Menuju konten utama

Serikat Buruh Ungkap 6 Alasan Mengapa PP Tapera Harus Dicabut

Partai Buruh menilai jika Tapera digolongkan sebagai tabungan seharusnya iuran dapat bersifat sukarela, bukan diwajibkan.

Serikat Buruh Ungkap 6 Alasan Mengapa PP Tapera Harus Dicabut
Simpatisan dari Partai Buruh melakukan aksi damai dalam rangka Hari Buruh Internasional di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Rabu (1/5/2024). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/rwa.

tirto.id - Partai Buruh dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mendesak pemerintah mencabut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, menuturkan terdapat enam alasan mengapa aturan Tapera harus dibatalkan.

Pertama, karena meskipun para pekerja dan pekerja mandiri telah membayar iuran sebesar 3 persen tiap bulannya, tidak akan mendapat kepastian bakal memiliki rumah, bahkan sampai masa kepesertaannya berakhir saat pensiun atau ketika usia 58 tahun bagi peserta pekerja mandiri.

"Dengan potongan iuran sebesar 3% (tiga persen) dari upah buruh, dalam sepuluh hingga dua puluh tahun kepesertaannya, buruh tidak akan bisa membeli rumah. Bahkan hanya untuk uang muka saja tidak akan mencukupi," kata Said dikutip dari keterangan tertulis yang didapat Tirto, Minggu (2/6/2024).

Kedua, dengan adanya kepesertaan baru dari pekerja dan pekerja mandiri, menurut Said Iqbal, menjadikan pemerintah lepas tangan dari tanggung jawab untuk menyediakan rumah rakyat. Dia menilai pada aturan tersebut tidak ada satupun klausul yang menerangkan pemerintah bakal ikut mengiur, baik melalui dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Sebab itu, Presiden Partai Buruh itu pun menilai, pemerintah seakan lepas tanggung jawab untuk memastikan setiap warga negara memiliki rumah. Padahal, bersama pangan dan sandang, rumah juga menjadi salah satu kebutuhan pokok, termasuk untuk para buruh.

"Tiga, membebani biaya hidup buruh," lanjutnya.

Said Iqbal bilang, di tengah daya beli buruh yang turun hingga 30 persen dan upah minimum yang sangat rendah akibat Undang-Undang Cipta Kerja, potongan iuran Tapera sebesar 2,5 persen yang harus dibayarkan pekerja dan 3 persen bagi pekerja mandiri, jelas akan menambah beban biaya hidup mereka. Belum lagi, sampai saat ini potongan yang dikenakan kepada buruh hampir mencapai 12 persen dari upah yang diterima.

Perubahan PP tentang penyelenggaraan Tapera

Petugas melayani peserta tabungan perumahan rakyat (Tapera) di Kantor Pelayanan Badan Pengelola Tapera, Jakarta, Kamis (30/5/2024). Presiden Joko Widodo menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang perubahan atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Tapera sebagai upaya untuk meningkatkan efektivitas penyelenggaraan dan akuntabilitas pengelolaan dana Tapera. ANTARA FOTO/Bayu Pratama S/nym.

Rinciannya, pembayaran pajak penghasilan atau PPh 21 sebesar 5 persen, iuran Jaminan Kesehatan 1 persen, iuran Jaminan Pensiun 1 persen, iuran Jaminan Hari Tua 2 persen, dan rencana iuran Tapera sebesar 2,5 persen. "Belum lagi jika buruh memiliki hutang koperasi atau di perusahaan, ini akan semakin semakin membebani biaya hidup buruh," ucap Said Iqbal.

Alasan selanjutnya mengapa PP Tapera harus dibatalkan ialah karena dana peserta Tapera rawan dikorupsi atau disalahgunakan keperuntukannya. Said Iqbal menjelaskan, di dunia hanya ada sistem jaminan sosial (social security) atau bantuan sosial (social assistance).

Dalam hal ini, dana jaminan sosial berasal dari iuran peserta, pajak atau gabungan keduanya, dengan penyelenggara yang independen, bukan pemerintah. Sedangkan dana bantuan sosial berasal dari APBN dan APBD, dengan pemerintah sebagai penyelenggaranya.

"Model Tapera bukanlah keduanya, karena dananya dari iuran masyarakat dan pemerintah tidak mengiur, tetapi penyelenggaranya adalah pemerintah," katanya.

Kelima, iuran Tapera seperti tabungan yang memaksa. Menurut Said Iqbal, jika memang Tapera digolongkan sebagai tabungan, seharusnya iuran dapat bersifat sukarela, bukan diwajibkan.

Selain itu, karena Tapera adalah tabungan sosial, tidak boleh ada subsidi penggunaan dana antar peserta, seperti halnya tabungan sosial di program Jaminan Hari Tua (JHT), BPJS Ketenagakerjaan. Subsidi antar peserta hanya diperbolehkan bila program tersebut adalah jaminan sosial yang bersifat asuransi sosial, bukan tabungan sosial, seperti program jaminan kesehatan yang bersifat asuransi sosial.

"Enam, ketidakjelasan dan kerumitan pencairan dana Tapera," tambahnya.

Bagi peserta Tapera dari golongan ASN, seperti PNS, TNI, dan Polri, keberlanjutan dana Tapera bersifat jangka panjang karena tidak ada PHK (pemutusan hubungan kerja). Tapi pekerja dan pekerja mandiri, potensi terjadinya PHK sangat tinggi.

Karena itu, dana Tapera bagi buruh yang terkena PHK atau buruh informal akan mengakibatkan ketidakjelasan dan kerumitan dalam pencairan dan keberlanjutan dana Tapera.

Tidak hanya menuntut pencabutan aturan Tapera, buruh juga akan menyuarakan tuntutan untuk mencabut PP tentang program Kamar Rawat Inap Standar (KRIS) BPJS Kesehatan dan menolak Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang mahal. Kemudian, tuntutan lain adalah pencabutan Omnibus law Cipta Kerja, dan Hapus Outsourcing Tolak Upah Murah (HOSTUM).

"Selain aksi pada hari Kamis, Partai Buruh dan KSPI dalam waktu dekat akan mengajukan judicial review UU Tapera ke Mahkamah Konstitusi dan judicial review PP Tapera ke Mahkamah Agung," tutup Said Iqbal.

Baca juga artikel terkait TAPERA atau tulisan lainnya dari Qonita Azzahra

tirto.id - Flash news
Reporter: Qonita Azzahra
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Intan Umbari Prihatin