Menuju konten utama

Hati-Hati, Wacana Family Office Bisa Jadi Pintu Pencucian Uang

Family office atau kantor keluarga merupakan perusahaan swasta yang menangani manajemen investasi dan manajemen kekayaan untuk keluarga kaya.

Hati-Hati, Wacana Family Office Bisa Jadi Pintu Pencucian Uang
Ilustrasi Pengelolaan Keuangan. foto/IStockphoto

tirto.id - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, mengusulkan agar Pulau Bali dijadikan sebagai family office agar orang kaya dari luar negeri mau menyimpan uang di Indonesia.

Family office atau kantor keluarga merupakan perusahaan swasta yang menangani manajemen investasi dan manajemen kekayaan untuk keluarga kaya. Ini bertujuan untuk menumbuhkan dan mentransfer kekayaan secara efektif antar generasi.

“Kita ada memasukkan family office ini, di mana orang luar menaruh dana di sini tanpa bunga, di Indonesia,” ucap Luhut dalam Rapat Banggar DPR RI, di Jakarta, Rabu (5/6/2024).

Inisiatif usulan menaruh dana asing tanpa bunga atau family office di Bali dihasilkan dari pertemuan G20 di Bali berdasarkan kesepakatan Global Blended Finance Alliance (GBFA). Mengingat sejauh ini sudah banyak negara-negara yang menerapkan sistem ini seperti di Singapura dan Hongkong.

Dalam beberapa tahun terakhir, Singapura memang telah menjadi pusat kantor keluarga, menarik beberapa individu terkenal dengan kekayaan bersih yang sangat tinggi. Di antara orang-orang terkemuka yang mendirikan kantor keluarga di Singapura adalah salah satu pendiri Google Sergey Brin, mantan CEO Fosun International Liang Xinjun, dan Ketua Reliance Industries Mukesh Ambani.

Menurut Otoritas Moneter Singapura, terdapat 1.500 kantor keluarga di Singapura pada akhir 2022, yang mengelola aset senilai sekitar 90 miliar dolar AS (66,8 miliar dolar AS). Nilai ini hanya di bawah dua persen dari aset senilai 5,4 triliun dolar AS (4 triliun dolar AS) yang dikelola di Singapura.

Sedangkan Hongkong dengan lokasinya yang menguntungkan, infrastruktur keuangan yang kuat, dan kebijakan ekonomi yang menguntungkan, juga sudah memperjuangkan industri perkantoran keluarga. Negara ini bersaing ketat dengan Singapura. Hongkong bahkan menerapkan Undang-Undang baru untuk menarik individu-individu dengan kekayaan bersih tinggi dan kantor keluarga tunggal ke negaranya.

Undang-undang baru itu, memberikan pengecualian pajak dan manfaat lain kepada kantor keluarga untuk melakukan aktivitas investasi. Pemerintah juga mendanai berbagai inisiatif untuk mempercepat upaya ini, termasuk mendedikasikan 100 juta dolar AS kepada InvestHK untuk menarik 200 kantor keluarga lagi ke kota ini pada akhir tahun 2025.

“Jadi ini terjadi di Singapura, Hongkong, Abu Dhabi, di mana-mana. Di Singapura ada 1.500 family office, dan ada 1,6 triliun dolar AS saja yang nangkring di Singapura,” kata Luhut.

Menurut Luhut, pembentukan family office bisa dilakukan di Tanah Air mengingat adanya permintaan. Luhut mengklaim, banyak keluarga kaya di luar negeri tertarik menyimpan uangnya di Tanah Air. Ini menjadi menarik orang kaya karena tak akan dipungut pajak.

"Tapi jangan dipajaki, tapi kalau dia investasi dari duitnya nanti, ada lapangan kerja, dipajaki," kata Luhut.

Lebih lanjut, Luhut mengatakan, sudah berdiskusi dengan sejumlah ahli terkait rancangan family office. Jika rancangan sudah matang, dirinya akan mengajukan langsung kepada Presiden Jokowi di rapat terbatas (ratas). "Kalau minggu depan sudah bulat, nanti saya akan usulkan," kata Luhut.

Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Ajib Hamdani, melihat bahwa konsep ini bisa saja dijalankan di Tanah Air. Tentu, kehadiran family office menurutnya akan menjadi insentif ekonomi di Bali dan memberi multiplier effect ke perekonomian nasional.

"Karena perputaran likuiditas ini menjadi daya ungkit ekonomi. Maka, selanjutnya yang dibutuhkan adalah aspek legal dan regulasinya," ujar Ajib kepada Tirto, Kamis (5/6/2024) malam.

Namun menurut Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, usulan pendirian family office perlu dilihat dulu bagaimana studinya. Terlebih, dalam hal ini, Luhut tidak ingin memajaki dana asing yang ditempatkan dalam family office tersebut.

"Perlu ada analisa biaya dan manfaat. Dan lebih detail, manfaatnya itu ke siapa? Lalu apakah kemudian dapat dijadikan skema penghindaran pajak?," ujar Fajry kepada Tirto.

Sangat Beresiko

Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute For Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti, justru meminta agar wacana Luhut menjadikan Bali sebagai family office dipikirkan ulang secara matang. Sebab, menurutnya penempatan dana asing atau keluarga orang kaya di Indonesia sangat riskan dan berisiko.

"Ngapain sih [family office] itu hot money. Ada kemungkinan buat cuci uang. Tempat money laundry. Nah itu harus hati-hati kan kalau money laundry berarti takutnya uang dari kejahatan kan kita tidak tahu juga," ujar Esther saat dihubungi Tirto.

Esther mengingatkan, sebaiknya Luhut tidak sekedar ikut-ikutan mengikuti langkah Singapura dan Hongkong. Apalagi antrean pembentukan family office memerlukan waktu panjang mencapai 18 bulan. Hal ini dipicu oleh aturan yang lebih ketat terkait family office di pusat finansial dunia tersebut.

"Sudah tidak usah kayak Singapura nggak usah kaya Hongkong. Asal Bali di investasikan bangun macem-macem sesuai dengan kondisi wilayahnya destinasi wisata itu lebih menguntungkan," jelas Esther.

Menurut Esther, ketimbang Luhut ribut-ribut ingin mendorong family office lebih baik memikirkan bagaimana caranya investor asing masuk ke dalam sektor riil atau pariwisata yang jauh lebih menguntungkan. Karena investasi mereka bisa diarahkan untuk pembangunan hotel dan dampaknya juga terhadap penciptaan lapangan dan penerimaan negara besar.

"Karena orang bangun hotel dia dapat okupansi tinggi nanti bayar pajak. Mendingan yang pasti-pasti aja ke sektor riil. Atau sebisa mungkin investasi di riil atau kasih saham," ujar Esther.

Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menambahkan banyak hal yang harus dibenahi terlebih dahulu jika ingin membuat Bali sebagai pusat finansial seperti Hongkong ataupun Singapure. Pertama, soal kewenangan daerah yang mana artinya pemerintah Bali mempunyai kewenangan tersendiri dalam mengelola sistem finansialnya.

"Jadi uang yang ditempatkan di Bali secara khusus tidak dikenakan aturan yang sama dengan tempat lain," kata Huda kepada Tirto.

Menurut Huda, tantangannya justru ada di peraturan yang harus disesuaikan. Terutama aturan mengenai family office yang didengungkan oleh Luhut.

"Namun yang kita harapkan bukan orang hanya menaruh uang di Bali dan saya rasa bukan orang asing yang diincar tapi orang Indonesia yang punya dana di LN yang diminta balik lagi ke Indonesia," kata Huda.

Huda sendiri mengaku belum paham dengan proses intermediasi dana di family office dengan sektor riil. Jangan-jangan, kata dia, hanya menaruh uang tanpa pajak doang yang artinya useless bagi ekonomi kita.

"Yang Luhut sampaikan menghasilkan penerimaan hingga 200 miliar dolar itu bukan ke negara, tapi hanya diparkirkan saja," kata dia.

Dia justru khawatir konsep family office malah akan dikembangkan dengan kepemilikan properti di Indonesia oleh WNA. Artinya akan ada pengalihan tanah di Bali untuk keperluan investasi family office ini. Pada akhirnya, rakyat Bali bisa jadi disingkirkan demi family office ini ke depan.

"Saya curiga konsepnya akan mengarah ke sana. Kita tidak pernah tahu liberalisasi di Bali yang tengah dibangun oleh Luhut dan Sandiaga," pungkas dia.

Baca juga artikel terkait DANA ASING atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Anggun P Situmorang