasi publik, hanya menunjukkan sikap pemerintah yang main terjang.

Polemik Tapera ramai setelah terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21/2024 tentang Perubahan atas PP Nomor 25/2020 tentang Tabungan Perumahan Rakyat, yang diteken Presiden Jokowi pada 20 Mei 2024. Aturan anyar ini merupakan turunan dari UU Nomor 4/2016 tentang Tapera (UU Tapera).

Meski UU Tapera sudah lama disahkan, publik mulai merasa kecolongan setelah PP Nomor 21/2024 menegaskan skema Tapera tak hanya menyasar PNS/ASN dan TNI-Polri, namun juga pegawai swasta dan pekerja mandiri. Imbasnya, iuran wajib Tapera membebani peserta sebesar 3 persen penghasilan per bulan. Dipotong dari gaji bulanan pegawai 2,5 persen dan perusahaan penyedia kerja 0,5 persen. Adapun pekerja mandiri terbebani penuh 3 persen setiap bulan.

Masalah yang dibawa skema Tapera sebetulnya terendus sejak lama. Ketika diwajibkan hanya pada kalangan PNS/ASN dengan nama skema Taperum PNS, nyatanya program ini tak menyelesaikan masalah akses perumahan bagi pegawai negara. Saat akhirnya Taperum bertransisi menjadi Tapera, sejumlah persoalan pun belum rampung dibenahi.

Sebagaimana temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang kembali mencuat pekan ini terkait masalah pengelolaan Tapera pada 2020-2021. Hal itu tertera dalam laporan ikhtisar hasil pemeriksaan semester (IHPS) II-2021 per 31 Desember 2021.

Dalam laporan itu, ada sebanyak 124.690 pensiunan yang tercatat belum mendapatkan pengembalian dana Tapera senilai Rp567,45 miliar. Kemudian, ada pula data peserta pensiun ganda sebanyak 40.266 orang, dengan iuran kepesertaan mencapai Rp130,25 miliar. Selain itu, BPK juga mencatat adanya data peserta aktif BP Tapera yang belum mutakhir, yakni sebanyak 247.246 orang.

Masalah ini terjadi karena ada peserta dengan riwayat kepangkatan anomali sebanyak 176.743 orang dan ketidaklengkapan data Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebanyak 70.513 orang. Hal tersebut mengakibatkan saldo dana Tapera belum dapat dikelola dalam Kontrak Pengelolaan Dana Tapera (KPDT) dan belum dimanfaatkan secara optimal sebesar Rp754,59 miliar.

Permasalahan skema Tapera dalam laporan BPK pada periode 2020-2021, sejalan dengan temuan Tirto yang menemui sejumlah pensiunan ASN. Mereka mengaku ada yang sempat kesulitan mencairkan dana Tapera setelah pensiun atau masa kepesertaannya rampung. Masalahnya selalu klasik, persoalan carut-marut data yang menyebabkan duit peserta sulit cair.

Misalnya kesaksian Tardi (64), yang menyatakan bahwa dana Tapera yang seharusnya menjadi haknya setelah pensiun, baru cair setelah delapan bulan. Itu pun harus dibantu lobi-lobi kolega Tardi agar proses pencairan bisa berjalan mulus.

Dia bertutur, saat itu pihak yang mencairkan tabungan miliknya berkata ada kesalahan data di dinas sehingga uangnya belum bisa dicairkan. “Udah cairinnya macet ternyata cuma dapat seuprit,” kata Tardi ditemui Tirto di rumahnya di Depok, Jawa Barat, Jumat (31/5/2024).

Tardi diangkat menjadi ASN pada 2002, berarti sudah 18 tahun dia ikut kepesertaan Taperum PNS hingga beralih menjadi Tapera saat ini. Dia pensiun dari profesinya sebagai guru pada 2020 silam.

Tardi cukup terkejut karena ternyata tabungan Tapera yang didapatkan sangat kecil sehingga boro-boro dapat digunakan untuk mengakses hunian.

“Sekitaran di bawah Rp5 juta, nah itu memang buat rumah. Alias buat keramik depan ini [pekarangan] sama beli kipas angin,” ujar Tardi.

Mengacu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21/2024, tabungan Tapera memang akhirnya tidak bisa dimanfaatkan untuk seluruh peserta. Peserta yang dapat memanfaatkan Tapera untuk pembiayaan rumah harus memenuhi sejumlah syarat, seperti termasuk golongan masyarakat berpenghasilan rendah, belum punya rumah, atau memanfaatkan dana untuk renovasi rumah pertama.

Peserta yang tidak memanfaatkan Tapera, dapat mencairkan dana ketika pensiun atau ketika syarat kepesertaannya gugur. Di sini letak masalah lainnya, sudah pukul rata dibebankan ke semua pegawai, Tapera juga diwajibkan bagi mereka yang sudah memiliki rumah dan belum punya rumah.

Dalih bahwa program ini akan membantu mengakses perumahan, jadi hanya terasa manfaatnya bagi sebagian kelompok pekerja. Sementara tabungan wajib yang dipotong dari gaji pegawai tiap bulan, ketika dicairkan pun dana yang didapatkan tak seberapa.

Perubahan PP tentang penyelenggaraan Tapera

Petugas melayani peserta tabungan perumahan rakyat (Tapera) di Kantor Pelayanan Badan Pengelola Tapera, Jakarta, Kamis (30/5/2024). Presiden Joko Widodo menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang perubahan atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Tapera sebagai upaya untuk meningkatkan efektivitas penyelenggaraan dan akuntabilitas pengelolaan dana Tapera. ANTARA FOTO/Bayu Pratama S/nym.

Pemerintah Tancap Gas

Di tengah gelombang protes Tapera dari kalangan buruh dan perusahaan, pemerintah tetap tancap gas menggulirkan program ini. Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko, memastikan Tapera tidak akan ditunda, program ini akan mulai berjalan setelah peraturan menteri ketenagakerjaan dan peraturan menteri keuangan keluar.

“Kesimpulan saya bahwa Tapera ini tidak akan ditunda, wong memang belum dijalankan. Sejak ada perubahan Bapertarum ke Tapera, ada kekosongan dari 2020 ke 2024 tidak ada sama sekali iuran, karena memang Tapera belum berjalan,” kata Moeldoko memberikan keterangan soal Tapera di Gedung Bina Graha, Jakarta, Jumat (31/5/2024).

Selain itu, Moeldoko, berdalih bahwa iuran Tapera tidak ada hubungannya dengan program Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Selain itu, iuran menyatakan Tapera tidak ada hubungannya dengan kepentingan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) dan program makan siang gratis pemerintahan selanjutnya.

“Tapera ini tidak ada hubungannya dengan APBN, enggak ada upaya pemerintah untuk membayar makan gratis, apalagi untuk IKN," kata Moeldoko.

Sayangnya, Moeldoko tak sepenuhnya benar. Hasil kajian berjudul “Tapera untuk Siapa: Membedah Untung Rugi Program Tabungan Perumahan Rakyat” yang diterbitkan Celios pada Senin (3/6/2024), justru berkata sebaliknya. Dana Tapera justru dapat dimanfaatkan penggunaannya oleh pemerintah tidak hanya sebatas pada perumahan.

Menurut kajian Celios, penempatan dana Tapera lebih banyak diinvestasikan pada Surat Utang Korporasi sebesar 47 persen. Tapera juga melakukan penempatan dana sebesar 45 persen di instrumen investasi Surat Berharga Negara (SBN). Sisanya, ditempatkan pada deposito perbankan dan giro.

“Dengan proporsi tersebut, maka pemerintah selaku pengelola APBN memang mempunyai kepentingan dalam pengelolaan dana Tapera untuk pembelian SBN di mana proporsinya mencapai 45 persen,” kata Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira, dikonfirmasi Tirto, Selasa (4/6/204).

Pemerintah, kata Bhima, tengah mendorong pembelian SBN melalui tangan kanan pemerintahan di pasar keuangan. Berbagai lembaga pengelolaan investasi pelat merah diminta lebih banyak menanamkan porsi investasi SBN, termasuk Tapera.

Sebabnya, ada potensi legit dari Tapera mencapai Rp135 triliun dari pengumpulan dana pegawai. Dari situ saja, dana untuk SBN bisa mencapai Rp61 triliun. Dengan target Rp160 triliun penerbitan SBN di 2024, maka 37 persen bisa dipenuhi hanya dari BP Tapera. Artinya, pemerintah diuntungkan lewat Tapera karena dana investasi pegawai bakal dikelola untuk membeli surat utang negara.

“Penggunaannya pun tidak akan terbatas pada perumahan, melainkan dapat digunakan untuk program pemerintah mulai dari pembangunan IKN hingga makan siang gratis ke depan,” jelas Bhima.

Konferensi Pers Tapera

Konferensi Pers Tapera. Acara dihadiri Kepala Staf Kepresidenan, Jenderal TNI (Purn) Moeldoko dan Komisioner BP Tapera, Heru Pudyo Nugroho Dirjen PHI & Jamsos Kemnaker RI, Indah Anggoro Putri, Deputi Komisioner Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya OJK, Jasmi, Dirjen Pembiayaan Infrastruktur Kemen PUPR, Herry Trisaputra Zuna. (Tirto.id/Andrian Pratama Taher)

Warisan Buruk Jokowi

Dalam kesempatan yang sama, peneliti Celios lainnya, Nailul Huda, memandang program Tapera lebih banyak memberikan dampak negatif, khususnya pada perekonomian negara. Alih-alih menguntungkan pihak buruh dan perusahaan, Tapera cuma jadi sarana pemerintah meraup untung.

Kajian Celios memprediksi, dampak iuran Tapera pada kondisi ekonomi saat ini, berpotensi menyebabkan penurunan PDB nasional hingga Rp1,21 triliun. Risiko ini muncul karena iuran wajib Tapera akan membuat tingkat konsumsi masyarakat melemah. Ditambah kondisi saat ini di mana daya beli sudah loyo dan biaya hidup semakin meroket.

“Pendapatan pekerja turut terdampak, dengan risiko penurunan sebesar Rp200 miliar, yang berarti daya beli masyarakat bisa berkurang,” kata Huda.

Selain itu, Tapera membuat surplus bisnis bakal mengalami penurunan sebesar Rp1,03 triliun. Hal ini mengindikasikan bahwa profitabilitas dunia usaha secara agregat di berbagai sektor menurun akibat kebijakan Tapera. Pada akhirnya, Tapera akan berdampak pada hilangnya 466,83 ribu pekerjaan.

“Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan iuran wajib Tapera berdampak negatif pada lapangan kerja, indikasi dari adanya pengurangan konsumsi dan investasi oleh perusahaan,” ujar Nailul.

Pengamat kebijakan publik, Trubus Rahadiansyah, memandang Tapera akan bermanfaat jika pemerintah hadir di sana sebagaimana manda UUD soal hak hunian bagi masyarakat. Sayangnya, dalam UU Tapera, penyediaan rumah rakyat justru dibebankan dan diwajibkan ditanggung oleh masyarakat.

“Memaksakan Tapera itu bisa saja menjadi suatu perbuatan yang sewenang-wenang. Apalagi dia tidak menjelaskan pemerintah berkontribusi seperti apa di sana,” kata Trubus kepada reporter Tirto, Selasa (4/6/2024).

Trubus menilai, selain sewenang-wenang, negara berpotensi melanggar hak asasi manusia karena mewajibkan Tapera dengan cara paksa. Padahal, tidak semua pegawai wajib dan memprioritaskan kepemilikan hunian, mereka juga berhak memilih untuk memiliki hunian sendiri secara kontrak atau sewa.

“Pemerintah jika tidak bisa menjamin akuntabilitas dan hanya kumpulin dana doang, maka negara berpotensi kembali gagal melindungi uang masyarakat,” ujar Trubus.

Menurut dia, Tapera sangat jelas hanya terkait kepentingan negara dalam mendulang dana bagi kepentingan proyek-proyek yang belum rampung. Jika program ini terus berlanjut, kata Trubus, maka akan dikenang menjadi warisan buruk rezim Jokowi, sekaligus membebani pemerintahan baru mendatang.

“Ini [Tapera] akan jadi legacy Pak Jokowi yang buruk dan membebani di mata masyarakat. Dan ini terus nekat dilanjutkan Prabowo, maka pemerintah dia tidak akan lama karena akan terus digugat masyarakat,” tegas Trubus.

Presiden resmikan Bendungan Ameroro

Presiden Joko Widodo (kedua kiri) berbincang dengan Menteri PUPR Basuki Hadimuljono (kiri) saat meninjau Bendungan Ameroro usai diresmikan di Konawe, Sulawesi Tenggara, Selasa (14/5/2024). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/nym.

Baca juga artikel terkait TAPERA atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz