Menuju konten utama

Upah Guru Masih Merana, Terancam Habis untuk Potongan Tapera

Tapera dinilai akan menjadi beban tambahan bagi guru dengan gaji yang sangat kecil dan kurang.

Upah Guru Masih Merana, Terancam Habis untuk Potongan Tapera
ilustrasi Guru. foto/IStockphoto

tirto.id - Terhitung sudah empat kali, Fathur (27) seorang guru honorer, mengucap istigfar sepanjang berbincang soal rencana pemerintah mewajibkan tabungan perumahan rakyat alias Tapera. Guru mata pelajaran sejarah di salah satu sekolah dasar negeri (SDN) di Kabupaten Bekasi itu, tak habis pikir kenapa pemerintah membebankan Tapera pada seluruh pekerja.

“Ya Allah, ini kalau dilanjut bener-bener dah, gaji udah seret masih dipotong ginian juga astaghfirullah,” ucap Fathur kepada reporter Tirto lewat sambungan telepon, Jumat (7/6/2024).

Polemik timbul saat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21/2024 tentang Perubahan atas PP Nomor 25/2020 tentang Tabungan Perumahan Rakyat, diteken Presiden Jokowi pada 20 Mei 2024. Aturan anyar ini merupakan turunan dari UU Nomor 4/2016 tentang Tapera (UU Tapera). Di dalamnya, ada pemotongan wajib upah bulanan sebesar 3 persen dari semua pekerja, seperti PNS, TNI-Polri, pegawai BUMN-BUMD, pegawai swasta, pekerja mandiri, hingga para guru.

Potongan 2,5 persen ditanggung oleh pekerja dan 0,5 persen harus dibayarkan pemberi kerja. Lebih rinci, peserta Tapera adalah pekerja yang mendapat gaji minimal setara upah minimum. Adapun peserta yang tidak memakai manfaat dana Tapera untuk akses rumah, tabungan akan dikembalikan di akhir masa kepesertaan.

Menurut Fathur, seharusnya pemerintah tidak asal menerapkan aturan Tapera untuk semua jenis profesi. Misalnya guru, kata dia, seharusnya pemerintah sadar bahwa ada jenis-jenis status guru, seperti honorer, guru ASN, dan guru sekolah swasta [non-ASN]. Dari segi penghasilan tentu jenis-jenis status guru ini memiliki jumlah penghasilan bulanan yang tak sama.

“Saya gaji saja cuma sedikit banget di atas dari UMP Jabar [Jawa Barat], artinya setiap bulan saya terima gaji di bawah Rp3 juta. Bukan enggak mau bersyukur bang, sekarang duit segitu kecil buat hidup, apalagi dipotong ini-itu,” keluh Fathur.

Fathur merasa sedih karena dengan beban Tapera nanti, niatnya untuk mempersunting pasangannya ke jenjang pernikahan akan semakin berat. Dia bercerita, sampai saat ini saja sangat berat menyisihkan uang untuk menabung kebutuhan pribadi untuk membangun keluarga. Jika ditambah Tapera, dia khawatir niat baiknya itu akan tertunda atau terancam gagal.

“Realistis bang, kita kan pengen juga ya nabung buat kebutuhan pribadi di luar sehari-hari. Ya kalau saya buat nikah itu bang, umur sudah segini, kalau gajian kecil masih dipotong juga ampunan-ampunan [nggak kuat] deh bang,” tutur Fathur bernada murung.

Sekolah rusak di Palangka Raya

Seorang guru menyampaikan materi kepada siswa saat kegiatan belajar mengajar di kelas dengan kondisi plafon rusak di SD Negeri Petuk Katimpun 01 Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Rabu (17/4/2024). ANTARA FOTO/Auliya Rahman/rwa.

Keluhan serupa diungkapkan Widyasari (36), guru mata pelajaran ilmu pengetahuan sosial (IPS) di sebuah sekolah dasar Islam Terpadu (SDIT) di Kota Bogor. Ibu dua orang anak yang akrab disapa Widy itu merasa skema Tapera hanya akan menjadi beban tambahan bagi guru, terutama mereka yang non-ASN.

“Di [sekolah] swasta sendiri memang kadang-kadang gaji bulanan di atas guru honorer. Tapi enggak sebanyak itu juga, potongan Tapera itu meskipun dibantu perusahaan masih berat lah mas,” kata Widy dihubungi reporter Tirto.

Selain itu, Widy masih kurang paham skema Tapera ini jika diterapkan untuk seluruh jenis guru, maka apakah sekolah ikut menanggung iuran atau seluruhnya dibayar pribadi. Masalahnya, kata dia, sekolah umumnya tidak dipandang sebagai suatu perusahaan. Jika pun dibebankan, dia tidak yakin pihak sekolah akan menerima aturan Tapera tanpa protes.

“Kan jadi dilematis loh, karena misal sekolah enggak mau bayar bagiannya, maka guru bayar tiga persen full itu Tapera. Gimana kami enggak teriak-teriak,” ujar Widy.

Widy mengaku, gaji bulanannya saat ini saja sudah dipotong untuk iuran wajib seperti ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan. Alhasil, upah yang dibawa pulang secara bersih menjadi sangat pas-pasan untuk hidup sampai menerima bulan depan. Belum ditambah kebutuhan anak dan keluarga yang terkadang tak terduga.

“Gaji guru itu kecil, jangan malu kita mengakuinya. Ini biar pemerintah gerak, ambil tindakan, jangan mewajarkan. Apalagi guru non-ASN masih banyak yang sampai kerja sampingan,” terang Widy.

Apa yang dituturkan Widy nyata adanya dan bukan sekadar cakap kosong. Hal itu sejalan dengan temuan survei Lembaga Riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) dan GREAT Edunesia Dompet Dhuafa soal kesejahteraan guru di Indonesia, yang dirilis pada Mei 2024 dalam rangka Hari Pendidikan Nasional.

IDEAS menemukan, ada sebanyak 55,8 persen guru yang memiliki penghasilan tambahan dari pekerjaan lain. Namun penghasilan tambahan ini tidak signifikan, sebab mayoritas guru yang memiliki sampingan hanya mendapat tambahan kurang dari Rp500 ribu. Beberapa pekerjaan sampingan yang dilakukan para guru misalnya mengajar bimbel atau privat (39,1 persen), berdagang (29,3 persen), bertani (12,8 persen), buruh (4,4 persen), konten kreator (4 persen), dan driver ojek daring (3,1 persen).

Survei ini dihasilkan dari 403 responden guru di 25 provinsi. Dengan komposisi responden Pulau Jawa sebanyak 291 orang dan Luar Jawa ada 112 orang. Responden survei terdiri dari 123 orang berstatus guru PNS-AN, 118 guru tetap Yayasan, 117 guru honorer atau kontrak dan 45 guru PPPK.

Perubahan PP tentang penyelenggaraan Tapera

Petugas melayani peserta tabungan perumahan rakyat (Tapera) di Kantor Pelayanan Badan Pengelola Tapera, Jakarta, Kamis (30/5/2024). Presiden Joko Widodo menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang perubahan atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Tapera sebagai upaya untuk meningkatkan efektivitas penyelenggaraan dan akuntabilitas pengelolaan dana Tapera. ANTARA FOTO/Bayu Pratama S/nym.

Tapera Membebani Guru

Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan Guru (P2G), Satriwan Salim, mengamini banyak guru yang merasa cemas dengan adanya skema Tapera. Rekasi cemas ini terutama datang dari guru swasta dan honorer alias guru non-ASN. Dia menilai, para guru khawatir apakah dana Tapera nantinya bisa dicairkan atau tidak.

“Karena belum jelas apa ada yang sudah terbukti bisa mendapatkan rumah setelah menabung di Tapera. Belum pernah diketahui ada presedennya atau bukti nyata,” kata Satriwan lewat keterangan tertulis yang dikonfirmasi reporter Tirto, Jumat (7/6/2024).

Ditambah, saat ini kondisi kesejahteraan guru masih belum stabil, bahkan bisa dikatakan minimalis. Guru masih termasuk kelompok pekerja dengan gaji paling rendah dibanding profesi lain. Survei Kesejahteraan Guru yang dilakukan oleh IDEAS pada 2024 menunjukkan bahwa 42,4 persen gaji guru per bulan masih di bawah Rp2 juta.

Dari survei yang sama, 74,3 persen penghasilan guru honorer atau kontrak masih bawah Rp2 juta. Sementara itu, gaji guru yang berkisar antara Rp2-3 juta sebesar 12,3 persen; dengan gaji Rp3-4 juta sebanyak 7,6 persen; gaji Rp4-5 juta sebanyak 4,2 persen; dan di atas 5 juta hanya 0,8 persen.

“Guru yang berada di wilayah provinsi dengan upah minimum Rp2 juta, seperti Jawa Tengah dan DIY, mereka dianggap layak ikut Tapera. Padahal dengan gaji sekecil itu mereka masih harus dipotong Tapera dan banyak potongan lainnya,” ungkap Satriwan.

Oleh sebab itu, kata dia, agar Tapera tidak memberatkan seharusnya dibuat standar upah minimum guru yang bisa berlaku secara nasional. Hal ini setidaknya akan meringankan guru yang gajinya banyak dipotong sana-sini.

P2G menilai, gaji guru non-ASN sudah banyak dipotong dengan berbagai jenis potongan. Tapera akan menjadi beban tambahan bagi guru dengan gaji yang sangat kecil dan kurang. Survei IDEAS 2024 pun menunjukan sebanyak 79,6 persen guru memiliki utang kepada teman, keluarga, koperasi, dan BPR.

Pemerintah hendaknya membuat program Kredit Perumahan untuk Guru yang murah dan terjangkau. Jangan tabungannya dulu, tapi keberadaan rumahnya tidak jelas. Amanat UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen memerintahkan negara untuk memenuhi hak-hak guru diantaranya, guru berhak memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial.

“Yang terjadi sekarang malah sebaliknya, penghasilannya sangat minimum dengan potongan-potongan yang maksimum,” terang Satriwan.

Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, menyatakan, jika Tapera masih tetap dipaksakan untuk semua pegawai, maka akan menjadi beban baru bagi guru. Saat ini saja, banyak guru yang terjerat hutang karena upah bulanannya tak mencukupi kebutuhan hidup.

“Dipaksa ikut Tapera, bisa mati kelaparan mereka,” ujar Ubaid kepada reporter Tirto.

Perumahan untuk guru, dinilai tidak harus melalui program nasional semacam Tapera. Ubaid menilai, perumahan untuk guru bisa disesuaikan dengan skema kebutuhan guru di daerah.

“Begitu juga dengan kepesertaanya, bisa optional. Yang nggak butuh ya enggak usah ikut,” kata dia.

Memaksa Tapera berlaku bagi semua pekerja menunjukkan bahwa pemerintah tidak peduli dengam jerit tangis para guru. Nasib guru yang jauh dari kata sejahtera ini sudah lama terjadi dan belum ada solusi konkret. Alih-alih membenahi persoalan yang laten, pemerintah malah ingin menambah masalah baru.

“Terutama untuk guru honorer, mereka sangat mengenaskan. Untuk makan saja gaji mereka kurang, kok malah dipalakin untuk Tapera,” tegas Ubaid.

Sementara itu, Koordinator Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), Satria Unggul Wicaksana Prakasa, memandang iuran Tapera bukan hanya memberatkan guru, namun juga seluruh tenaga pendidik, termasuk dosen. Ini merupakan sikap pemerintah yang mengecewakan di tengah kenyataan bahwa guru banyak terjerat utang.

“Ini anomali ketika kita berbicara anggaran pendidikan yang dimandatkan 20 persen dalam UUD sebagai amanat konstitusi. Tapi dalam perjalanannya, alokasi itu tak disediakan untuk kesejahteraan guru dan dosen tetapi justru pembangunan,” kata Satria kepada reporter Tirto, Jumat.

Satria menilai, pemaksaan Tapera untuk semua jenis pegawai tidak dibenarkan seharunya. Apalagi, temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) 2021, menilai ada permasalahan dalam pencairan dana Tapera kepada para pesertanya. Seharusnya pemerintah tidak membuat kebijakan tanpa melakukan partisipasi bermakna dengan kelompok pekerja rentan, seperti guru dan dosen.

“Secara umum ini membebani masyarakat luas dan ini kan tidak jelas juga implementasinya. Pengkajian yang mendalam atas adanya Tapera bakal memunculkan bahwa pemerintah gagal menyejahterakan guru dan dosen,” jelas Satria.

Baca juga artikel terkait TAPERA atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz